11/05/2013

Tugas Final Sosiolinguitik



1.      Kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Di lihat dari segi kebangsawanan, masyarakat Jawa di bagi menjadi beberapa tingkat, antara lain wong cilik, wong saudagar, priyayi dan ndara (menurut pendapat Kuntjaraningrat). Dari penggolongan itu jelas adanya pebedaan tingkat dalam masayarakat tutur bahasa jawa. Dasarkan penggolongan, maka di dalam masyarakat jawa memiliki berbagai variasi bahasa yang di gunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Ragam bahasa yang di gunakan oleh kalangan wong cilik berbeda dengan ragam bahasa yang di gunakan oleh para priayi. Tingkat sosial yang berbeda juga menyebabkan perbedaan variasi yang berbeda. Sebagi contoh apabila wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa seperti ini di dalam bahasa jawa disebut undak usuk. Penggunakan tingkatan bahasa yang disebut undak usuk ini mempertimbangkan kedudukan tingkat sosial yang dimiliki. Adanya tingkat – tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat jawa tersebut untuk mengetahui lebih dulu kedudukan sosialnya terhadap lawan bicaranya. Ada kalanya mudah, tetapi seringkali tidak mudah. Lebih-lebih lagi kalau terjadi si penutur lebig tinggi kedudukan sosialnya tetapi usianya lebih muda. Atau sebaliknya, kedudukan sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua dari lawan bicarnya. Kesulitan ini di tambah pula dengan semacam kode otik, bahwa seorang penutur tidak boleh menyebut dirinya dengan tingkat bahasa yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat di lihat betapa rumitnya pemilihan var iasi bahasa untuk berbicara bahasa jawa.
Berkaitan dengan adanya undak usuk ini bahasa jawa terbagi menjadi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. namun diantara keduanya masih terdapat adanya tingkat-tingkat. Seorang pakat bahasa jawa bernama Uhlenbeck membagi tingkat variasi bahasa jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. selanjutnya, masing-masing di bagi lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama, madyangngko,madyantara, dan madyakrama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Cliffort Geertz, membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Krama diperinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya. Sedangkan ngoko diperinci menjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multi etnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada, walaupun ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat status sosial ekonomi. Itulah keadaan masyarakat ibu kota yang dikenal sebagai golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Pihak yang berpredikat golongan atas, golongan menengah ataupun golongan bawah bersifat relatif, agak sukar ditentukan, namun kalau dilihat dari keadaan/status sosial ekonomi, maka anggota ketiga golongan itu bias ditentukan.Masalah kita sekarang adalah adakah hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dari penggunaan bahasa.

2.      Penjual Sayur nangka
Pb          : ’ Nangkanya berapa, mbak ?
P            : ‘Dua ribu.
Pb          : ‘Tidak seribu lima ratus ya, berapa mbak ini, yang ini seribu lima ratusya
mbak?
Pj           : ’ Bagaimana ?
Pb          : ‘Seribu lima ratus ya .
Pj           : Tidak boleh Bu.
Pb          : ’ Ini.
Pj           : ’Ya, dua ribu dicincang tidak ?
Pb          : ‘Begini saja dipotong kecil-kecil, kecil-kecil. Anunya mbak harganya tempenya
     anu ada tidak mbak ? (maksudnya mau mencari tempe)
Pj           : ‘.Tidak ada Bu’.
Pb          : ‘Ceritanya nyayur, anu, nangka. Daun melinjo ada tidak mbak, daun melinjo  
     mbak?
Pj           : (Sambil memasukkan sayur ke nangka ke dalam plastic disertai Pb
     menyerahkan uangnya)‘Tidak ada’.


Dan pedagang jelbab

Pj           :  Apa, mbak ?
Pb          : Buk, beli jilbab yang panjang itu ada buk?
Pj           : Ada mbak, yang merah apa yang coklat?
Pb          : Lihat dulu buk!
Pj           : Iya, silahkan!
Pb          : yang ini berapa?
Pj           : Tiga puluh ribu.
Pb          : Harga pasnya berapa buk?
Pj           : Berapa mbak?
Pb          : Setengahnya ya buk, lima belas ribu saja.
Pj           :.” Belum boleh mbak, kamu tambahi sedikit saja.
Pb          : Ya, berapa buk?
Pj           : Dua puluh ribu ya mbak?
Pb          : Tidak, ya kalau boleh itu buk, lima belas ribu!
Pj           : “tujuh belas ya mbak!
Pb          : Iya sudah buk!

Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi bahasa lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual-beli. Penggunaaan masing-masing tingkat tutur oleh para penjual dan pembeli dalam berkomunikasi pada umumnya tidak konsisten. Artinya, dalam suatu wacana para penutur jarang yang berpegang pada satu tingkat tutur saja. Mereka sering menggunakan dua atau lebih variasi tingkat tutur, bahkan ada yang mencampurnya dengan variasi bahasa Indonesia sehingga dalam suatu wacana sering terjadi peristiwa alih kode dan campur kode dari tingkat tutur yang satu ke satu tingkat tutur yang lain atau juga dari tingkat tutur bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Alih kode dan campur kode dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain ini disebabkan oleh penutur yang berdwibahasa.
Peristiwa alih kode dan campur kode dalam tindak bahasa para penjual dan pembeli pada umumnya terjadi begitu saja di tengah-tengah wacana atau bagian wacananya. Peralihan tersebut biasanya tidak berlangsung lama sebab pada waktunya penutur akan kembali ke tingkat tuturnya yang asli. Alih kode dan campur kode demikian disebut alih kode dan campur kode sementara. Alih kode dan campur kode tersebut dapat disadari oleh si penutur dan dapat juga tidak disadari. Alih kode dan campur kode yang tidak disadari oleh penutur biasanya terjadi karena si penutur ingin mencari jalan termudah dalam menyampaikan pikiran dan isi hatinya. Ini dapat dilihat dalam bahasa para penjual dan pembeli pada saat menyebut harga/jumlah barang.

3.      Mengamati peran laki laki dan perempuan dalam buku teks
Buku ajar yang baik tentunya dapat menampilkan keadilan dan kesetaraan gender yang tercermin pada peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai dengan status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya, yang ditampilkan baik dalam bentuk ilustrasi gambar maupun deskripsi kalimat dalam buku ajar. Sebagai contoh, dalam buku IPS Terpadu SD kelas 4 terbitan Erlangga halaman 148, pada penjelasan proses produksi bahan makanan, ditampilkan gambar seorang laki-laki yang sedang menjalankan traktor dan seorang perempuan sedang memberikan pupuk. Ilustrasi seperti itu mampu menunjukkan adanya perspektif gender, karena peran laki-laki dan perempuan sama dalam proses produksi. Selama ini, banyak buku yang mengilustrasikan peran perempuan dalam proses produksi hanya menampi dan mengolah makanan hingga tersaji di meja, padahal tampilan tersebut dapat menjadi berperspektif gender jika ditunjukkan peran perempuan dan laki-laki yang setara pada proses produksi.
Untuk peran reproduktif biologis, sebagian besar buku ajar sudah benar dalam mengilustrasikan gambar yang berwawasan gender. Seperti, seorang ibu yang sedang menyusui, sedangkan sang ayah membantu mencucikan baju si bayi. Ilustrasi seperti itu sangat mengena, karena menonjolkan peran laki-laki dan perempuan yang setara dalam hal merawat anak. Namun demikian, untuk peran reproduktif sosial, masih banyak buku ajar yang bias gender, seperti dijumpai dalam buku Bahasa Indonesia kelas 4 SD terbitan Erlangga halaman 62, dimana kita melihat adanya ilustrasi gambar yang menunjukkan seorang ibu yang sedang mengerjakan tugas domestik (menyeterika, memasak), dan anak perempuan yang sedang mencuci baju dan membersihkan halaman. Ada beberapa buku yang menggambarkan seorang ibu berbelanja di pasar dan selalu didampingi anak perempuannya (misal : buku Matematika 3B Yudistira halaman 56 dan 61, Matematika 4B Yudistira halaman 92). Selain gambar, soal-soal cerita matematika banyak sekali yang menunjukkan bias gender.
Peran sosial juga masih banyak yang ditampilkan secara bias gender, seperti kerja bakti yang selalu digambarkan hanya dikerjakan oleh bapak-bapak / kaum laki-laki. Sebagai contoh, dapat dijumpai dalam buku Bahasa Jawa kelas 4 terbitan Tiga Serangkai pada halaman 7. Selain itu, banyak bahan ajar yang menampilkan anak-anak perempuan yang sedang bermain boneka, sedangkan anak laki-laki bermain sepakbola (misal : buku Matematika 3B Yudistira halaman 16 dan 22). Nilai-nilai gender yang ditampilkan secara bias gender banyak dijumpai hampir pada semua buku, seperti baju yang dikenakan laki-laki cenderung warna biru dan gelap, sedangkan perempuan warna pink, merah dan warna-warna cerah lainnya. Seorang dokter selalu digambarkan seorang laki-laki, sedangkan suster / perawatnya perempuan.


4.      Sumbangan utama sosiolinguistik kepada pengajaran bahasa ialah:
o   Penekanan kebermaknaan bahasa dalam pengajaran bahasa;
o   Pengertian yang lebih mendalam tentang ragam bahasa;
o   Tujuan pengajaran bahasa yang bersumber pada penggunaan bahasa dalam masyarakat;
o   Bentuk bahasa yang diajarkan disesuaikan dengan bentuk bahasa yang ada dalam masyarakat.

0 comments:

Post a Comment