BAB I
PENDAHULUAN
Adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat adalah
sebuah falsafah kehidupan dan menjadi simbol yang sangat dikenal pada era
kejayaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636
M). Sebenarnya ungkapan tersebut menunjukkan perilaku kehidupan masyarakat yang
mengacu pada tatanan hukum adat dan ajaran agama Islam. Keduanya tidak boleh
dipisahkan karena begitu melekat dalam jiwa nasionalis orang Aceh.
Adat Aceh terus dilakoni oleh masyarakat dari
generasi ke generasi berikutnya untuk membuktikan kepada bangsa lain bahwa adat
Aceh memiliki akar dan struktur yang kuat. Bentuk kultural adat Aceh
dimodifikasi sesuai zamannya tanpa mengubah nilai aslinya dan bentuknya sangat
fleksibel. Paradigma sosio-kultural menunjukkan bahwa masyarakat Aceh berpegang
teguh serta tunduk pada adat-istiadat dan nilai-nilai Islam. Meskipun adat Aceh
tidak tertulis resmi namun masyarakat Aceh meyakini bahwa sistematika adat Aceh
adalah kenyataan hidup yang harus dilaksanakan. Tentu saja mereka tidak ingin
dikucilkan dalam pergaulan masyarakat sebagai akibat dari tidak memahami
adat-istiadat dengan baik. Karena kedudukan adat-istiadat pada masa itu menjadi
semacam sebuah kitab peraturan sakral bernilai religius yang wajib dipatuhi
oleh masyarakat Aceh. Maka tanpa adanya adat-istiadat sebuah kaum menjadi
rentan ibarat sebuah negeri yang tidak memiliki benteng kokoh ketika di serang
oleh negeri lain.
Adat yang berkembang di Aceh selalu berbarengan
dengan ajaran Islam. Adat Aceh ada disebabkan adanya hukum Islam yang mulai
diterapkan di Aceh. Hukum Islam di sini cenderung bersifat fiqhiyyah, yaitu
sebuah syara’ yang diterjemahkan sehingga aplikasinya benar-benar nyata. Dan
ini menjadi sebuah hukum positif yang berfungsi untuk menjaga dan mengatur
tatanan kehidupan individual dengan Tuhan dan sesama masyarakat. Hukum positif
ini tetap bernuansa religi, sehingga ketundukan terhadap hukum ini juga
ketundukan terhadap Allah.
Kemudian
adat yang notabene dikuasai oleh
Sultan juga mengatur perilaku individu dengan Tuhan dan bersosialisasi ke dalam
strata sosial lain. Posisinya tetap berada dalam ruang lingkup hukum positif di
mana pelakunya selain harus tunduk kepada Tuhan juga harus tunduk kepada hukum
itu sendiri (Sultan). Selama hukum adat tidak menyimpang dari hukum Islam,
hukum adat itu tetap dipergunakan oleh masyarakat Aceh.
Pada
hakikatnya, hukum adat Aceh dan hukum Islam tidak mengarah kepada perbuatan untuk
menganiaya manusia yang bersalah. Hukum adat bertujuan untuk menjaga dan
memelihara hak-hak asasi manusia, berupaya memberi perlindungan, ketentraman,
kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan ajaran
Islam yang memberikan perlindungan bagi penganutnya.
Pada
masa gencarnya aplikasi hukum adat dan syara’ di Aceh, hampir tidak pernah
terdengar adanya keluhan masyarakat tentang kondisi wilayah mereka akibat
terganggunya keamanan, ketenteraman, ataupun teror. Masyarakat menyadari bahwa
perbuatan-perbuatan yang dilarang adat maupun agama adalah perbuatan terkutuk. Pemerintah
selalu mengawasi masyarakatnya agar pelaksanaan hukum adat dan agama tidak
dilanggar.
Tujuan
Pembahasan
ini terbatas pada beberapa hukum adat berbasis agama yang tengah menjadi
persoalan dalam penerapan syari’at Islam di Aceh. Adapun tulisan ini bertujuan untuk
menyibak kembali pelaksanaan hukum adat berbasis agama yang pernah diterapkan
di Aceh. Kemudian tulisan ini mencoba memberikan gambaran terhadap tiga hal
persoalan, yaitu :
- Bagaimana
sebenarnya peranan adat dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat Aceh?
- Sejauhmana
tingkat keberhasilan hukum adat berbasis agama yang pernah diterapkan di
Aceh?
- Strategi
apa yang mesti dilakukan agar penerapan syari’at Islam di Aceh sekarang
ini bisa terlaksana dengan kaffah?
Di samping itu, dalam tulisan ini penulis mencoba
menyibak beberapa pengalaman masa lalu sebagai acuan untuk masa sekarang.
Bagaimana prinsip orang Aceh dahulu dan bagaimana keadaan orang Aceh sekarang.
Lantas bagaimana hukum adat begitu dipatuhi oleh orang Aceh dan bagaimana adat
sekarang diabaikan oleh orang Aceh. Kemudian bagaimana penerapan hukum syara’ pada
masa dulu dan bagaimana perkembangan penerapan syari’at Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sekarang.
Penulis
membatasi pembahasan ini sesuai keadaan yang berkembang di Provinsi NAD
sekarang ini. Terutama menyangkut permasalahan penerapan syari’at Islam (di
sini hanya dibatasi pada isu krusial). Sebagian orang menyadari bahwa syari’at
Islam sangat luas cakupannya. Tetapi walau bagaimanapun juga harus disadari
bahwa untuk mengembalikan kejayaan Aceh masa lalu diperlukan itikad baik dari
seluruh komponen masyarakat. Dan pada akhirnya akan ditemukan kembali buku
pedoman yang menjadi jati diri orang Aceh.
Manfaat
Tulisan ini diharapkan bermanfaat baik dari aspek
teoritis maupun praktis. Secara teoritis tergambar dalam materi tulisan ini.
Adapun secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi individu,
masyarakat, dan pemerintah. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan dan
menjadi sebuah upaya untuk memutar kembali sejarah adat Aceh yang pernah
berjaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Awal Berkembangnya Hukum
Adat Di Aceh
Sebelum menelusuri lebih jauh
tentang perkembangan hukum adat di Aceh, terlebih dahulu perlu diketahui
pengertian adat itu sendiri. Adapun kata “adat” adalah kata serapan dari bahasa
Arab yang secara termonilogi berarti peraturan yang telah berlaku turun-temurun
dari zaman dahulu dan masih ditaati oleh masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adat mempunyai beberapa arti, 1) aturan (perbuatan dan sebagainya)
yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala, 2) kebiasaan ; cara
(kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, 3) cukai menurut
peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan sebagainya), dan 4) wujud gagasan kebudayaan
yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu
dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Sedangkan adat-istiadat adalah
tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain
sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku
masyarakat.
Dari serangkaian definisi adat
di atas, jelaslah bahwa adat merupakan sebuah sistem yang dianut masyarakat
sebagai pola tingkah laku kehidupan masyarakat. Adat bisa menjadi sebuah
pegangan suatu masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik yang berkenaan
hubungan interaksi masyarakat dalam sebuah adat maupun hukuman akibat pelanggaran
terhadap adat. Adat suatu negeri biasanya dijalankan tanpa ada format tertulis
dan tetap diyakini masyarakat sebagai sebuah sistem yang harus dipatuhi.
Biasanya kehidupan masyarakat yang masih kental adat lokalnya berlangsung
teratur dikarenakan sistem adat yang efektif terhadap kondisi masyarakat
tersebut.
Sejarah dimulainya perilaku
adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam. Masuknya agama Islam
ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada
tahun 1511 – 1530 M juga sangat mempengaruhi proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran
agama Islam pada masa itu berkembang luas dan cepat karena agama Islam sangat
cocok dengan karakteristik masyarakat Aceh. Maka atas hasil mufakat
pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem hukum adat yang mulai diberlakukan
di Kerajaan Aceh Darussalam. Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib
karena adanya kerjasama yang solid antara pemerintah, lembaga adat dan
masyarakat.
Ketika Sultan Iskandar Muda
memimpin kerajaan rentang tahun 1607 – 1636 M, Aceh mengalami kemajuan yang
sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya termasuk aspek
penataan hukum adat. Hukum adat Aceh sangat dikenal di seluruh dunia, menurut
penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan adat Aceh masyhur ke seluruh
negeri :
a. Hubungan diplomatis yang sangat erat
dengan pemerintah Turki. Hasil dari hubungan bilateral ini Sultan sering
berbagi pengalaman tentang kondisi kemajuan di Aceh, termasuk adat-istiadatnya.
b. Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkan
oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang berhasil ditaklukkan sebagian besar adalah
daerah-daerah Melayu. Misi Sultan adalah menyebarluaskan agama Islam dan juga
memperkenalkan adat-istiadat Aceh. Secara tidak langsung, daerah yang berhasil
ditaklukkan harus mengikuti aturan Kerajaan Aceh.
Kepiawaian Sultan Iskandar
Muda juga tergambar jelas ketika berhasil mempersatukan beberapa suku yang
masih menganut adat budaya masing-masing menjadi adat nasional (hukum adat yang
dikendalikan oleh kerajaan). Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin, di Aceh
tersebar empat suku besar, yaitu :
1. Suku Lhee
Reutoh (Tiga ratus), yang berasal dari orang-orang mante dan Karo/Batak
2. Suku Imuem
Peut (Imam Empat), yang berasal dari orang-orang Hindu
3. Suku Tok
Batee, kaum asing yang berasal dari Arab, Parsi, Turki, dan Hindi yang
sudah lama menetap di Aceh
4. Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu,
tukang tuak yang pertama sekali datang ke Lampanaih.
Keempat suku ini saling
mengklaim bahwa budaya mereka adalah yang terbaik di antara suku-suku lain.
Sultan-sultan sebelumnya sangat sulit mempersatukan keanekaragaman adat
masing-masing suku. Masa ini dalam sejarah juga sering disebut adat plakpleung yaitu adat yang
beranekaragam. Kejadian ini hampir sama seperti negara Indonesia yang terdiri
dari ratusan suku. Kemudian oleh pemerintah suku-suku tersebut dipersatukan
dalam satu wadah dan satu bahasa sebagaimana yang tersurat dalam Sumpah Palapa.
Kemudian atas beberapa nasehat
dari mufti kerajaan dan ahli-ahli agama, maka Sultan telah dapat menyatukan
suku-suku yang berbeda tersebut dalam satu wadah pemerintahan. Sehingga
muncullah hadih maja yang masih
dikenal sampai sekarang, yaitu : adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah
Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lage zat
ngon sifeut.
Adapun penjelasannya dari
istilah di atas, yaitu :
·
Sultan
Imam Malikul Adil sebagai kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan politik
dan adat negeri, atau pemegang kekuasaan eksekutif
·
Qadli
Malikul Adil (ulama) sebagai ketua mahkamah agung adalah pemegang kekuasaan
hukum (yudikatif)
·
Rakyat
adalah pemegang kekuasaan pembuatan undang-undang (legislatif) yang dalam hadih
maja ini dilambangkan sebagai Putroe Phang, yaitu Puteri Pahang (permaisuri
Sultan Iskandar Muda) yang mempelopori pembentukan Majelis Mahkamah Musyawarah
Rakyat
·
Pada waktu negara dalam keadaan bahaya/perang,
pemegang segala kekuasaan dalam negara adalah Panglima Tertinggi Angkatan
Perang, yang dalam istilah hadih maja
ini disebut sebagai Laksamana, yaitu Wazirul Harb.
Walaupun pembagian kekuasaan
seperti tersebut di atas, ada satu ketentuan lain yang tidak boleh menyimpang satu
sama lain. Sesuai dengan hadih majanya
hukom
ngon adat lage zat ngon sifeut. Maksudnya adat dengan hukum adalah
seperti zat dengan sifat, menjadi satu dan tidak boleh dipisahkan. Sehingga
antara pemegang kekuasaan adat dan politik (Sultan Imam Malikul Adil) dengan
pemegang kekuasaan hukum (Qadli Malikul Adil) haruslah bekerjasama.
Hadih maja di atas
menjadi sebuah filsafat hidup rakyat Aceh yang harus dijalankan secara
menyeluruh. Adanya pembagian kekuasaan yang merata dan sumber pegangan
masyarakat telah menjadikan hadih maja ini
sakral bagi masyarakat. Pengertian hadih
maja ini sebagai falsafah hidup rakyat Aceh berarti:
1. Segala cabang kehidupan negara dan rakyat
haruslah berjiwa dan bersendi Islam
2. Wajah politik dan wajah agama Islam pada
batang tubuh masyarakat dan negara Aceh telah menjadi satu
3. Sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas
Islam menjadi landasan berpijak bagi rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam
Kemudian maksud hukom dalam hadih maja tersebut yaitu hukum Islam, karena Undang-undang Dasar
Aceh yang bernama Qanun Adat Meukuta Alam
menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam adalah Hukum
Islam dengan sumber hukumnya Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Nyatalah bahwa hadih maja tersebut
adalah falsafah kehidupan rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam dan telah
menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan Hidup (way
of life) dari rakyat Aceh.
Berpegang pada prinsip di atas, maka kerajaan juga
membuat kategori adat itu pada tiga hal, yaitu :
1. ‘Adatulllah, yaitu hukum dari Allah
2. Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun
oleh majelis kerajaaan. Contoh adat ini seperti adat blang, adat laot, adat gle, adat peukan, adat kuala, adat seuneubok, dan sebagainya.
3. Adat tunaih,
adat ini berlaku di masing-masing daerah. Biasanya disusun secara musyawarah
oleh Panglima Sagoe, Uleebalang, dan utusan masyarakat untuk
menunjang hukum dan adat raja (adat mahkamah).
Selain tiga jenis adat di atas, ada beberapa ketentuan
hukum dan adat yang tidak dapat diberikan keputusan oleh majelis ulama dan uleebalang, masyarakat boleh meminta
ketetapan hukum dan adat pada Pengadilan Tinggi Syaikhul Islam dan Majelis
Tinggi yang diketuai oleh Sri Baginda sendiri dan ditempatkan di Balai
Baiturrahman.
Lancarnya kehidupan adat di
Aceh didukung oleh kepemimpinan Sultan yang adil bijaksana, rakyat Aceh
senantiasa hidup tenteram, damai, dan makmur sejahtera. Hampir jarang didengar
adanya kesenjangan sosial sesama masyarakat. Rakyat mematuhi pimpinannya,
karena mereka bekerja untuk kepentingan umum dan berlaku adil sesuai
ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh. Kuatnya posisi hukum dan adat telah menjadi
contoh bangsa lain untuk berguru pada Kerajaan Aceh Darussalam. Malah beberapa
bangsa Melayu mencontoh bentuk ini untuk diterapkan kepada masyarakatnya,
seperti Brunei, Pattani, dan Malaya.
Awal munculnya implementasi
hukum adat di Aceh berdasarkan rancangan yang dibentuk oleh pemerintah dengan
mempertimbangkan faktor kondisi psikologis orang Aceh. Ketetapan hukum adat ini
seharusnya berlangsung hingga pemerintah berikutnya berkuasa. Namun tidak
halnya yang terjadi pada pemerintahan daerah sekarang, yang seakan-akan
menafikan hukum adat.
Struktur Tata Negara
Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda memerintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan
di Aceh adalah gampong (kampung).
Sebuah gampong terdiri atas
kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain. Yang
mengepalai gampong adalah seorang geuchik dan dibantu oleh waki. Selain itu geuchik juga dibantu oleh tengku
imuem meunasah dan tuha peut.
Setiap gampong di Aceh wajib memiliki
meunasah. Meunasah ini dipimpin langsung oleh imuem meunasah. Meunasah
berfungsi untuk pelaksanaan ibadah seperti shalat fardhu berjamaah dan kegiatan
sosial keagamaan yang dilakukan oleh gampong
masing-masing. Selain itu meunasah
juga sebagai tempat untuk balai pengajian, tempat tidur untuk pemuda-pemuda
yang masih lajang, dan tempat menginap para musafir. Untuk kegiatan keagamaan diambilalih
oleh imuem meunasah sedangkan
kegiatan sosial dipimpin langsung oleh geuchik.
Begitulah adat yang dipraktikkan oleh orang Aceh.
Di tingkat pemerintahan gampong ada yang namanya seuneubok, yaitu suatu organisasi petani
yang berwenang mengurus masalah perekonomian tingkat gampong. Seuneubok ini
dipimpin oleh peutua seuneubok. Peutua
seuneubok tidak berhak mencampuri urusan keagamaan dan sosial di tingkat gampong. Tetapi seuneubok boleh bekerjasama dengan mukim, uleebalang bahkan Sultan
untuk urusan perekonomian.
Kemudian Sultan Iskandar Muda menentukan
bahwa gampong-gampong yang berdekatan
penduduknya wajib melakukan sembahyang berjamaah pada setiap hari Jum’at di
sebuah mesjid. Mesjid merupakan tempat ibadah bagi satu mukim dan mukim ini
merupakan satu kesatuan wilayah gampong
yang secara geografis salig berhubungan.
Kepala dari mukim haruslah disebut imuem mukim yang bertindak juga sebagai
imam sembahyang jum’at. Pada tiap-tiap mukim
oleh Sultan ditetapkan haruslah 1000 orang laki-laki yang dapat memegang
senjata. Ini tentunya dimaksudkan untuk kepentingan politis, yaitu untuk
memudahkan menghimpun tenaga-tenaga tempur bila ia mengadakan suatu peperangan.
Dalam perkembangannya fungsi dari imuem
mukim kemudian berubah menjadi kepala pemerintahan dari sebuah mukim. Jadi kepala mukim mengkoordinir geuchik-geuchik
di wilayahnya. Dengan berubahnya fungsi tersebut maka imuem mukim berganti nama menjadi kepala mukim. Sedangkan tugas untuk imam shalat jum’at diserahkan kepada imuem mesjid. Imuem mesjid memainkan peranannya di bidang keagamaan tingkat mukim.
Bentuk wilayah kekuasaan yang
lebih besar dari mukim adalah nanggroe. Di Aceh Besar, nanggroe adalah gabungan dari beberapa mukim yang dikepalai oleh seorang uleebalang. Di luar daerah Aceh Besar,
yaitu di daerah-daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Aceh, statusnya
juga disamakan dengan nanggroe. Gelar
penguasa di daerah itu juga disebut uleebalang,
tetapi ada juga yang memakai gelar Sultan, Syahbandar dan lain sebagainya
menurut kebiasaan di daerah itu. Uleebalang
menerima langsung kekuasaan dari Sultan Aceh dan di daerah kekuasaannya mereka
memerintah secara turun-temurun. Namun sewaktu mereka akan memangku jabatan
sebagai pimpinan di daerahnya, mereka harus disahkan pengangkatannya oleh
Sultan Aceh. Di dalam surat pengangkatan itu harus terdapat tanda atau cap
stempel Kerajaan Aceh yang disebut cap
sikureung atau cap sembilan.
Tugas uleebalang adalah memimpin nanggroenya
dan mengkoordinir tenaga-tenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada
peperangan. Selain itu juga menjalankan perintah-perintah atau intruksi dari
Sultan, menyediakan tentara atau perbekalan perang bila dibutuhkan oleh
pemerintah pusat dan membayar upeti kepada Sultan Aceh. Meskipun demikian
mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang sangat berkuasa di daerah mereka
sendiri. Mereka memonopoli kekuasaan bagi dirinya sendiri di wilayah
kekuasaannya. Mereka juga memiliki wewenang untuk melakukan apa saja dalam
wilayahnya, seperti dalam hal pengadilan atau melaksanakan hukuman. Dalam hal
ini masa Sultan Iskandar Muda dibuat suatu ketentuan tentang hukuman-hukuman
tertentu yang hanya beliau yang berhak
melakukannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan para uleebalang
dalam menjatuhkan hukumannya.
Dengan penuh kebijaksanaan
Sultan Iskandar Muda dapat menguasai para uleebalang
dengan adil. Nanggroe-nanggroe di
bawah pimpinan uleebalang dapat
dikoordinir sebagai suatu kekuatan politik maupun ekonomi. Mereka diikutsertakan
dalam kegiatan kerajaan, seperti ekspansi militer, dan melakukan pengawasan
terhadap monopoli dagang atas barang dagangan tertentu berdasarkan ketentuan
dan ketetapan Sultan. Sehingga tidak pernah terdengar adanya
pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para uleebalang-uleebalang itu.
Ibukota nanggroe berkedudukan di Bandar Aceh Darussalam. Kepala pemerintahan
nanggroe adalah Sultan yang pada masa itu adalah Sultan
Iskandar Muda. Dalam mengendalikan pemerintahan, Sultan Iskandar Muda dibantu
oleh beberapa pembantu yang membawahi bidangnya masing-masing. Ada 24 lembaga sesuai
jabatannya masing-masing yang dibentuk oleh Sultan untuk membantu jalannya roda
pemerintahan. Ke-24 kabinet pemerintah tugasnya mengontrol kehidupan rakyat dan
harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Sultan.
Dalam Qanun Meukuta Alam, Sultan Iskandar Muda harus tunduk kepada qanun,
sedangkan Qadli Malikul Adil, Mufti Empat Besar, Kerukun Katibul Muluk, dan
Perdana Menteri serta sekalian menteri Kerajaan Aceh tunduk kepada qanun dan
Sultan.
Ke-24 lembaga tersebut dipegang
oleh orang-orang tertentu yang diangkat oleh Sultan. Di antara mereka ada lima
orang yang membawahi lembaga masing-masing yang sangat dekat dan besar
pengaruhnya kepada Sultan. Yang pertama ialah Perdana Menteri yang bergelar Orang Kaya Maharaja Seri Maharaja,
dialah yang membawahi wazir-wazir atau menteri-menteri di Kerajaan Aceh.
Jabatan Qadli ini diadakan pertama kali di Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, sehingga pada mulanya dalam menjalankan tugasnya, Qadli
Malikul Adil ini banyak dipengaruhi oleh kebijaksanaan Sultan. Dan boleh
dikatakan pada masa itu Qadli ini lebih merupakan sebagai ketua pengadilan
milik Sultan. Pada waktu itu Sultan melakukan pemisahan antara pelaksanaan
pelaksanaan pengadilan yang mengenai agama dan yang mengenai adat. Jadi
pengaturan mengenai hukum agama dipisahkan dengan peraturan bidang adat. Qadli
yang pertama di Aceh adalah Tjut Sandang atau disebut juga dengan Dja Bangka.
Ia berasal dari golongan Dja Sandang. Dalam sehari-hari panggilannya sesuai
gelar yaitu Qadli Malikul Adil.
Untuk urusan peperangan yang
mengatur angkatan perang Aceh adalah Menteri Peperangan dengan sebutan Orang Kaya Laksamana. Orang penting
lainnya yang berpengaruh adalah Syamsuddin as-Samtrani. Ia disebut juga Imam
Muluk (Imam Raja). Syamsuddin adalah seorang guru agama yang terkenal dengan ajaran
tasawuf beraliran wujudiyah yang sebelumnya diajarkan oleh Hamzah Fansuri.
Sultan Iskandar Muda sendiri adalah salah seorang pengikut ajaran ini. Posisi
lain yang dekat dengan Sultan adalah Sekretaris Kerajaan atau lazim disebut Keurukon Katibul Muluk. Tugasnya adalah
sebagai juru tulis Sultan yang berhubungan dengan kepentingan kerajaan, seperti
surat-menyurat dengan kerajaan lain, surat lisensi, dan surat-surat
pengangkatan uleebalang.
Dalam memerintah kerajaan,
Sultan Iskandar Muda membuat ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan situasi
zamannya. Dia menciptakan beberapa hak istimewa yang hanya dia yang berhak
melakukannya. Misalnya hak-hak dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang
bersalah di kerajaannya. Iskandar Muda mempunyai hak memotong tangan pencuri
yang ditangkap. Hak menusuk orang-orang bersalah dengan sebuah galah, hak
mempertontonkan seseorang yang dihukum mati dengan dijepit di antara dua batang
kayu yang dibelah, hak menyayat daging seseorang yang kena hukum dan hak
menumbuk kepala seseorang yang bersalah dengan sebuah alu. Selain hak-hak
tersebut, Iskandar Muda juga mempunyai hak-hak istimewa lainnya, yaitu hak
membunyikan meriam pada saat matahari terbenam, hak untuk dipanggil dengan nama
daulat dan hak membuat mata uang. Dengan adanya hak-hak istimewa ini, khususnya
hak dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang bersalah, maka keamanan
dalam negeri dapat terjamin. Selain itu juga sifat kesewenang-wenangan para
uleebalang dalam menjatuhkan hukuman terhadap kawula di daerah dapat dikurangi.
Sekarang model pemerintahan seperti
di atas sudah tak ada lagi. Gampong dan
meunasah sekarang sudah kehilangan marwah. Padahal gampong dan meunasah ibarat
ayah dan ibu yang mengayomi anak-anaknya. Malah sekarang geuchik dan imuem meunasah saling
mencari popularitas di mata masyarakat. Kita juga sudah tak mengenal lagi
adanya wilayah kemukiman – ada beberapa daerah yang masih menganut sistem
kemukiman – dan istilah-istilah seperti Imuem
Mukim, Panglima Sagoe, dan sebagainya malah terasa asing (bahkan kuno) terdengar.
Kita lebih kerap mendengar kata-kata lurah, camat, bupati, atau gubernur yang
lebih modern. Hancurnya tatanan pemerintahan ini dicurigai berbagai pihak untuk
menghilangkan adat Aceh.
Hukum dan Pengadilan Adat
Dahulu di Aceh terdapat
pengadilan adat yang bertugas untuk mengadili rakyat yang telah melanggar hukum
adat. Pengadilan adat ini biasanya diketuai oleh uleebalang dan panglima sagoe
(khusus wilayah Aceh Besar, kedudukannya lebih tinggi dari uleebalang).
Sedangkan untuk pengadilan tertinggi dipimpin oleh Sultan Aceh dengan wakilnya
Qadli Malikul Adil.
Proses pengadilan dan
pengambilan keputusan didasarkan pada hukum Islam dan adat-istiadat sehingga
vonis yang dijatuhkan benar-benar tepat sasaran. Untuk kasus kecil biasanya diselesaikan
oleh geuchik bersama imuem meunasah yang dibantu oleh tetua
kampung (tuha peut). Kasus seperti
ini diakhiri dengan perdamaian (hukom
peujroh) yang berpedoman pada empat langkah : diyat, maaf, rujuk, dan bela.
Apabila pada tingkat geuchik belum selesai, maka berkas kasus
dilimpahkan ke tingkat mukim. Geuchik bersama jajarannya mengantar
langsung kepada mukim untuk
ditindaklanjuti. Kasus seperti ini biasanya berbentuk persengketaan yang tidak
melebihi angka 100 ringgit pada masa itu. Sebelum pengadilan dimulai, penuntut
harus membayar uang jaminan.
Jika penuntut tidak puas
dengan hasil pengadilan tingkat mukim,
penuntut boleh naik banding pada tingkat Pengadilan Uleebalang. Khusus untuk wilayah Aceh Besar pada masa Pemerintahan
Ratu Naqiatuddinsyah (Sultan perempuan kedua Aceh), kasus yang tidak dapat
diselesaikan boleh diteruskan kepada Pengadilan Panglima Sagoe. Dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan lebih
mahal sesuai dengan tingkat pengadilannya. Ketika Pengadilan Panglima Sagoe juga tidak mampu
menyelesaikan kasus persengkataan, maka Panglima
Sagoe melimpahkan kepada Sultan Aceh. Atas kebijaksanaan Sultan, maka
beliau melimpahkan kasus tersebut kepada Qadli Malikul Adil untuk disidangkan
dan keputusan akhir dari pengadilan ini tidak boleh diganggugugat.
Di bawah ini dicontohkan
tentang bagaimana proses hukum yang pernah dijalankan pada masa itu :
Di Aceh, riba dilarang oleh
kerajaan, tidak sama dengan Batam yang memungut bunga 5% sebulan dan dengan
jaminan. Di Aceh tidak boleh melebihi 12% setahun dan tanpa jaminan. Jika
seseorang tidak membayar hutangnya, penagihnya boleh mengajukannya ke
pengadilan dan kalau di sana memang dapat dibuktikan bahwa sebenarnyalah ia
berhutang dengan cara yang sah, maka ia diharuskan membayar hutangnya dalam jangka
waktu pendek. Seandainya ia tidak dapat melunaskannya menurut putusan hakim,
maka ia disuruh datang kembali untuk kedua kalinya, ia ditanyakan apa sebabnya
tidak membayar dan dipaksa melunasinya pada saat itu juga. Jika ia tak sanggup
melakukannya, maka kedua tangannya pun diikat dengan tali rotan di belakang
punggungnya, lalu dilepaskan demikian dan tak seorangpun berani untuk
membukakan ikatan itu karena bisa dihukum mati. Ia diharuskan, menghadap setiap
hari dengan terikat demikian ke muka hakim dan jika ia tetap dalam keadaan
terikat itu serta tak juga sanggup melunasi hutangnya, maka ia diserahkan
sebagai hamba sahaya kepada penagih hutangnya yang berhak memperlakukannya
sekehendak hatinya kecuali membunuhnya, namun boleh menjualnya.
Pengadilan perdata ini
dilaksanakan setiap pagi kecuali hari jum’at di sebuah balai tak jauh dari
mesjid utama, ketuanya adalah salah seorang dari Orang Kaya. Di sebuah balai lain di dekat pintu istana dilakukan
pengadilan pidana, di mana bertindak sebagai ketua seorang Orang Kaya secara bergiliran. Di sini diadili perkara kejahatan
seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
Qadli atau hakim juga
mengadili orang-orang yang tak menjalankan agamanya. Dan di bandar ada sebuah
balai yang mengadili perselisihan antara saudara, baik asing maupun anak negeri
yang dipimpin oleh Orang Kaya Laksamana
yang dapat dianggap sebagai walikota.
Di zaman penjajahan Belanda, Pengadilan
Sultan dan Pengadilan Panglima Sagoe
dihapuskan. Sebagai gantinya dibentuk Pengadilan Meusapat yang dibentuk pada setiap ibukota kewedanaan. Pengadilan
ini lebih banyak didominasi oleh kaum uleebalang dari kewedanaan setempat. Dan
seterusnya pada tiap-tiap ibukota kewedanaan dibentuk Pengadilan Meusapat yang diketuai oleh Kepala
Kewedanaan yaitu orang Belanda sendiri dengan anggotanya lebih didominasi oleh uleebalang-uleebalang.
Berubahnya beberapa fungsi
pengadilan adat di Aceh telah menyebabkan tingkat kriminalitas meningkat. Padahal
pengadilan adat telah berhasil mengurangi tingkat kejahatan dikarenakan hukuman
yang diterima oleh pelanggar benar-benar mendidik dan mengubah perilaku
jahatnya.
HUKUM ADAT BERBASIS AGAMA
Adat
bersendi syara’, syara’ bersendi adat adalah falsafah yang menjadi simbol pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat di Aceh. Ketika hukum adat kuat, maka hukum agama juga
kuat. Begitu juga sebaliknya. Agama bersumber dari Al-Quran dan hadits,
sedangkan adat bersumber dari Sultan dengan musyawarah yang digali berdasarkan
sumber keagamaan. Sehingga banyak adat Aceh yang tidak lepas dari pengaruh
syara’.
Hukum
adat berbasis agama sebagai aplikasi kehidupan bermasyarakat sangat efektif dijalankan.
Proses sosialisasi diterapkan seiring pelaksanaannya yang diikuti oleh seluruh
masyarakat karena memang untuk kepentingan bersama. Sultan Iskandar Muda
berhasil merumuskan beberapa rumusan adat Aceh
Dalam
tulisan ini ada beberapa ketentuan hukum adat yang berbasiskan agama sebagai
bahan muqaranah (perbandingan) terhadap
penerapan syari’at Islam model pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Walaupun
sekarang adat seperti ini mulai memudar – bahkan tidak digunakan lagi sama
sekali – tetapi sejarah membuktikan bahwa efisiensi hukum adat bagi masyarakat
Aceh sangat sesuai dengan hukum agama. Tidak ada sedikit pun penyimpangan hukum
agama dalam tatanan adat Aceh.
Maka
adat bersendi syara’, syara’ bersendi
adat adalah serupa tubuh dan ruh. Dua-duanya harus saling berkesinambungan
menjadi satu kesatuan utuh sebagai pedoman hidup masyarakat Aceh. Bukti nyata
dari adagium tersebut adalah minimnya tingkat pelanggaran adat maupun agama
yang dilakukan oleh orang Aceh. Hal ini erat kaitannya dengan hukuman berat
yang harus diterima oleh para pelanggar.
Berikut
penulis memberikan beberapa contoh hukum adat berbasis agama yang pernah
diterapkan di Aceh disertai hukumannya. Contoh-contoh di bawah ini tidak lepas
dari aktualisasi penerapan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang sedang disosialisasikan oleh Pemerintah Daerah.
Pakaian
Setelah memeluk agama Islam,
orang Aceh mengetahui bahwa mereka diwajibkan Allah untuk menutup auratnya. Ada
dua kriteria batasan aurat yang dianjurkan agama, yaitu :
a. seorang pria, mulai dari pusat sampai ke
bawah lutut
b. seorang perempuan, mulai dari atas dada
sampai ke bawah lutut juga
Adat Aceh menetapkan bahwa orang harus berpakaian
sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampai ke kaki harus ditutupi, alasannya
adalah selain kewibawaan juga baik untuk kesehatan tubuh. Sekurang-kurangnya
untuk bisa menutupi seluruh tubuh maka orang Aceh haruslah berbaju, bercelana dan
berkain sarung. Fungsinya adalah untuk mencegah masuknya angin ke anggota tubuh
dan menjaga kecantikan tubuh.
Untuk kesempurnaan berpakaian,
adat Aceh mengharuskan seorang pria yang telah dewasa memakai baju luar dan
dalam dan sebaliknya. Begitu juga memakai celana panjang atau kain sarung. Bila
pria itu memakai celana panjang yang disebut seuluwe pha keumurah, maka ia harus pula memakai kain samping atau ija lamgugop di atasnya (dari pinggang
sampai lutut atau sebagai penutup
kemaluannya). Di kepala pria itu harus terlilit pula selembar destar (tangkulok) yang berbenang emas atau
tidak berbenang emas. Topi yang terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari
pohon enau yang disebut kupiyah riman atau
kupiyah meukeutob dipakai juga oleh
pria Aceh. Ada juga modifikasi kupiah yang
terbuat dari kain beledru hitam atau merah.
Untuk melaksanakan sembahyang
jum’at, maka para pria memakai pakaian tersendiri, bersih dan sederhana terdiri
dari satu topi, baju luar dengan kaos, celanan pendek dan selembar kain sarung
yang kesemuanya terjaga bersih. Pakaian yang serupa ini dipakai orang juga
dahulu ketika melakukan sembahyang lima waktu. Hampir tidak dijumpai pria yang
enggan memakai baju, karena perbuatan ini dicap hampir sama dengan orang hindu.
Orang memandang rendah bila didapati seorang pria, terutama yang masih muda
memakai pakaian compang-camping. Perkataan meuroh
yang maksudnya tidak karuan, seperti orang gila dilaqabkan kepadanya. Dan
di samping itu ia dianggap seorang yang malas berusaha (si beu-o).
Sedangkan untuk seorang
perempuan Aceh diadatkan untuk memakai baju pendek atau panjang lengannya,
seterusnya ia memakai celana panjang yang kedua belah kakinya bersulam benang
emas atau benang sutera ataupun tidak.. Ia juga harus memakai kain sarung
benang untuk pakaian sehari-hari atau selembar kain sarung sutera untuk
menghadiri suatu acara. Kain selendang dari benang atau sutera yang disebut ija sawak harus pula disandang perempuan
Aceh itu. Kepalanya harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.
Pakaian di rumah untuk
mengerjakan urusan rumah tangga, bagi perempuan dan pria adalah pakaian sederhana
dan bersih. Mereka cukupi dengan memakai pakaian berlengan pendek, kain sarung
tua dengan celana pendek. Orang Aceh tidak merasa malu jika pakaiannya yang koyak
dijahit, tetapi harus tetap bersih. Perempuan Aceh tidak mau membuang-buang
pakaian buruk begitu saja, ia selalu mengusahakan agar dapat dipakai sampai
tidak bisa dijahit lagi. Yang membuang-buang pakaian buruk yang masih dapat
dipergunakan lagi dianggap takabur dan menyusahkan suami atau orang yang
menanggungnya.
Pakaian yang khusus untuk perempuan
tidak dibenarkan adat dipakai oleh pria, begitu pula sebaliknya. Kalau
dilakukan, maka orang ini dihinakan dan dicap orang sebagai si pungo atau si gila. Mengenai hal ini
ada satu istilah bek peu inong droe, bek
peu agam droe, yang maksudnya janganlah keperempuan-perempuanan atau
kelaki-lakian. Di zaman dahulu orang Aceh tidak mengenal sepatu.
Pembesar-pembesar dari Kerajaan Aceh Darussalam termasuk ulama-ulama memakai
sandal saja yang dinamai kaoh arab. Baju
jubah dan serban atau kupiah haji (topi putih) dipakai oleh seorang haji. Untuk
mengambil berkat ada juga di antara orang-orang alim yang memakai serban atau
kopiah putih, meskipun ia bukan seorang haji.
Pada hari raya atau
upacara-upacara misalnya pesta perkawinan, perempuan Aceh memakai juga
barang-barang perhiasan emas, tetapi pria adalah sebaliknya. Tetapi ada juga pria
memakai cincin permata atau cincin emas yang tidak berpermata. Perbuatan ini,
secara diam-diam sering dicemoohkan orang karena pria ini dianggap sebagai
seorang yang berlagak dengan kekayaannya.
Dapat disimpulkan bahwa orang
Aceh menertibkan pemakaian pakaiannya, karena untuk ini mereka mempunyai suatu
istilah yaitu geu takot keu angkatan,
geumalee keu pakayan yang artinya takut pada angkatan dan segan pada
pakaian.
Untuk dapat dengan mudah
melakukan penertiban dimaksud, maka setiap rumah orang Aceh dahulu mempunyai mesin
tenun pakaian untuk keperluan sendiri atau kalau perlu, untuk dijual juga atau
mengambil upah. Mesin tenun ini dinamai teupeun.
Dahulu jarang orang memasukkan kain dari luar negeri. Kalau pun ada
terbatas pada cita rasa bahan kain Jepang dan benang sutera dari negeri Cina. Oleh
karena itu ada sebagian masyarakat yang berbudidaya ulat sutera untuk
memperoleh benang sutera.
Begitulah
gambaran adat Aceh menganai pakaian yang memang sesuai dengan ajarana Islam.
Tetapi sekarang perilaku berpakaian model ini tidak ada sama sekali. Masyarakat
Aceh telah mengenal pakaian ala barat, baik laki-laki maupun perempuan. Model
pakaian yang digunakan oleh orang Aceh sekarang tak ubahnya dengan perilaku di
Eropa. Perempuan yang berbusana ketat tanpa memakai penutup kepala menjadi
trend masa kini. Mereka tidak ingin dianggap ketinggalan zaman. Sebenarnya
perilaku ini sangat dilarang oleh agama. Hancurnya moral orang Aceh melemahkan
kultur asli orang Aceh sendiri. Dan yang menghancurkannya orang Aceh sendiri. Adat
tidak melarang orang Aceh mengikuti budaya barat, tetapi harus mencerdasi budaya
barat yang sesuai dengan budaya orang Aceh. Budaya barat tidak cocok dengan
budaya orang Aceh.
Berzina
Berzina yang sering disebut meumukah oleh orang Aceh pada masa
Kerajaan Aceh Darussalam dikategorikan dalam dua hal :
1. Suatu kejahatan besar dan pelanggarnya
harus dikenakan hukuman siksa (had), sementara hukuman had yang dijatuhkan
berbeda-beda sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
2. Pelanggarnya termasuk dalam dua golongan,
yaitu muhsin (merdeka, dewasa, beristeri dengan nikah yang sah) dan tidak
muhsin
Sesudah memeluk Islam, orang
Aceh memandang berzina sebagai suatu perbuatan yang dapat digolongkan dalam
kejahatan besar dan diadatkan agar orang Aceh menjauhi perbuatan yang dilarang
agama tersebut. Orang yang melakukan perbuatan ini bila disidangkan pada
pengadilan akan dikenakan hukuman had.
Salah satu hukuman bagi
penzina yang paling parah adalah hukuman rajam sampai mati. Tetapi masyarakat
adat Aceh menggantikan hukuman rajam ini menjadi hukuman dibenamkan dalam
sungai sampai mati (boh trieng doe bak
takue). Akibat beratnya hukuman yang dilakukan oleh penzina, orang Aceh
sangat menjaga dirinya agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa tersebut.
Kondisi ini juga sangat didukung oleh pemerintah pada masa itu. Pemerintah
bertekad untuk mengawasi rakyatnya agar tidak melakukan zina.
Selain pemerintah, orang tua
juga memiliki peranan besar terhadap upaya mencegah anak-anaknya untuk
melakukan tidak perbuatan terkutuk itu. Pemuda-pemuda yang belum beristeri
harus tidur di meunasah bersama pemuda-pemuda lain. Hal ini untuk menempa
mental anak agar tidak mendekati perbuatan zina. Adat Aceh mengharuskan kepada
orang tua agar menikahkan anaknya apabila anaknya sudah berhajat untuk menikah.
Ini diperintahkan adat untuk menjaga nama baik keluarga.
Anak muda yang berpacaran pada
masa itu dinamakan manok ek eumpueng, artinya
ayam naik ke sangkarnya. Atas mandat geuchik
dan imuem meunasah, kepala pemuda
berhak menindak muda-mudi yang saling berpacaran. Selain berpacaran, adat juga
melarang beberapa hal seperti :
·
pemuda
dan pemudi saling berhubungan akrab, saling mengirim surat cinta, mengajak
pemudi berjalan-jalan (meuramien) sebelum
mereka menikah
·
bertamu
ke rumah orang tanpa ada orang laki-laki atau isterinya
·
mengunjungi
seorang janda muda tanpa muhrimnya
·
duduk-duduk
di tangga rumah orang lain tanpa maksud dan tujuan (dulu rumah adat Aceh masih
berbentuk rumah panggung)
·
berjalan-jalan
di bawah rumah orang lain tanpa maksud dan tujuan
·
masuk
ke sumur orang lain tanpa izin (sumur orang Aceh dulu biasanya terletak diluar
rumah)
·
berbicara
masalah yang tidak perlu dengan isteri orang atau perempuan janda
·
berkelakar
dengan seorang gadis muda di luar norma kesopanan
·
dilarang
berbicara hal-hal yang bisa membangkitkan nafsu birahi
Akan tetapi bila ternyata ada seorang pria telah
jatuh cinta atas seorang perempuan begitu juga sebaliknya, maka diusahakan
supaya pria dan perempuan ini dapat dinikahkan saja.
Ketika pihak berwajib telah
mencurigai seorang pemuda telah berhubungan cinta dengan seorang perempuan,
sehingga ada salah satu perbuatan mereka yang telah melanggar adat, maka geuchik atau imuem meunasah berikhtiar supaya mereka dapat dinikahkan saja oleh imam meunasahnya. Perkara ini tidak
dibawa ke pengadilan, tetapi diselesaikan dengan cara damai. Orang Aceh pada
umumnya suka memilih alternatif damai. Sehingga dendam-mendendam antara sesama
tidak terjadi karena perbuatan ini sangat merugikan.
Kasus zina yang tidak mungkin
diselesaikan secara damai diperiksa oleh pihak berwajib dan akhirnya diserahkan
pada pengadilan di bawah pimpinan Sultan, karena berat ancaman hukumannya.
Selama adanya Kerajaan Aceh
Darussalam, hukuman rajam sampai mati bagi penzina pernah dua atau tiga kali
diajatuhkan oleh Pengadilan Sultan di Banda Aceh. Rakyat Aceh cukup gentar
mendengar hukuman itu, oleh karena itu mereka ingin menghindari diri dari
hukuman yang mengerikan itu dengan tidak melakukan zina. Jika zina terjadi
juga, maka dengan diam-diam geuchik
dan imuem meunasah yang bersangkutan
menyelesaikan dengan cara damai yaitu mereka itu dikawinkan. Hal ini juga sesuai
dengan istilah Aceh nibak mirah blang,
bah mirah juree, artinya daripada merah sawah, lebih baik merah kamar,
maksudnya daripada laki-laki dan perempuan itu hidup tidak karuan, lebih baik
dikawinkan.
Seorang perempuan yang telah
bersuami, jika kedapatan berzina dengan laki-laki lain dan tertangkap basah,
biasanya suaminya membunuh mati gendak dari istrinya dan isterinya itu
sekurang-kurangnya dilukai. Ia bertindak sebagai hakim sendiri dan tak ada
bantahan. Pihak berwajib hanya berupaya agar prosesi yang dilakukan oleh
suaminya tidak mengganggu keamanan. Di zaman penjajahan Belanda hal tersebut
telah diubah. Orang dilarang menjadi hakim sendiri, meskipun si penzina tertangkap
basah. Orang yang membunuhnya dihadapkan juga ke Pengadilan Meusapat yang bersangkutan. Walaupun vonis orang yang
membunuh isterinya itu tidak berat malah ada juga yang dibebaskan.
Pemuda yang masih perjaka dan
pemudi yang masih gadis dan merdeka, bila berzina di samping mendapat hukuman
yang setimpal dengan kesalahannya, juga diusir oleh pihak berwajib dari tempat
tinggalnya. Mereka harus pindah ke negeri lain. Sudah menjadi kebiasaan juga
mereka dikawinkan dan tidak mau balik lagi ke kampungnya karena merasa malu.
Hal yang serupa ini hampir tidak pernah terjadi. Kasus seperti ini juga dapat
diselesaikan di kampung dengan cara damai dengan cara mengawinkan mereka.
Berzina dengan orang gila
dapat juga dikenakan hukuman sesuai dengan tingkatan zinanya. Meu adoe angkat yang disebut liwath
juga tidak pernah terjadi di Aceh. Pihak yang membenci Aceh mungkin
memprovokasi orang Aceh untuk berbuat demikian, sehingga Aceh menjadi jatuh
martabatnya di bangsa lain. Mereka mengatakan bahwa orang yang berseudati tidak dapat dipercayai mengenai
hal itu, padahal ketertiban berseudati
dahulu cukup mendapat pengawasan dan penjagaan. Pengawasan ini langsung
dikoordinir oleh geuchik, imuem meunasah dan orang-orang kampung
yang bersangkutan.
Di masa penjajahan Belanda,
adat-adat Aceh untuk mencegah terjadinya perzinaan tidak begitu dihiraukan. Ada
di antara orang Aceh yang masih menaati dan ada pula yang mengabaikannya.
Karenanya kemungkinan terjadi perzinaan meningkat. Mereka diseret ke pengadilan
dan mendapat hukuman tetapi tidak membuat masyarakat menjadi takut. Mereka dipersalahkan
karena telah melanggar adat yang kira-kira serupa dengan tercantum dalam suatu
pasal dari Wetboek van Strafrecht (KUHP). Solusinya (hidup sebagai suami isteri
tanpa kawin yang sah) dilakukan oleh bangsa-bangsa asing dengan perempuan
Indonesia. Hukum adat tidak berlaku atas mereka. Sejak berdiri Republik
Indonesia perbuatan dimaksud sudah lenyap, karena masyarakat Aceh tidak
menyukainya. Perbuatan ini jelas-jelas melanggar adat Aceh.
Sejak
itu sedikit demi sedikit adat Aceh mengalami trasnformasi besar-besaran. Adat
Aceh semakin melemah dan itu memudahkan budaya asing melemahkan kehidupan
masyarakat. Banyak contoh budaya asing yang dilakukan oleh orang Aceh, seperti
pacaran, hubungan laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, dan menjamurnya
rumah hiburan malam. Pelanggaran zina sudah dianggap sebagai hal yang lazim
bagi orang Aceh.
Mencuri
Di Kerajaan Aceh Darussalam
untuk orang mencuri dijatuhkan beberapa hukuman, yaitu :
-
hukuman
potong tangan yang syaratnya barang yang dcuri itu tersimpan dalam tempat yang
terpelihara
-
had
yang syaratnya barang curian seharga sekurang-kurangnya empat dinar pada masa
itu
Mencuri barang yang lekas rusak kalau harganya
sampai nisab, dijatuhkan hukuman had juga. Yang mencuri buah-buahan orang yang
dipetik dari pohon-pohon yang tidak dipelihara, diwajibkan atas yang memetiknya
membayar harganya saja. Untuk orang yang mengingkari barang-barang taruhan,
tidak dipotong tangannya.
Apabila dua orang bekerjasama
untuk mencuri, misal seorang masuk ke dalam dan yang seorang lagi di luar, yang
dipotong tangannya adalah orang yang masuk ke dalam. Bila seorang mencongkel
jendela rumah orang lain dan masuklah orang lain pula yang tidak melubangkan
dinding itu, lalu mengeluarkan barang, maka tiada dipotong tangannya. Dipotong
tangan orang mencari mushaf, pencuri kain kafan dengan membongkar kuburan.
Pencuri untuk pertama kali
dipotong tangan kanannya dan jika mencuri lagi dipotong kaki kirinya. Mencuri
ketiga kalinya dipotong tangan kirinya, sementara kali yang keempat dipotong
kaki kanannya.
Harta yang dicuri, kalau masih
dijumpai pada yang mencuri, haruslah dikembalikan pada pemiliknya. Suami isteri
yang mencuri harta salah seorang keduanya yang disimpan ditempat yang aman,
dipotong tangan yang mencuri itu. Tiada dipotong tangan orang tua (ayah atau
ibu) yang mencuri harta anaknya. Kerabat yang mencuri harta kerabatnya juga dipotong
tangannya. Orang yang menghancurkan sesuatu patung emas, tidak disuruh ganti
kerugian itu. Tetapi orang yang mencuri patung emas dipotong tangannya. Orang
yang mencuri kain di pemandian umum yang mempunyai penjaga juga dipotong
tangannya. Orang yang mencuri barang curian atau barang yang berasal dari
perampokan, tidak dipotong tangannya. Memotong tangan pencuri diperlukan
tuntutan orang yang dicuri hartanya. Seluruh fenomena di atas sesuai dengan
hukum syara’.
Pada
masa itu orang sangat takut mendengar hukuman yang dijatuhkan kepada pencuri.
Karena beratnya hukuman rakyat selalu menghindari perbuatan mencuri. Untuk
mencegah perbuatan mencuri, dalam kehidupan rakyat Aceh dahulu hidup beberapa
adat yang wajib dijalankan.
Masyarakat
dari suatu kampung diharuskan membantu/memberi suatu pekerjaan kepada orang
yang tidak mempunyai pekerjaan dalam kampung mereka. Maka di zaman itu tingkat
pengangguran di Aceh sangat minim. Aceh sangat luas daerahnya yang siapa pun
bisa mencari nafkah baik dari bertani, berladang maupun menjadi nelayan.
Apabila
ada orang yang malas bekerja, orang tersebut biasanya hanya disuruh menjadi
pelayan saja dalam berdagang. Ada juga di antara orang yang malas ini dibawa ke
seuneubok lada untuk dijadikan
pekerja dengan mendapat bantuan hutang pangkal.
Pemerintah
menjaga keras agar semua rakyatnya mengeluarkan zakat yang telah diwajibkan
hukum Islam tiap tahun. Imuem meunasah
dan geuchik bekerjasama dalam hal
ini, sehingga tidak ada wajib zakat yang tidak mengeluarkan zakat dari segala
macam hartanya yang sudah mencapai nisabnya. Yang berhak menerima zakat menurut
ajaran Islam menerima haknya masing-masing. Yang tidak mendapat boleh meminta
haknya kepada imuem meunasah dan geuchik yang bersangkutan.
Masyarakat
Aceh memandang hina sekali terhadap orang yang malas sehingga mereka digelarkan
si beu-o artinya se pemalas. Suatu hadih maja ini ialah bak si beu-o uteuen pi luah, bak si malah
dakwa pi raya. Nabi Muhammad SAW selalu menganjurkan umatnya supaya bekerja
keras, seolah-olah ia hendak hidup seumur dunia dan harus bersungguh-sungguh
mengerjakan ibadat seakan-akan ia hendak mati esok. Terhadap orang pemalas,
masyarakat selalu waspada dan selalu mengucilkannya dengan maksud agar ia insaf
dan mau bekerja seperti orang lain. Malah peutua
seunobok senantiasa mengajak pemalas-pemalas agar mereka bersedia menjadi aneuk seunuboknya masing-masing. Jangan
seperti ungkapan “Leumo eh di yub trieng”,
artinya sapi tidur di bawah pohon bambu, memakan daun bambu dan tidak mau
berusaha. Julukan seperti ini juga pantas diberikan kepada orang-orang pemalas.
Karenanya pemalas-pemalas menjadi malu dan bekerja semampu mungkin.
Dengan demikian, penyakit mencuri
dapat dibasmi/diminimkan sampai sekecil-kecilnya di Aceh. Selain dari itu,
untuk mencegah orang mencuri pihak berwajib melakukan patroli untuk menghindari
orang yang masuk ke kebun orang lain tanpa izin pemiliknya atau penjaganya. Ada
beberapa aturan adat yang dilarang, seperti masuk ke pekarangan rumah orang
dengan tidak mendapat persetujuan dari penghuni rumah, masuk ke kampung lain
pada larut malam, memasuki tambak ikan orang tanpa izin dari pemeliharanya dan
sebagainya.
Adat
Aceh mengharuskan orang kaya untuk menyerahkan binatang ternak kepada orang
miskin untuk dipelihara dengan perjanjian akan membagi hasilnya. Orang kaya
juga wajib membantu kerabatnya yang sedang membutuhkan sesuatu, misalnya padi
atau hasil perkebunan. Hal ini berguna untuk mengurangi tingkat pencurian di
Aceh.
Namun
walaupun hukum adat sangat ketat untuk membendung pencurian, bukan tidak
mungkin ada orang yang mencuri juga. Jika hal ini sampai terjadi, maka
perkaranya didamaikan secara adat oleh juru damai. Barang yang dicuri
dikembalikan kepada pemiliknya dan jika tidak ada lagi maka wajib
menggantikannya. Posisi juru damai ini sangat berpengaruh dalam prosesi sebuah
perkara. Orang Aceh memilih perdamaian sebagai alternatif untuk mencari solusi
dari bermacam persengkataan. Karena ada hadih
maja yang berkembang “bek geupek-pek
ulee gob”, jangan suka mengadu domba orang lain.
Jelaslah
bahwa adat Aceh sangat berperan besar terhadap penyelesaian kasus pencurian
melalui jalur damai sebelum putusan kasusnya diputuskan. Oleh karenanya hukum
adat berbasis syara’ sangat dihormati oleh masyarakat secara menyeluruh.
Tetapi
sejak pudarnya adat-istiadat Aceh, kasus pencurian dan pengangguran meningkat
drastis. Padahal negeri Aceh menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Kediktatoran
pemerintah orde lama dan orde baru yang mengeksploitasi kekayaan Aceh
menyebabkan negeri Aceh termasuk provinsi termiskin di Indonesia. Pencurian dan
pengangguran terjadi di mana-mana sehingga masyarakat merasa resah dan kurang
tenteram. Pemerintah pusat juga membatasi hukum adat di negeri sendiri, yang
dijalankan adalah hukum berdasarkan pemerintah pusat.
Merampok
Perampokan
tidak pernah terdengar di Aceh pada zaman dulu, karena perbuatan ini bukan saja
berdosa menurut ajaran Islam tetapi juga adat Aceh yang mengutuk perbuatan keji
ini. Masyarakat Aceh menghina orang yang melakukan perampokan sampai kepada
keturunannya, sehingga mereka menghindarkan diri dari perbuatan tersebut. Orang
asing suka menuduh orang Aceh merampok barang-barang mereka di lautan, namun
hal ini tidak masuk akal karena orang Aceh sangat takut pada Allah. Kalaupun
ada yang mengambil barang-barang mereka itu hanya dilakukan oleh pihak berwajib
sebagai barang sitaan disebabkan mereka telah melanggar peraturan dari Kerajaan
Aceh.
Orang
yang merampok dinamakan orang Aceh si
meurampah. Nama ini adalah suatu nama penghinaan menurut adat. Pada masa
Aceh berperang dengan Belanda, bukan tak ada pula rakyat Aceh yang mengambil
harta orang lain yang berhubungan dengan Belanda atau kaki tangan si Belanda.
Mereka menuduh bahwa orang Aceh telah merampok harta-harta mereka.
Pada
hakikatnya orang Aceh suka hidup rukun terutama sesama Islam. Memberi salam
sesama muslim selalu dilakukan orang dan mendapat sambutan dengan baik. Mereka
bersedia perkaranya diselesaikan secara damai. Tetapi mereka tetap menentang
orang yang menghinanya atau mengganggu harta bendanya apalagi dengan kekerasan.
Ini telah menjadi suatu kebiasaan baginya. Mereka bersabar menurut ajaran
agamanya tetapi ada batasannya. Suatu istilah untuk ini ialah nibak malee bah le mate, yaitu daripada
malu lebih baik mati.
Istilah
tersebut sekarang hanya menjadi bagian sejarah masa lalu. Orang Aceh terang-terangan
melakukan perampokan. Mereka tidak takut lagi dengan hukuman yang dijatuhkan.
Banyak pejabat Aceh yang melakukan perampokan namun tidak ada yang dihukum
karena hukum Indonesia sangat mudah dipermainkan. Berbeda dengan hukum adat
yang jelas rumusan dan hukumannya.
Minum Arak
Membuat
minuman yang memabukkan, seperti arak dan sebagainya sangat dilarang di Aceh. Si mabok arak begitulah suatu nama
penghinaan bagi peminum. Rakyat Aceh khususnya perempuan menjauhkan diri dari peminum
karena takut kalau-kalau ia berada dalam keadaan mabuk dan hilang akal.
Berjual-beli
minuman keras tidak dibenarkan juga di Aceh. Adat tidak pernah memberikan
kesempatan kepada rakyat Aceh untuk mengecap minuman keras itu karena perbuatan
ini termasuk dalam golongan dosa besar.
Orang
Aceh mengetahui dengan baik nira enau yang disebut ie jok halal diminum, begitu juga nira nipah. Seterusnya mereka
mengetahui juga kapan kedua air jenis nira ini haram diminum disebabkan sudah
dianggap sebagai minuman keras. Menyentuh minuman keras pun tidak dibenarkan.
Tatkala
Aceh telah dijajah, izin menjual minuman keras diperbolehkan baik secara
botol-botolan atau secara eceran. Di kantin-kantin militer pun orang menjual
minuman keras begitu juga di rumah-rumah hiburan orang Nasrani.
Saudagar-saudagar
minuman keras adalah orang Eropa (botol-botolan) dan orang Cina (eceran). Rakyat
Aceh yang lemah imannya, ada juga yang terpengaruh dengan minuman keras,
meskipun jumlahnya tidak banyak. Segala bangsa yang memeluk pelbagai agama
tidak dilarang minum-minuman keras di toko tertentu atau di rumahnya
masing-masing. Pemabuk-pemabuk yang terdapat di jalan umum ditangkap polisi.
Dahulu,
jika terdapat orang yang mabuk tuak yang minum secara diam-diam, orang ini
segera ditangkap dan diberi minum obatnya supaya lekas sadar. Orang ini
biasanya diberi air jeruk nipis, air asam belimbing, dan sebagainya. Orang yang
ditangkap ini diejek dan dipermalukan oleh masyarakat. Akan tetapi jika
perbuatannya itu tidak diubah, ia diseret ke pengadilan oleh yang berwajib. Di
sinilah ia menerima hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Hal yang serupa
ini hampir-hampir tidak terjadi di masa lalu karena orang Aceh memegang teguh
adatnya.
Adat
tinggallah kenangan. Banyak pemabuk yang bertebaran di pasar-pasar, pelabuhan,
rumah hiburan, bahkan di pinggir jalan. Pemabuk ini meresahkan masyarakat umum.
Hukuman yang dijatuhkan pada pemabuk dalam konteks hukum sekarang tidak mempan
lagi bagi pelanggarnya. Hari ini dihukum besok berbuat lagi. Hukum sekarang
banyak yang tak mendidik pelanggarnya, berbeda dengan hukum adat dan agama yang
menempa kembali moral pelakunya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan-pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting,
yaitu :
- Adat
Aceh adalah sumber hukum yang menjadi sendi kehidupan masyarakat. Kuatnya
posisi hukum adat berindikasi terhadap kuatnya seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Implementasi hukum adat adalah sebuah gambaran itikad baik
pemerintah dan rakyatnya untuk melaksanakan peraturan adat yang tidak
lepas dari ajaran Islam.
- Adat
berbasis agama yang pernah diterapkan di Aceh terbukti mampu memakmurkan
kesejahteraan masyarakat. Adat mendidik dan mengayomi kepentingan
masyarakat dan pemerintah sehingga vitalitas kepentingan tersebut
tercakupi. Output adat berbasis agama adalah lahirnya struktur budaya
masyarakat yang kuat dan berkompetensi.
- Aplikasi
syari’at Islam secara kaffah pasca otonomi khusus belum memperoleh hasil
siginifikan. Hal ini terlihat dari tumpang-tindihnya format dan konsep
yang diterapkan. Ada upaya untuk mengembalikan syari’at Islam seperti yang
dipernah diterapkan dulu, namun jika posisi adatnya lemah diprediksikan
penerapan syari’at Islam akan memperoleh kendala.
Saran
Untuk dapat mengembalikan harkat dan martabat
masyarakat Aceh di mata bangsa lain, maka penulis mengemukakan beberapa saran
untuk dapat dipertimbangkan :
- Perlu
adanya upaya untuk dapat meningkatkan peran dan posisi adat yang selama
ini melemah
- Perlu
ditingkatkan peran dan fungsi lembaga adat untuk dapat menggali kembali
nilai-nilai budaya orang Aceh dan mengimplementasikannya dalam bentuk
kajian budaya praktis
- Menuntut
peran dan ketegasan pemerintah dalam upaya menjalankan hukum sesuai ajaran
Islam
4. Akhirnya upaya terhadap pelaksanaan syari’at
Islam haruslah disambut dengan sebuah niat dan itikad baik seluruh anasir
masyarakat Aceh. Dan selamat datang Aceh baru.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Rusydi, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh:
Problem, Solusi, dan Implementasi, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2003
Djajadiningrat, Hoesein,
dkk, Dari Sini Ia Bersemi, Banda
Aceh, Pemda Istimewa Aceh, 1981
Hoesin, Moehammad, Adat Atjeh, Banda Aceh, Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970
Mohammad, Said, Atjeh Sepandjang Abad, Medan, 1961
Tabloid Dwi Mingguan Saleum, Edisi 2 Tahun I, 15 – 31 Agustus 2006
Van’t Veer, Paul, Perang Belanda di Aceh (terjemahan oleh Aboebakar),
Banda Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1977
Zainuddin, Muhammad, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan,
Pustaka Iskandar Muda, 1961
Koreksi ungkapan Adat basandi syara' , syara' basandi kitabullah merupakan filsafat utama minangkabau
ReplyDelete