09/10/2011

MAKALAH STRATEGI BELAJAR BAHASA INDONESIA

STRATEGI PERMINTAAN DALAM BAHASA INDONESIA
 (Kajian Komunikasi Lintas Budaya)


1. Pendahuluan
Salah satu fungsi utama bahasa adalah untuk menjaga keberlangsungan hubungan antara para penggunanya. (Wardaugh, 1996:233). Sejajar dengan ini, bahasa dianalogikan sebagai sebuah alat dengan kaidah-kaidah yang sangat rumit dan dipergunakan untuk mengatur bagaimana seseorang  bertutur agar hubungan interpersonalnya senantiasa terpelihara (Wijana, 2004:1). Kaidah yang mengatur tatacara berbahasa ini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya atau dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dengan demikian, ketika terjadi interaksi, benturan-benturan berpotensi terjadi karena disebabkan oleh faktor perbedaan ini.

Salah satu peristiwa tutur yang menuntut adanya kemampuan yang baik dalam bertutur adalah tatkala melakukan permintaan. Permintaan merupakan suatu tuturan yang di dalamnya terkandung tindakan agar mitra tutur berbuat sesuai dengan maksud tuturan (Revita, 2005:73). Dengan kata lain, maksud permintaan menjadi dasar mitra tutur dalam bertindak. Oleh karena itu, sebuah permintaan dapat menyebabkan mitra tutur menjadi kehilangan muka karena mengurangi kebebasannya dalam bertindak (Brown and Levinson, 1987: 129).
Keterbatasan mitra tutur dalam bertindak akan  semakin jelas bila bentuk tuturan yang dipilih tidak tepat, apalagi bila ditujukan terhadap mitra tutur yang berlatar belakang budaya berbeda. Hal ini dapat menimbulkan tejadinya konflik karena bisa jadi dalam suatu budaya sebuah permintaan dianggap lazim, sementara budaya lain menilainya sangat tidak diperbolehkan. Misalnya, dalam budaya Minangkabau, permintaan dinilai  sopan bila dilakukan secara implisit. Akan lebih baik bila didahului oleh pra-permintaan, seperti pertanyaan atau diakhiri dengan pasca-permintaan, seperti alasan. Artinya, semakin panjang tuturan yang mendahului inti permintaan, semakin sopan nilai tuturan itu. Beberapa daerah tertentu justru sebaliknya, sebuah permintaan diharapkan disampaikan secara eksplisit tanpa ada tedeng aling-aling  (Gunarwan, 1997:1).
Untuk meminimalisir kehilangan muka mitra tutur  dalam tindak tutur permintaan, diperlukan strategi yang tepat (Felix-Brasdefer, 2005:66). Strategi itu dapat dilihat dari cara yang digunakan atau pun langkah-langkah yang dipilih sehingga maksud permintaan ditangkap oleh mitra tutur. Misalnya,  ketika ingin meminjam setrika, seorang penutur dapat mengatakan:

(1)   Mbak Ike, pinjam setrika!
(2)   A. Maria ada nggak ya mbak? B. Aku mau nyetrika. C.Biasanya aku minjam setrika ke dia.
(3)   A. Mbak Ike punya setrika? B. Lagi di pakai ndak?  C.Boleh aku minjam, Mbak?


Permintaan (1) – (3) dilakukan dengan tiga cara yang berbeda (ujaran yang dihitamkan adalah inti dari permintaan), yaitu (1) meminta langsung, (2) memberi informasi, dan (3) bertanya. Cara (1) tidak didahului atau diikuti oleh ujaran lain, sedangkan cara (2) didahului oleh ujaran pertanyaan  A dan memberikan informasi B dan (3) dengan dua pertanyaan A dan B.
Masing-masing permintaan (1) – (3) dituturkan dengan berbagai macam cara yang diwujudkan oleh berbagai jenis ujaran, seperti meminta langsung dalam (1) dan rangkaian beberapa jenis ujaran, seperti (2) dan (3). Jenis ujaran untuk meminta, seperti bertanya, memberi informasi, dan meminta langsung disebut juga dengan jenis strategi dan rangkaian beberapa jenis strategi seperti (2)A-C dan (3)A-C, untuk disebut dengan sekuensi. Jenis dan sekuensi strategi ini dipakai dalam situasi dan kepada mitra tutur  yang berbeda. Cara (1) dapat ditujukan kepada mitra tutur yang tidak dihormati dan (2) dan (3) kepada yang dihormati. Namun, semua cara berpotensi untuk ditujukan kepada baik orang yang dihormati maupun tidak dihormati, tergantung siapa yang menuturkannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas kedua permasalahan jenis strategi dan sekuensi strategi permintaan dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur dari berbagai latar belakang budaya. Tulisan ini juga akan melihat aspek-aspek apa sajakah yang dominan mempengaruhi atau yang menjadi landasan penutur dalam memilih strategi dan sekuensinya untuk melakukan permintaan. Hal ini tentu tidak dilepaskan dari pertimbangan masing-masing budaya penutur, dilihat pada hasil penelitian Gunarwan tentang masyarakat Batak dan Jawa (Gunarwan, 1997), Revita (2005) tentang masyarakat Minangkabau, dan informasi yang digali, baik dari informan maupun pihak-pihak lain  yang mengetahui budaya daerah penutur.
Jenis dan sekuensi strategi yang dipilih penutur untuk meminta diambil dari tuturan dalam interaksi yang  dilakukan oleh  delapan belas orang informen dalam satu kos di kota Yogyakarta. Masing-masing kedelapan belas informen ini adalah mahasiswa yang kos dan pemilik kos dengan anggota keluarganya. Mahasiswa dan pemilik kos ini merupakan penutur bahasa ( ada juga dialek) yang berbeda, seperti Minangkabau (selanjutnya disingkat pbMn) , Jawa (pbJw), Batak (pbBt),  Jakarta (pbJk), Melayu Riau (pbMR), Sunda (pbSn), Kaili (pbK), dan Jawa Timur (pbJwT) dengan tingkat pendidikan yang bervariasi, mulai dari tingkat SD sampai dengan pascasarjana (S3). Data diambil dengan menggunakan metode simak  dan teknik simak dan simak libat cakap,  catat, dan interview (Sudaryanto, 1993).


2. Selintas Pandang tentang Komunikasi Lintas Budaya
Merupakan suatu fakta bahwa strategi komunikasi dan kebiasan bertutur setiap masyarakat berbeda. Hal ini sesuai dengan pandangan Bonvillain (2003:63) bahwa simbol budaya sebuah masyarakat terefleksi dari bahasanya. Misalnya, hampir semua orang meyakini adanya perbedaan yang mendasar antara strategi komunikasi masyarakat dunia timur dan barat. Dalam sebuah anekdot yang dikatakan oleh  orang Jepang kepada orang Amerika dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang homogen dan tidak berbicara sebanyak orang Amerika berbicara. Ketika  mengatakan satu kata, orang Jepang dapat memaknainya menjadi sepuluh, berbeda dengan orang Amerika yang harus mengatakan sepuluh kata untuk satu makna (Jokinen & Wilcock, 2006).
Komunikasi lintas budaya  dimaknai sebagai  perbedaan komunikasi dan hubungannya dengan aspek budaya, khususnya konteks sosial dalam komunikasi interpersonal. Dalam komunikasi lintas budaya, seorang penutur berharap agar maksud tuturannya dapat ditangkap dan mitra tutur bertutur dengan  strategi yang sopan dan tepat sesuai dengan pengetahuan budayanya (Barker, 2000).  Dengan kata lain, setiap penutur dari budaya yang berbeda akan bertutur seirama dengan pemahaman budayanya. Misalnya, sebagaimana yang ditemukan Gunarwan (1997) dan Revita (2005) bahwa penutur bahasa Jawa dan Minangkabau cenderung bertutur implisit, berbeda dengan masyarakat Batak yang lebih eksplisit. Namun, karena masyarakat Minangkabau menganut sistem egaliter, tidak ada penggolongan dalam masyarakat tutur, seperti halnya tingkat tutur (unda usuk) dalam bahasa Jawa (Poedjosoedarmo, 1979), bahasa Sunda, atau bahasa Bali.
Ketika dua penutur Batak dan Minangkabau berinteraksi, perbedaan strategi tutur akibat beda budaya tidak dapat dihindari. Namun, bisa saja keduanya berusaha untuk saling memasuki area budaya masing-masing mitra tutur  sehingga justru tidak terlihat pebedaan, tetapi fenomena umum. Contoh, tatakala meminjam buku kepada seorang Minangkabau yang usianya lebih muda dan tingkat pendidikannya relatif lebih rendah, seorang penutur bahasa Batak  melakukannya dengan ujaran (4) di bawah ini.
(4)   Mbak, ada bacaan baru, ndak?
(Dituturkan oleh seorang mahasiswa S2  yang berasal dari suku Batak kepada seorang mahasiswa S3 yang berasal dari suku Minangkabau.)

Dengan menanyakan apakah mitra tutur memiliki bacaan baru, penutur sebenarnya bermaksud untuk meminjam. Strategi ini dipilih karena penutur berusaha menyesuaikan tuturannya dengan kebiasaan mitra tutur yang menggunakan tuturan implisit, walaupun dapat melakukannya dengan mengatakan sebagaimana tergambar pada ujaran (5).
(5)   Mbak, (boleh) pinjam bacaan yang baru, ya!

Dengan demikian,  dalam komunikasi lintas budaya, peserta tutur dapat bersikap tarik ulur agar komunikasi berjalan dengan lancar.

3. Permintaan dalam Bahasa Indonesia
Permintaan diartikan sebagai suatu ujaran yang meminta mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan kepada  apa yang dimaksud dalam ujaran.  Paandangan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Bach dan Harnish (1979)  bahwa requestives express the speaker’s desire that the hearer does something in which the hearer takes this desired expression as the reason to act. Sebuah permintaan tidak mengandung kewajiban, sebagaimana perintah (command), bagi mitra tutur untuk memenuhinya. Artinya, sebuah permintaan berpotensi untuk dipenuhi atau ditolak.
Permintaan berkaitan dengan kehilangan muka penutur dan mitra tutur. Penutur akan kehilangan muka bila permintaanya ditolak dan mitra tutur akan kehilangan muka bila strategi tuturan yang ditujukan kepadanya tidak ‘pas’. Dengan demikian, agar peserta tutur tidak kehilangan muka dan  permintaan dipenuhi, seorang penutur harus menggunakan strategi yang ‘jitu’. Strategi berkaitan dengan cara atau ‘trik’ yang dipergunakan dalam melakukan permintaan. Misalnya, untuk meminta agar seseorang pengendara motor menggeser motornya yang berhenti persis di depan pagar, sementara mobilnya akan keluar, seorang penutur dapat menyampaikannya dengan:
(1)   Permisi.
(2)   Maaf, numpang lewat!
(3)   Mas, bisa dipindahkan motornya  karena mobil saya mau lewat?
(4)   (Membunyikan klakson mobil)

Keempat ujaran (1) – (4) mengandung satu maksud, tetapi menggunakan cara yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Blum Kulka (1984) bahwa sebuah ujaran, untuk maksud yang sama, dapat disampaikan dengan cara yang berbeda. Dalam Teori Kepala Burung tentang strategi permintaan, Blum-Kulka mengemukakan sembilan strategi dalam meminta, yakni (1) tuturan bermodus imperatif, (2) tuturan performatif eksplisit, (3) tuturan berpagar, (4) tuturan preposisi keharusan, (5) tuturan menunjukkan kesangsian, (6) tuturan pengandaian bersyarat, (7) tuturan proposisi yang menggunakan impersona, (8) tuturan menyertakan alasan, (9) tuturan terselubung.
Kesembilan strategi ini juga ditemukan dalam permintaan berbahasa Indonesia, tetapi lebih variatif. Berdasarkan data yang ada, kevariatifan ini muncul akibat adanya kontak antarpenutur dari berbagai budaya daerah.  Tatkala melakukan permintaan, spesifikasi budaya daerah penutur dimasukkan, tetapi disesuaikan dengan budaya mitra tutur. Pergesekan ini memunculkan strategi lain yang tidak menyuperiorkan suatu budaya atas budaya lain. Justru fenomena yang ditimbulkan adalah tenggang rasa dan saling menghargai.

4. Strategi Permintaan dalam Bahasa Indonesia dan Sekuensinya

4.1 Strategi Permintaan dalam Bahasa Indonesia

Ada sebelas strategi yang dipergunakan untuk melakukan permintaan dalam bahasa Indonesia, yaitu:
1. Meminta, maksud permintaan tergambar jelas dari ujaran  yang digunakan (biasanya menggunakan kalimat imperatif).
(6)   Rahma, sampah yang di atas bawa turun!
(Dituturkan oleh ibu kos yang berasal dari Yogya, berpendidikan D3, kepada seorang anak kos yang berasal dari Jawa Timur, berpendidikan S1)

(7)   Mbak, tolong matikan airnya kalau udah penuh ya!
(Dituturkan oleh ibu kos yang berasal dari Yogya, berpendidikan D3, kepada seorang anak kos yang berasal dari Sunda, berpendidikan S1)

(8)   Ayo, Li! Tanya sama buk Ike!
(Dituturkan oleh penghuni kos, mahasiswa S1 yang berasal dari Jawa Timur, kepada teman kosnya yang berasal dari Riau Melayu, berpendidikan S1)
Ujaran (6) – (8) jelas bermaksud untuk meminta, sesuai dengan kata-kata yang menyusunnya, yaitu permintaan agar sampah dibuang ke tempat sampah,  mematikan kran air kalau bak sudah penuh, dan  meminta agar suatu informasi ditanyakan. Ketiga bentuk permintaan menggunakan kalimat imperatif.

2. Bertanya,  permintaan dilakukan dengan cara bertanya.
(9)           Mbak Ike mau pakai kamar mandi, ndak?
(Dituturkan oleh penghuni kos, mahasiswa S1 yang berasal dari Jawa Timur, kepada teman kosnya yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

(10)               Maria mau pakai kamar mandi?
(Dituturkan oleh penghuni kos yang berasal dari Minangkabau, pendidikan S3, kepada teman kosnya yang berasal dari Sunda, berpendidikan S1)

Dengan hanya memberikan pertanyaan, penutur pada (9) dan (10) sebenarnya bermaksud untuk meminta agar diizinkan menggunakan kamar mandi terlebih dulu.

3. Menyapa, permintaan dengan memanggil nama diri, mengucapkan salam, atau menggunakan interjeksi.

(11)               Mbak Maria….Mbak Maria….
(Dituturkan oleh penghuni kos, seorang mahasiswa S3 yang berasal dari Minangkabau, kepada teman kosnya yang berasal dari Sunda, berpendidikan S1)

(12)               Mbak….!Assalamualaikum!
(Dituturkan oleh penghuni kos, seorang mahasiswa S2 yang berasal dari Kaili, kepada teman kosnya yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

Kedua ujaran (11) dan (12) bermaksud sebagai permintaan agar diizinkan masuk. Ujaran (11)  hanya menggunakan sapaan Mbak + nama diri saja karena penutur sudah menginformasikan sebelumnya bahwa dia akan bertandang ke kamar mitra tutur. Jadi, dengan  hanya memanggil, mitra tutur sudah paham maksud penutur. Hal yang sama juga terjadi pada ujaran (12) yakni, penutur hanya memanggil Mbak diikuti oleh salam Assalamualaikum. Mitra tutur yang sudah mengenal suara penutur segera paham maksud penutur dengan memberi respon mempersilahkannya masuk.

4. Memberi informasi, yaitu permintaan yang dilakukan dengan hanya memberikan informasi.
(13)               Mbak, aku kalau di atas tidak bisa ngambil jemuran karena kakiku sakit.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Kaili, berpendidikan S2)

(14)               Aku pagi-pagi ni repot sekali kalau harus ngisi semua bak.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S2)

(15)               Aku mau neglayat tapi mbak Yam kaatnya ndak bisa nunggu rumah.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

Ketiga ujaran (13)-(15) berisi informasi yang mengandung maksud meminta, yaitu agar mitra tutur tidak menjemur di lantai dua karena kaki penutur sakit sehingga tidak dapat  mengambilnya kalau hari hujan, agar mitra tutur membantu mengisi bak kamar mandi masing-masing, dan meminta untuk menunggu rumah sementara penutur pergi melayat.

5. Memberi saran, yaitu permintaan yang dilakukan dengan memberi masukan atau saran.
(16)               Lebih baik kalian kalau ngobrol di kamar depan.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada tiga orang penghuni kos  yang sedang mengobrol dengan suara keras. Ketiga mitra tutur berasal dari Minangkabau, berpendidikan S2, dari Jawa Timur dan Jakarta, berpendidikan S1)

(17)               Bagaimana kalau jemuran Ati dipindahkan ke atas?
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minagkabau, kepada teman kosnya  yang berasal dari Jawa Timur, berpendidikan S1)

Walaupun secara eksplisit penutur memberi saran, tetapi maksud yang hendak disampaikan adalah permintaan agar mitra tutur tidak mengobrol di depan kamar penutur karena suara mereka yang keras sangat mengganggunya dan permintaan agar mitra tutur memindahkan jemurannya ke lantai dua supaya tidak menghalangi jalan menuju ke kamar penutur.

6. Mengacu ke Orang Ketiga, yaitu permintaan yang dilakukan dengan mengacukan ujaran kepada orang ketiga yang hadir dalam peristiwa tutur.

(18)               Bilang tante Emi, ‘Tante Emi, boleh pinjam sepedanya, ndak?’
(Dituturkan penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minangkabau, kepada putrinya yang berusia 6 tahun)

(19)               Bilang mbak Lili, ‘Mbak, kamar mandinya aku yang memakai dulu.’
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minangkabau kepada putrinya yang berusia 6 tahun)

Ujaran (18) dan (19) sebenarnya ditujukan kepada O2, yaitu Tante Emi dan Mbak Lili, dengan maksud untuk meminjam sepeda  dan meminta izin memakai kamar mandi yang biasa digunakan mitra tutur. Namun, penutur mengutarakan permintaan kepada O3, yaitu anaknya sendiri. Saat tuturan disampaikan,  baik Tante Emi dan Mbak Lili berada di tempat itu.

7. Menawarkan, yaitu permintaan yang dilakukan dengan memberikan tawaran.
(20)               Dear kalau mau memakai panci hitam, pakai saja, kalau repot menampung air.
(Dituturkan oleh putri ibu kos, berpendidikan S1 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Jakarta, berpendidikan S1)

(21)               Mbak, pakai saja air di baskom hitam karena bu Emi baru ntar sore nyuci!
 (Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

Tawaran (20) dan (21) yang dipergunakan penutur  merupakan ujaran untuk maksud meminta, yaitu agar mitra tutur memakai baskom warna hitam sehingga penutur tidak lama antri untuk menggunakan air di kran dan  agar mitra tutur tidak menyalakan kran dulu karena air yang keluar kecil, sementara putaran meteran air cepat, sehingga  bayaran rekening air menjadi tinggi.

8. Mengutip, yaitu permintaan yang dilakukan dengan melakukan kutipan langsung atas ujaran orang lain.
(22)               Dear, kemarin bu Warno bilang, waktu sepatu berjejeran di sini,’Ini tempat duduk, bukan tempat sepatu’.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minangkabau, kepada teman kosnya  yang berasal dari Jakartai, berpendidikan S1)


(23)               Rahma, kata bu Warno,’Kalau markir motor tu ingat ada motor orang lain yang mau parkir juga’.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minangkabau, kepada teman kosnya  yang berasal dari Jawa Timur, berpendidikan S1)

Dengan mengutip langsung kembali ujaran orang lain, penutur tidak semata mengatakan ulang atas suatu hal, tetapi meminta mitra tutur untuk tidak meletakkan sepatunya di atas kursi karena mengaganggu pemandangan dan memarkir motor dengan rapi karena motor penutur sering tidak kebagian tempat yang disebabkan oleh parkiran  motor mitra tutur yang sesukanya saja.

9. Mengeluh,  yaitu permintaan yang disampaikan dengan cara menyampaikan keluhan. Biasanya  didahului oleh interjeksi aduh  atau kata tanya bagaimana ya.
(24)               Aduh, padahal Rahma mulai kuliah jam 7.30. Sekarang sudah jam 7.20.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S1 yang berasal dari Jawa Timur, kepada teman kosnya  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

(25) Bagaimana ya, motor ndak boleh dibawa, sementara tempatnya jauh masuk ke dalam.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S1 yang berasal dari Jawa Timur, kepada teman kosnya  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

Keluhan yang disampaikan penutur pada ujaran (24) dan (25)  mengandung maksud permintaan agar mitra tutur bersedia mengantarkan ke kampus dan ke suatu daerah tempat penutur dan teman-temannya berkumpul menjelang keberangkatan KKN. Terkadang, interjeksi aduh dan kata tanya bagaimana ya dimunculkan secara bersamaan dalam ujaran yang sama. Bentuk seperti ini biasanya digunakan bila harapan penutur agar permintaan dipenuhi sangat tinggi,  seperti ujaran (26) di bawah ini.
(26) Aduh…bagaimana ya….bisa ndak kuliah nih. Mana dosennya galak dan ndak boleh telat lagi.

10. Menggunakan Kalimat Pengandaian, yaitu permintaan yang dilakukan dengan menggunakan kalimat pengandaian (if clause).
(27) Mbak, kalau ada sampah di atas, tolong diturunkan, ya!  Jangan dibiarkan menumpuk!
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Melayu Riau, berpendidikan S1)
(28) Lain kali, kalau ada yang nginap, mbok kulonuwun. Dikasih tahu! Etikanya kan begitu.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Sunda, berpendidikan S1)

Ujaran (27) terdiri atas kalimat pengandaian dengan kalimat imperatif dan ujaran (28) menggunakan kalimat deklaratif sebagai induknya.

11. Menyindir, yaitu permintaan yang dilakukan dengan memberikan kritikan secara tidak langsung.
(29) Wah, Dear mau manten nih. Tuh janur kuningnya sudah terpasang. Underwear.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Jakarta, berpendidikan S1)

(30)  Mbak Ila,  penangkal hujannya kok ndak berfungsi. Dah dua hari di sana, tetap saja hujan.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Kaili, berpendidikan S2)

 Ujaran (29) dan (30) merupakan sebuah kritikan atas perbuatan yang dilakukan mitra tutur, yaitu menjemur pakaian dalam persis di tengah jalan masuk menuju kamar kos dan tidak mengambil jemuran selama dua hari. Dalam kritikan ini terkandung makna permintaan agar mitra tutur tidak lagi menjemur di tempat yang sama karena menghalangi jalan penghuni kos lain yang akan menuju kamar mereka dan segera mengangkat jemuran kalau sudah kering (30).

4.2 Sekuensi Permintaan dalam Bahasa Indonesia

Sekuensi permintaan artinya gabungan  beberapa strategi untuk melakukan permintaan. Sekuensi itu ada yang terdiri atas dua strategi (2 in 1), tiga strategi (3 in 1), empat strategi (4 in 1) dan lebih dari empat strategi (multi in 1). Berikut penjelasannya.

1. Sekuensi 2 in 1. Sekuensi ini menggunakan dua jenis strategi, yang salah satunya merupakan isi dari permintaan. Isi permintaan itu bisa saja mendahului atau didahului ujaran pendukung. Secara esensial, tidak ada perbedaan makna pada permintaan yang isinya mendahului atau didahului ujaran pendukung. Namun, perbedaan posisi mempengaruhi fokus perhatian. Permintaan yang ujaran intinya mendahului ujaran pendukung lebih fokus dibandingkan sebaliknya, sebagaimana yang tergambar pada ujaran (31) – (33) berikut.
(31) Mbak Ike,  tolong beritahu yang lain, kalau ke kamar mandi pakai sandal yang sudah disediakan.  Soalnya bisa tiga kali aku mengganti keset.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

(32) Mbak Sri, gantian saja, ya! Anind suka kamar mandi sini.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minangkabau, kepada teman kosnya  yang berasal dari Melayu Riau, berpendidikan S1)

(33) Buk Ike, boleh pinjam charger nggak? Punyaku tinggal di Klaten.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S1 yang berasal dari Jakarta, kepada teman kosnya  yang berasal dari Jakarta, berpendidikan S1)

Ketiga ujaran (31)-(33) diwujudkan oleh ujaran inti (bentuk yang dihitamkan) yang mendahului ujaran pendukung dengan strategi yang berbeda, yaitu meminta-memberi alasan (31), meminta-memberi informasi (32), dan bertanya-memberi alasan (33). Ujaran-ujaran pendukung di atas dapat mendahului ujaran inti tanpa membedakan maksud, tetapi mempengaruhi sense mitra tutur dalam memahami maksud ujaran. Dengan kata lain, menutur pendapat sebagian informen yang penutur tanya, permintaan yang didahului oleh ujaran pendukung cenderung dianggap lebih sopan dibandingkan permintaan yang diawali oleh ujaran inti.

2. Sekuensi 3 in 1. Sekuensi ini terdiri atas tiga deret strategi permintaan yang ujaran inti dapat beda di awal, tengah, atau akhir keseluruhan ujaran. Contoh,
(34) Maaf, mbak. Saya mau minta tolong Mbak Ike untuk mengantarkan saya ke pos. Ada barang yang harus segera dikirimkan.
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S2 yang berasal dari Batak, kepada teman kosnya  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

(35) Nanti kalau sudah datang semuanya, piket kamar mandi di jadwal aja, Mbak. Biar tidak ada yang keenakan. Kalau ndak, aku sama mbak Ike yang sering bersihkan kamar mandi.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

(36) Mbak, aduuuh. Maaf, ya. Saya harus sampai di kampus jam 12.30. Bisa minta tolong ngantarin ya, mbak?
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S1 yang berasal dari Jawa Timur, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

Ujaran (34)-(36) disusun oleh sekuensi strategi meminta maaf-memberi informasi-memberi informasi, meminta-alasan-memberi informasi, dan mengeluh-meminta maaf-meminta. Sekuensi strategi ini dipilih karena penutur menaruh rasa hormat kepada mitra tutur yang pendidikannya relatif cukup tinggi dan paling tinggi diantara seluruh penghuni kos.
Selain menggunakan beberapa strategi yang berbeda,  sekuensi  strategi dapat diisi oleh strategi yang sama, seperti (37) berikut.
(37) Lho, kok sore-sore tidur? Piye? Jadi berangkat sekarang?
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S3 yang berasal dari Minangkabau, kepada penghuni kos  yang berasal dari Jawa Timur, berpendidikan S1)

3. Sekuensi 4 in 1. Sekuensi ini menggunakan empat jenis strategi untuk mencapai satu maksud permintaan. Misalnya,
(40) Mbak Ike ke kampus hari ini?  Adiknya Pak Tono meninggal. Aku mau ngelayat. Mbak Yam katanya ndak bisa.
(Dituturkan oleh ibu kos, berpendidikan D3 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)

(41) Mbak Maria hari ini di rumah saja? Aku mau nganterin ibuk ke dokter. Nggak ada yang dirumah. Bisa ndak ya di rumah sebentar?
(Dituturkan oleh puutri pemilikii kos, berpendidikan S1 yang berasal dari Yogya, kepada penghuni kos  yang berasal dari Sunda, berpendidikan S1)

Ujaran (40) dan (41) dituturkan pbJw dengan pbMn dan pbSn.  Sekuensi 4 in 1 dipilih  karena penutur khawatir bila permintaannya mengganggu  tujuan utama mitra tutur datang ke Yogya, yaitu kuliah. Selain itu,  dengan memilih sekuensi yang cukup panjang, terdiri atas bertanya-memberi informasi-memberi informasi-memberi informasi (40) dan bertanya-memberi informasi-memberi informasi-bertanya (41), penutur berharap permintaannya dipenuhi karena hal-hal yang mendasari permintaan itu dijelaskan secara panjang lebar.

4. Sekuensi Multi in 1
Permintaan dengan sekuensi strategi multi in 1 disusun oleh lima atau lebih strategi. Bentuk pemintaan yang menggunakan sekuensi ini jarang sekali ditemukan. Hanya ada beberapa tuturan yang di tuturkan dalam konteks tertentu, seperti penutur tidak punya alternatif keculai tetap meminta atau tingkat kesulitan permintaan tu dipenuhi. Misalnya, pada ujaran  (42) yang dituturkan oleh  pbSl ke pbMn. Sekuensi ini dipilih karena penutur merasa sungkan untuk meminta, tetapi dia tidak mempunyai pilihan.
(42) Aduh...bagaimana ya, Mbak?  Hari ini Ila mau kuliah. Kakak Ila mau datang. Dia baru sekali ini keYogya. Ila tidak bisa jemput. Mbak ada acara ndak hari ini?
(Dituturkan oleh penghuni kos, berpendidikan S2 yang berasal dari Kaili, kepada penghuni kos  yang berasal dari Minangkabau, berpendidikan S3)


3. Kesimpulan
Ada sebelas strategi tuturan permintaan lintas budaya yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, yaitu  (1) meminta, (2) bertanya, (3) menyapa, (4) memberi informasi, (5) menasihati, (6) mengacu ke O3, (7) menawarkan, (8) mengutip, (9) mengeluh, (10) menggunakan if clause, dan (11) memberi komentar. Kesebelas strategi ini ada yang digunakan sendiri-sendiri atau bersamaan dengan yang lain. Strategi yang kedua muncul berupa sekuensi (1) 2 in 1, (2) 3 in 1, (3) 4 in 1, dan (4) multi in1. Dari keempat sekuensi ini, 3 in 1 lebih sering muncul. Hal ini didasari oleh keinginan untuk tidak menimbulkan dampak kehilangan muka yang tinggi, baik terhadap penutur maupun mitra tutur. Selain itu, dalam permintaan lintas budaya ini, tidak ada satu budya yang dominan atas budaya lain, tetapi lebih kepada sikap tenggang rasa. Selain itu, dasar utama pemilihan strategi dan sekuensi adalah rasa hormat terhadap mitra tutur. Makin besar nomor urut strategi dan sekuensi yang dipilih, makin tinggi rasa hormat terhadap mitra tutur.

4. Sumber Rujukan Pustaka

Barker, Chris.  Cultural Studies, Theory and Practice. Terjemahan Nurhadi. London: Sage Publications

Blum-Kulka,S dan E.Olshtain.1984. ’Request and Apologies: A Cross-cultural Study of Speech Act Realization Patterns (CCSARP)’. Applied Linguistics. 5 (3)

Bonvillain, Nancy. 2003. Languge, Culture, and Communication: The Meaning of Message.  4th Edition.  New Jersey: Prentice Hall

Brown, Penelop and Stephen Levinson. 1987. ‘Universal in Language Usage:Politeness Phenomena’. Dalam Esther N. Goody. Ed. ‘Questions and Politeness:Strategies in Social Interaction. Cambridge:Cambridge University Press

Gunarwan, Asim. 1997. ‘Tindak Tutur Melarang di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur Jati Bahasa Jawa’.  Masyarakat Linguistik Indonesia. Thn.15. No.1 dan 2.

Jokinen, Kristiina & Graham Wilcock. 2006. ‘Contextual Inferences in Intercultural Communication’.  A Man of Measure Festchrift in Honour of Fred Karlson. Hal. 291-300

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusata Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud

Revita, Ike. 2005. Daya Pragmatik Permintaan dalam Budaya Tutur Masyarakat  Minangkabau’.  Kolita 4 Atmajaya:Tingkat Internasional. Jakarta:Pusat Kajian Bahasa dan  Budaya Unika Atmajaya. Hal. 73-77

Revita, Ike. 2005. ‘Tindak Tutur Permintaan dalam Bahasa Minangkabau’. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjahmada

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell

Wijana, I Dewa Putu. 2004. ‘Teori Kesantunan dan Humor’. Seminar Nasional Semantik III: Pragmatik dan Makna Interaksi Sosial. 28 Agustus. Prodi S2 dan S3, Program Pascasarjana, dan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret



0 comments:

Post a Comment