11/05/2013

MAKALAH Analisis Kesalahan Berbahasa




BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan salah satu milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Salah satu kegiatan manusia yang setiap hari dilakukan adalah berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, bahasa memiliki peranan penting untuk menyampaikan berita.
Untuk menyampaikan berita (pesan, amanat, ide, dan pikiran) dibutuhkan bahasa yang singkat, jelas, dan padat. Fungsinya adalah agar segala sesuatu yang disampaikan mudah dirnengerti. Namun, dalam menggunakan bahasa tersebut pemakai bahasa tetaplah mengikuti kaidah-kaidah atau aturan yang benar karena bahasa yang benar akan dijadikan acuan atau model oleh rnasyarakat pemakai bahasa, clan ragam itu digunakan dalam situasi resmi. Kenyataannya sekarang banyak pemakai bahasa yang tidak menyadari bahwa bahasa yang digunakan tidak benar atau masih terdapat kesalahan-kesalahan.
Kesalahan berbahasa Indonesia masih banyak dijumpai dalam media cetak, khususnya surat kabar. Tulisan dalam surat kabar dibaca oleh berjuta-juta orang. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan dalam surat kabar atau koran hendaklah bahasa yang baik, yang teratur, atau yang sekurang-kurangnya bahasa yang tidak terlalu rusak. Bahasa koran yang rusak dapat mempengaruhi bahasa
Mata kuliah ini membahas hakikat analisis kesalahan berbahasa dilihat dari substansi dan pemakaian bahasa, sumber kesalahan dan proses terjadinya kesalahan berbahasa, jenis-jenis dan klasifikasi kesalahan berbahasa, analisis kontrastif, langkah-langkah analisis kesalahan berbahasa, serta hubungan antara analisis kesalahan berbahasa dengan bahasa.
Mata kuliah yang disyaratkan bertujuan untuk memberi kemudahan dalam menerapkan kegiatan teoritis maupun praktis untuk aktivitas selama perkuliahan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan, khususnya suatu bentuk yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-pertama harus dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang menetapkan standar penyimpangan atau kesalahan. Sebagian besar guru bahasa menggunakan kriteria ragam bahasa baku sebagai standar penyimpangan.
Corder menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode bahasa (breanchas of code). Pelanggaran terhadap kode ini bukanlah hal yang bersifat fisik semata-mata, melainkan merupakan tanda akan kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan berbahasa di atas dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang meliputi kata, kalimat, paragraf yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku “Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan”.
Kesalahan berbahasa dalam bidang fonologi merupakan salah satu bentuk kesalahan berbahasa secara lisan. Dalam kenyataannya pemakaian bahasa lisan dapat  disalin atau atau dipindahkan ke dalam bahasa tulis melalui lambang-lambang dalam bentuk huruf dan tanda baca. Sehubungan dengan itu, kesalahan berbahasa dapat terjadi dalam cara menyalin lambang-lambang bunyi bahasa ke dalam lambang-lambang tertulis. Cara penyalinan lambang-lambang tersebut diatur oleh sistem ejaan yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, kesalahan berbahasa secara tertulis dapat terjadi dalam bidang ejaan.
Sistem ejaan yang terjadi dalam pemakaian bahasa Indonesia dewasa ini, yaitu sistem “ Ejaan Yang Disempurnakan” (EYD). Karena itu, pemakaian bahasa Indonesia yang menyimpang dari sistem tersebut merupakan bentuk kesalahan berbahasa dalam bidang ejaan. Untuk menganalisis kesalahan seperti itu diperlukan adanya pemahaman yang mendalam tentang EYD.
Sistem EYD terdiri atas tiga komponen, yaitu: penulisan huruf, kata, dan tanda baca. Seperti Anda ketahui pada bagian awal ini dalam EYD terdiri dari lima huruf untuk melambangkan bunyi vokal, yaitu: a, i, u, e, dan o. Bunyi diftong dilambangkan dengan tiga macam huruf rangkap, yaitu: ng, ny, sy, kh,dan ks. Penulisan huruf ini perlu dipahami benar-benar karena akan merupakan dasar bagi penulisan kata dan tanda baca.
Sesuai dengan penggunaannya, huruf-huruf itu diwujudkan dalam 2 bentuk, yaitu huruf besar atau huruf kapital dan huruf kecil atau huruf biasa. Bentuk-bentuk huruf tersebut tentu sudah Anda kenal. Dalam pemakaiannya, huruf kecil lebih banyak digunakan daripada huruf kapital. Untuk itu, diperlukan adanya pengetahuan penulis tentang pemakaian huruf kapital.
















B.  Kesalahan Fonetis

Kita sering melihat atau mendengar berbagai kesalahan berbahasa yang dilakukan pemakai bahasa, baik secara lisan maupun secara tulis; baik oleh kaum awam, terpelajar maupun kalangan selebriti dan pejabat. Di antara berbagai kesalahan tersebut adalah kesalahan penulisan dan pelafalan fonem kesalahan fonetis. Kesalahan ini terus saja terjadi padahal kesalahan tersebut sangat memungkinkan terjadinya salah penafsiran terhadap maksud ujaran. Dengan demikian, kesalahan fonetis mengakibatkan kesalahan makna.
Kita sudah maklum bahwa sistem fonem bahasa Indonesia diucapkan sesuai dengan huruf. Misalnya, fonem /u/ dilambangkan dengan huruf “u”, dan diucapkan sebagai /u/ seperti pada kata buku, kutu, bambu, dan sebagainya. Tetapi dalam kenyataan, sering terdapat kesalahan pengucapan fonem-fonem tersebut. Terutama pada pengucapan dan penulisan fonem /e/, /p/, /k/, /kh/, /f/, /s/, /sy/. Sekecil apa pun kesalahan tersebut, tergolong pada  kesalahan berbahasa Indonesia meskipun tidak sampai mengubah makna.
Kesalahan ini terjadi pada pengucapan atau penulisan fonem-fonem. Misalnya, sebuah kata seharusnya ditulis atau diucapkan dengan diakhiri bunyi /h/, ternyata tidak atau sebaliknya. Kesalahan semacam ini diakibatkan karena kita terpengaruh oleh bahasa lain, khususnya bahasa ibu. Mungkin juga akibat kita ingin gaya, ingin bahasa kita disebut bahasa gaul.









Gejala-gejala kesalahan fonetik yang dimaksud, dapat dirangkum menjadi:
1). Protesis.
Kesalahan ini akibat kita menambahkan sebuah fonem atau lebih pada awal kata. Ini biasanya Karena kebiasaan kita berbahasa daerah, terutama fonem/h/.

Contoh:
a.    /alangan/ menjadi /halangan/
b.   /utang/ menjadi /hutang/
c.    /ampas/ menjadi /hampas/
d.   /aku/ menjadi /daku/
e.    /ubah/  menjadi /rubah/
f.    /utak-atik/ menjadi /ngutak-ngatik/
g.   /unit/  menjadi /yunit/
h.   /ampelas/ menjadi /hampelas/

2). Epentesis.
Kadang-kadang karena kebiasaan juga, kita menambahkan fonem pada tengah kata. Lidah kita rasanya sulit mengucapkan kata tersebut jika tidak ditambah fonem baru di tengah. Sering, bukan kita merasakan gejala begitu? Tapi kadang juga karena kita ingin gaya dan merasa lebih baik sehingga yang sudah benar diperbaiki, eee…malah jadi salah/hiperkorek.

Contoh:
a.    /gua/ menjadi /guha/goa
b.   /buaya/ menjadi /buhaya/
c.    /tiang/ menjadi /tihang/
d.   /silakan/ menjadi /silahkan/
e.    /rido/ menjadi /ridlo/
f.    /wudu/ menjadi /wudlu/
g.   /amplop/ menjadi /ampelop/
h.   /aku/ menjadi /akyu/

3). Paragog.
Kebiasaan kita menambahkan fonem pada akhir kata. Alasannya, ya sama saja dengan epentesis,  atau mungkin karena ingin bahasa yang kita gunakan menjadi bahasa gaul.

Contoh:
a.    /rapi/ menjadi /rapih/
b.   /musna/ menjadi /musnah/
c.    /mampu/ menjadi /mampuh/
d.   /tidak/ menjadi /tidaks/
e.    /praktik/ menjadi /praktiks/
f.    /saya/ menjadi /sayah/
g.   /elu/ menjadi /eluh/
h.   /komplek (kumpulan)/ menjadi /kompleks/

4). Aferesis.
Ternyata kebiasaan kita membuat kesalahan bukan hanya menambah fonem melainkan kadang kita membuang salah satu atau dua fonem pada awal kata. Kesalahan inilah yang dimaksud aferesis.
           
Contoh:
a.    /hujan/ menjadi /ujan/
b.   /hitam/ menjadi /item/
c.    /hidup/ menjadi /idup/
d.   /hijau/ menjadi /ijo/
e.    /hunian/ menjadi /unian/
f.    /bagaimana/ menjadi /gimana/
g.   /tidak/ menjadi /dak/
h.   /betul/ menjadi /tul/

5). Sinkop.
Kalau aferesis kita buang sebuah fonem pada awal, ada juga fonem di tengah kata yang kita buang. Gejala inilah yang kita namakan sinkop. Rasanya gaul banget tu bahasa kita. Kita tidak sadar bahwa kita sudah memperkosa bahasa sendiri.

 Contoh:
a.  /bahu-membahu/ menjaadi /bahu-embahu/
b. /matahari/ menjadi /matari/
c.  /pendidikan/ menjadi /pendidi’an/
d. /dahulu/ menjadi /dulu/
e.  /kesalahan/ menjadi /kesala’an/
f.  /takjil/ menjadi /tajil/
g. /marabahaya/ menjadi /marabaya/
h. /musyawarah/ menjadi /musawarah/

6). Apokop.
Kita sering juga menghilangkan fonem pada akhir kata. Terasa banget tuh daerahnya. Kental dengan logat daerah, terutama Sunda atau Jawa. Tapi kadang karena ktidaktahuan, kata-kata asing juga kita perkosa.

Contoh:
a.    /contoh/ menjadi /conto/
b.   /bodoh/ menjadi /bodo/
c.    /jodoh/ menjadi /jodo/
d.   /kompleks (rumit/) menjadi /komplek/
e.    /seks/ menjadi /sek/
f.    /elite/ menjadi /elit/
g.   /faksimile/ menjadi /faksimil/
h.   /darah/ menjadi /dara/

7). Asimilasi.
Gejala ini lain lagi dengan gejala-gejala di atas. Dengan asimilasi, kita sengaja menjadikan dua fonem yang berbeda dalam satu kata, kita ganti dengan satu fonem yang sama dengan salah satunya.

 Contoh:
a.    /alsalam/ menjadi /asalam/
b.   /benar/ menjadi /bener/
c.    /cepat/ menjadi /cepet/
d.   /segan/ menjadi /segen/
e.    /dekat/ menjadi /deket/
f.    /pesantrian/ menjadi /pesantren/
g.   /keratuan/ menjadi /keraton/
h.   /tegap/ menjadi /tegep/


8). Disimilasi.
Kebalikan dari asimilasi. Kita sering, apakah itu karena pengaruh kebiasaan, karena ketidaktahuan, atau karena ingin gaya-gayaan, ingin gaul, menjadikan dua fonem yang sama dalam satu kata, kita jadikan fonem yang berbeda salah satunya.

Contoh:
a.    /harap/ menjadi /harep/
b.   /pantas/ menjadi /pantes/
c.    /malam/ menjadi /malem/
d.   /massa/ menjadi /masya/
e.    /mutakhir/ menjadi /mutahir/mutakir/
f.    /bacam/ menjadi /bacem/
g.   /bayam/ menjadi /bayem/
h.   /asyik/ menjadi /asik/

Kesalahan-kesalahan tersebut diakibatkan adanya kesalahan adaptasi, analogi, dan hiperkorek. Adaptasi, maksudnya kita menyesuaikan pengucapan atau penulisan kata bahasa Indonesia dengan bahasa ibu atau bahasa daerah. Tetapi dalam perkembangannya sekarang, kita pun sering mengadaptasikan  kata bukan hanya ke dalam bahasa daerah melainkan juga ke dalam bahasa asing (Inggris) atau sebaliknya. Kita ambil contoh bahasa ABG, mereka menulis kata sebal menjadi /sebel/. Saking ingin gaya, sebel mereka adaptasikan dengan bahasa Inggris menjadi /seble/. Gaul, katanya. Lucu, bukan? Demikian juga kata /happy/ dalam bahasa Inggris, mereka adaptaskani ke dalam bahasa Indonesia menjadi /hepi atau hapy/. Dalam bahasa Indonesia itu sendiri, kesalahan adaptasi umumnya mengakibatkan asimilasi dan disimilasi.
Analogi merupakan kesalahan akibat pemakai bahasa mengacu atau mencontoh pada bentukan kata yang sudah ada tanpa mengetahui asal-usul atau etimologi kata itu sendiri. Kata yang memiliki struktur sama dianggap pengucapan atau penulisannya sama. Dalam bahasa Indonesia ada kata maksud, takdir, takwa, saksi, sukses, dan sebagainya. Bunyi /k/ pada kata-kata tersebut diucapkan jelas. Beranalogi atau mengacu pada kata-kata tersebut maka kita mengucapkan kata-kata maklum, rakyat, makmur, dengan bunyi /k/ jelas. Padahal kata-kata tersebut berbeda dengan maksud, takdir, dan sebagainya.

Perhatikan kata-kata berikut dengan pengucapannya!
a.    /takdir/ diucapkan /takdir/
b.   /sukses/ diucapkan /sukses/
c.    /saksi/ ducapkan /saksi/
d.   tapi lain dengan kata-kata berikut:
e.    /rakyat/ diucapkan /ra’yat/
f.    /laknat/ diucapkan /la’nat/
g.   /tidak/ diucapkan /tida’/   
              
Hiperkorek. Kita sering pula memperbaiki kata yang sebenarnya sudah betul . Akibatnya bentukan kata tersebut menjadi salah. Perhatikan contoh-conth berikut!

a.    saraf (benar) menjadi syaraf (salah)
b.   hewan (benar) menjadi khewan (salah)
c.    asas (benar) menjadi azas (salah)
d.   ijazah (benar) menjadi ijasah (salah)
e.    paham (benar) menjadi faham (salah)
f.    surge (benar) menjadi syurga (salah)

Apa yang harus kita lakukan dengan kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut? Memang jelas, kesalahan-kesalahan tersebut tidak menimbulkan perubahan makna dan masih dapat dimengerti oleh orang yang diajak bicara atau membaca. Tapi ingat, yang namanya kesalahan sekecil apapun harus kita hindari. Karena berawal dari kesalahan-kesalahan kecil itulah, akhirnya kita tidak menyadari bahwa diri kita sudah masuk pada kesalahan yang lebih besar. Bila hal itu terjadi, bagaimana nasib bahasa Indonesia? Padahal secara tersurat, masalah bahasa Indonesia ada dalam UUD 1945. Hal ini dilakukan oleh para pendiri negara karena mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia sangat penting dalam mewujudkan tujuan negara seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 itu sendiri.
Jadi? Ya, mau atau tidak memperbaiki kesalahan berbahasa sangat bergantung pada jiwa kita sendiri. Kalau kita merasa diri sebagai WNI dan berjiwa Indonesia,




C.    Contoh Lain Analisis Kesalahan Berbahasa
Kesalahan-kesalahan berbahasa dalam bidang fonologi tersebut antara lain sebagai berikut.
Pelafalan  fonem /t/ pada akhir kata diubah menjadi /’/ Kata-kata yang berakhir fonem /t/ seperti pada kata  tepat,    lafal bakunya adalah /tepat/. Namun karena faktor pengaruh bahasa daerah  yang tidak mengenal fonem  /t/ pada akhir kata, yang ada adalah fonem /’/ sehingga  “kadang-kadang” kata-kata tepat dilafalkan /tepa’/. Kata-kata  lain yang mengalami pelafalan seperti kata tepat antara lain adalah:
ü  cepat                dilafalan          /cepa’/              semestinya       /cepat/
ü  hormat             dilafalan         /horma’           / semestinya     /hormat/   
ü  dapat               dilafalan          /dapa’/             semestinya       /dapat/

Pelafalan fonem /e/ diubah menjadi /E/  Kata-kata yang berfonem  /e/ (e = enam)   seperti pada kata senter,  lafal bakunya adalah /sEnter/ (E=ekor)  Namun, karena faktor pengaruh bahasa daerah (Bugis) yang “biasa” menyebut kata /sEntErE/,  maka kata senter dilafalkan  /sEntEr/. Kata-kata  lain yang mengalami kesalahan pelafalan seperti kata senter antara lain adalah:
ü  kalender          dilafalan /kalEndEr/    semestinya /kalEnder/
ü  meter               dilafalan /mEtEr/         semestinya mEter/
ü  liter                  dilafalan /litEr/           semestinya /liter/

Pelafalan fonem /E/ diubah menjadi /e/,  Fonem /e/ pada kata  peka seharusnya dilafalkan /E/ bukan /e/. Kesalahan pelafalan /E/seperti pada kata peka tersebut biasa kita jumpai dalam proses berkomunikasi situasi resmi, pada kata:
ü  sukses              dilafalan /sukses/         semestinya /suksEs/
ü  sugesti             dilafalan /sugesti/         semestinya sugEsti/
ü  lengah              dilafalan /lengah/           semestinya /lEngah/



Fonem /u/ pada kata juang  seharusnya dilafalkan /u/ bukan /o/. Kesalahan pelafalan  /u/ seperti pada kata juang  tersebut, biasa kita jumpai dalam proses komunikasi  situasi resmi,  pada kata:
ü  lubang                         dilafalan          /lobang/           semestinya       /lubang/
ü  gua                  dilafalan          /goa/               semestinya       /gua/
 Pelafalan fonem /i/ diubah menjadi /E/  Fonem /i/ pada kata tarikat  seharusnya dilafalkan /i/ bukan /E/. Kesalahan pelafalan  /i/ pada kata tarikat, biasa kita jumpai dalam proses komunikasi situasi  resmi, seperti  pada kata:
ü  hakikat      dilafalkan       /hakEkat/      semestinya         /hakikat/ 
ü  nasihat      dilafalkan      /nasEhat/       semestinya         /nasihat/
  Pelafalan fonem /ai/ dilafalkan /E/ atau /Ei/ Fonem /ai/ pada kata sampait  seharusnya dilafalkan /ai/ bukan /E/ atau /Ei/ . Kesalahan pelafalan  /ai/  pada kata sampai  tersebut, biasa kita jumpai dalam proses komunikasi situasi  resmi , seperti pada kata:
ü  santai              dilafalan          /santEi/santE/              semestinya      /santai/
ü  pantai             dilafalan          /pantEi/pantE/            semestinya      /pantai/     
ü  balai                 dilafalan          /balEi/balE/                 semestinya       /balai/
Pelafalan fonem /g/ pada akhir kata  diubah menjadi /h/ atau /ji/ Kata geologi  seharusnya dilafalkan /geologi/ bukan /geolohi/ atau /geoloji/. Kesalahan pelafalan  /g/  pada kata gelogi  tersebut, biasa kita jumpai dalam proses komunikasi situasi  resmi, seperti pada kata:
ü  idiologi            dilafalan          idiolohi/ atau /idioloji/             semestinya       idiologi
ü  morfologi        dilafalan          morfolohi/ atau /morfoloji       semestinya       morfologi
 Pelafalan fonem /h/ dihilangkan /  / Fonem /h/ pada kata hilang   seharusnya dilafalkan /h/ atau tidak  dihilangkan. Penghilangan pelafalan  /h/  seperti pada kata hilang. 
Contoh lain:
ü  hijau    dilafalan          /ijau/    semestinya       /hijau/
ü  pahit    dilafalan          pait/     semestinya       /pahit/  
ü  tahi      dilafalan          /tai/      semestinya       /tahi/

Penambahan fonem /h/ pada awal atau  akhir kata Pelafalan  kata andal  seharusnya tidak ditambah /h/. Penambahan pelafalan  /h/  seperti pada kata andal, di depan atau pada akhir kata, biasa pula dijumpai dalam proses komunikasi situasi  resmi. 
Contoh lain:
ü  silakan             dilafalan          /halangan/       semestinya       /silakan/
ü  sempurna         dilafalan          /sempurnah/     semestinya       /sempurna/
 Pelafalan fonem /f/ diubah menjadi /p/ Fonem  /f/  pada  kata  feodal   harusnya tidak  dilafalkan /p/ . Kesalahan pelafalan  /f/  pada kata feodal.
Contoh yang lain:
ü  aktif                 dilafalan          /aktip/              semestinya       /aktif/
ü  kreatif               dilafalan         /kreatip/           semestinya       /kreatif/
Pelafalan fonem /z/ diucapkan /j/ atau /s/   Fonem /z/ pada kata izin  seharusnya tidak  dilafalkan /s/ atau /j/. Kesalahan pelafalan  /z/  pada kata izin.
Contoh yang lain:
ü  zaman              dilafalan          /saman/jaman/ semestinya       /zaman/         
ü  ijazah               dilafalan          /ijasah/ ijajah/  semestinya       /ijazah/
Pelafalan /au/ diganti menjadi /h/ Fonem /kh/ pada kata khawatir   seharusnya tidak  dilafalkan /h/ tetapi /kh/. Kesalahan pelafalan  /kh/  pada kata khawatir. 
Contoh yang lain:
ü  khatib              dilafalan          /hatib/             semestinya       /khatib/
ü  khutbah           dilafalan          /hutbah/           semestinya       /khutbah/
ü  khusyuk           dilafalan          /husyuk/           emestinya        /khusyuk/




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafazkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Terdiri dari, huruf vokal, konsonan, diftong (vokal yang ditulis rangkap), dan kluster (konsonan yang ditulis rangkap). Fonologi terbadi dari dua bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik.
Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
















DAFTAR PUSTAKA

Samsuri.1983. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Supriyadi. 1986. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Karunika.

1 comments: