BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Sosiolinguistik adalah cabang
linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu
ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat
dalam sebuah komunikasi yang alami.
Variasi dalam kajian ini merupakan
masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan aspek sosiokultural
dalam masyarakat. Kelahiran Sosiolinguistik merupakan buah dari perdebatan
panjang dan melelahkan dari berbagai generasi dan aliran. Puncak ketidakpuasan
kaum yang kemudian menamakan diri sosiolinguis ini sangat dirasakan ketika
aliran Transformasional yang dipelopori Chomsky tidak mengakui
realitas sosial yang sangat heterogen dalam masyarakat. Oleh Chomsky dan pengikutnya ini, heterogenitas berupa status sosial yang berbeda, umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan sebagainya diabaikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan-pilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi yang memandang bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa melibatkan aspek-aspek sosial yang mencirikan masyarakat.
realitas sosial yang sangat heterogen dalam masyarakat. Oleh Chomsky dan pengikutnya ini, heterogenitas berupa status sosial yang berbeda, umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan sebagainya diabaikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan-pilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi yang memandang bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa melibatkan aspek-aspek sosial yang mencirikan masyarakat.
Istilah sosiolinguistik sendiri
sudah digunakan oleh Haver C. Curie dalam sebuah artikel yang terbit tahun
1952, judulnya “A Projection of Sociolinguistics: the relationship of speech to
social status” yang isinya tentang masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa
seseorang dengan status sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang
berbeda profesi atau kedudukannya dalam masyarakat cenderung menggunakan ragam
bahasa yang berbeda pula.
1.2.
Rumusan Masalah
Pembahasan dalam
makalah ini adalah beberapa masalah berkaitan dengan antara lain:
a. Sikap
bahasa
b. Pemilihan
Bahasa
c. Bahasa
dan Usia
1.3. Tujuan
Adapun
tujuan penullisan makalah ini adalah agar sebagai calon guru bahasa Indonesia dapat memahami bagaimana
dengan sikap bahasa, cara pemilihan bahasa yang benar dan bagaimana cara
membedakan pemilihan bahasa dikalangan usia itu sendiri dengan baik.
1.4.
Manfaat
Adapun manfaat dalam mempelajari isi makalah ini adalah
1.
Secara Praktis
a. bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia,
b. Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam
berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang
harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu
c.
Untuk melakukan
kegiatan seperti pendidikan, perdagangan, keagamaan, politik dan militer dan
sebagainya.
2.
Secara Teoritis
a. mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa adalah
sebagai objek kajiannya.
b. Di saat mempelajari bahasa hubungan dengan masyarakat pun
erat
c. Sebagai alat interaksi social peranan bahasa besar sekali.
d. Bahasa relah memudahkan dan memperlancar semua kegiatan itu
dengan baik. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan masyarakat manuisa
ini bila tidak ada bahasa.
e.
Bahasa yang wujudnya
berupa bunyi-bunyi ujar dalam suatu pola bersistem tidak lain dari pada
lambing-lambang konsep dan gagasan yang dipahami dan disepakati bersama oleh
para anggota penutupnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sikap Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada
bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan
perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian,
keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi
dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penilitian tidak
selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah.
Triandis
(1971:2-4) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu
keadaan atau kejadian yang dihadapi. Menurut Allport (1935), sikap adalah
kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan
arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek
dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Lambert (1967:91-102) menyatakan bahwa
sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen
afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif
berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya
merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif
menyangkut masalah penilaian baik, memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap
sesuatu atau suatu keadaan. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan
sebagai ”putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.
Edward (1957:7)
mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan,
dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976:71-75) malah lebih tegas meyatakan,
bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan
Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu
ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan,
dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa
kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang
paling lemah. Jadi, dengan demikian jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor
yang menentukan perilaku, dan juga bukan yang paling menentukan. Yang paling
menentuan perilaku adalah kebiasaan.
Selain dengan
Sugar, maka Oppenheim (1976:75-76) menyatakan bahwa kita belum tentu dapat
meramalkan perbuatan atas dasar sikap belaka. Edward (1957) menegaskan bahwa
sikap sebagai penentu perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja, dan
belum tentu merupakan faktor yang terkuat. Triandis (1971:6-16) menyatakan
bahwa asumsi yang mengatakan sikap merupakan faktor perbuatan seseorang adalah
tidak benar, paling tidak suatu pernyataan yang lemah. Anderson (1974:37) membagi sikap
atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan),
seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan.
Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif
berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang
memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu
yang disenanginya.
Ketiga ciri sikap
bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan bahasa
(language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan
bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengeruh bahasa lain, (2)
kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya
dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, (3)
kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat
besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunkan bahasa (language
use).
Berkenaan dengan
sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia, Halim (1987:7) berpendapat
bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu menjadi sikap
bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas
dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosial dan
budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Menurut Lambert
(1967) motivasi belajar ini mungkin berorientasi pada perbaikan nasib yang
disebutnya orientasi instrumental, dan mungkin juga berorientasi pada
keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yan bahasanya dipelajari, yang
disebut orientasi integratif.
2.2. Pemilihan Bahasa
Dalam masyarakat multibahasa
tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi,
dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir,
Kartomihardjo (1988) lebih suka mempergunakan istilah ragam sebagai padanan
dari style. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggoa masyarakat akan memilih
kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam
interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi
penggunaan bahasanya.
2.2.1.
Konsep Dan Kategori Pemilihan Bahasa
Pemilihan
bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni
memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa
komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih
harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus
memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang
lain dalam peristiwa komunikasi.
Dalam
pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih satu
variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang
penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa
krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu
bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain
dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code
mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur
serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa
alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58)
berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika
mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan
faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang
ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua
menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata
yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih
kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode
metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua
terjadi karena bahasa atau ragam bahasa
yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas penutur.
Campur
kode merupakan peristiwa percampuran dua
atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti
ini juga terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian
yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of
language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut
Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish
untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di
Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk
pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
2.2.2. Faktor Pemilihan Bahasa
Pemilihan
bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh
berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat
faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial,
yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi,
(3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa
hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan,
selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di
pasar.
Faktor
kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial
ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra
tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa
topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan
topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fuingsi interaksi seperti penawaran, menyanmpaikan informasi,
permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima
kasih).
Senada
dengan Evin-Tripp, Groesjean (1982: 136) mengemukakan empat faktor yang
mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2)
situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor situasi mengacu pada
(1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3) tingkat
formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi wacana mengacu pada (1) topik
pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1)
menaikkan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk/ mengeluarkan
seseorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.
Dari
paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa
tidak terdapat faktor tunggal yang
dapat mempengaruhi pemilihan bahasa
sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki
kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor
menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Gal (1982)
menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor
yang paling menentukan dalam pemilihan
bahasa dalam masyarakat tersebut, sedangkan faktor topik dan latar merupakan
faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.
Berbeda
dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi
tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pemilihan
bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi
interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan
pemilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di
sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.
2.2.3. Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa
Kajian
pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.
Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan
sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama kali
dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi
faktor lokasi, topik, dan partisipan. Ranah
didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan
dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat komunikasi
di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari
aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di
bagian lain Fishman (dalam Amon et al. (1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah
konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada
pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama,
misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila
penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah
topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.
Berbeda
dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada
proses psikologis manusia daripada
kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu
seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya
penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah
dilakukan oleh Herman (1968), Giles et al. (1973), serta Bourhish dan Taylor
(1977).
Herman
(dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi
seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan
personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation)
dan (3) situasi sesaat (immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu
situasi lebih dominan daripada situasi lain.
Giles
(1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation theory). Menurut
Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur. Pertama,
akomodasi ke atas yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pemilihan bahasanya
dengan pemilihan bahasa mitra tutur. Kedua, akomodasi ke bawah, yang terjadi
apabila penutur menginginkan agar mitra
tuturnya menyesuaikan dengan pemilihan bahasanya.
Pandangan
Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya hubungan yang maknawi antara
tingkat kondisi psikologis peserta tutur
dan pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk mengungkap permasalahan
pemilihan bahasa perlu pula dilakukan kajian
dari segi kondisi psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur
ketika mereka melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa.
Seperti
halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan
bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya
adalah bahwa apabila psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis
penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih
bahasa untuk mengungkapkan nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi
metodologi kajian terdapat perbedaan
antara pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua pendekatan
pertama yang disebut lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner dan
observasi atas subjek yang ditelitinya. Sementara itu, pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang
tinggi pada perilaku takterkontrol yang
alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian yang
jarang digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi terlibat
(participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan
Gal (yang mempublikasikan hasilnya tahun 1979) di Oberwart, Australia Timur
menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat.
Dengan
menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog dapat memberikan
perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai
penutur sebuah kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan
penelitian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah peneliti
yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya (Wiseman dan Aron 1970: 49).
Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak pada faktor
kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur.
2.3.
Bahasa dan Usia
Berbicara tentang bahasa dan usia
akan melibatkan hubungan keduanya. Bahasa dan usia memiliki hubungan yang erat.
Seorang penutur bahasa dapat menunjukkan identitasnya melalui gaya bahasa yang
digunakan. Seorang penutur bahasa memiliki perbedaan dalam gaya bahasa yang
digunakan. Perbedaan ini menentukan posisi untuk mengambil peranan seperti spa
dan menempatkan diris esuai dengan usia, gender, profesi, kelas sosial, etnis,
dll. yang menyebabkan terjadinya variasi bahasa. Tuturan dilakukan menurut usia
penutur sehingga ads kosakata yang hanya dipahami oleh anak-anak, remaja,
dewasa, dan orang tua, Tuturan bahasa sekaligus menunjukkan budaya, adat
istiadat. Teori ini sesuai dengan hipotesis Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf
yang menyatakan bahwa bahasa dan budaya adalah ibarat satu keping mata uang.
Tuturan bahasa sebenarnya jugs
mencerminkan status dari balita. Usia sebagai kategori budaya yang sangat
penting. Melalui usia dapat dijadkan patokan kategori sosial untuk menentukan criteria
hak dan kewajiban. Tiap usia memiliki label. Label dari kelompok usia terdiri
dari balita, orang berusia 20-60 tahun dan orang di atas usia 60 tahun. Wujud
label balita seperti person, child, youngster, boy, girl, dll. Wujud label
orang suai 20-60 tahun seperti person, adult, grow up, man, lady, dll. Wujud
label untuk usia di atas 60 seperti person, adult, man, woman, lady, oldster,
dll. Istilah orang tua dan anak kecil mengacu pada criteria bahwa orang tua
selalu bijak, berwibawa, bawel, dan rapuh, sedangkan anak kecil selalu nakal,
lucu, lompat-lompat. Ancangan ini berdasarkan paradigms bahwa balita dan manula
berada pada tahap kehidupan problematic dan tak berdaya sehingga muncul program
khusus bagi balita, misalnya save the children, dokter khusus balita disebut
paedatriciam sedang program khusus untuk manula misalnya help the aged, dokter
khusus manula geriatrician.
Berbicara kepada anak kecil dan
manula harus mengetahui karakteristik keduanya. Sebenarnya, kedua gaya
bahasanya sama. Gaya bahasa balita bercirikan nada lebih tinggi dari orang
dewasa, ucapan kata-kata berbeda dari orang tua karena memang dalam tahap
belajar, sedangkan gaya bahasa manula memang sudah berpengalaman tapi manula
sudah berada pada tingkat kemampuan komunikasi yang menurun.
Bahasa yang ditujukan kepada anak
memiliki karakteristik umum dan karakteristik khusus. Karakteristik umumnya
terdiri atas (a) menyebut anak dengan nama kesayangan, (b) kalimat lebih pendek dan tats bahasa yang
sederhana, (c) banyak perulangan, (d) banyak menggunakan penegasan, (e)
menggunakan kata-kata tertentu, dan (f) memperluas atau menyelesaikan kalimat
yang dibuat anak. Karakteristik
khususnya terdiri atas (a) nada yang lebih tinggi, (b) diucapkan lebih lambat,
(c) lebih banyak jeda, (d) pengucapannya lebih jelas, dan (e) penekanan
intonasi.
Bahasa yang ditujukan kepada anak,
disebut Child Directed Language (CDL) dan bahasa untuk manula memiliki
kesamaan, yaitu lebih sederhana, sering bertanya, mengulang kalimat, panggilan
sayang, dll. Mengapa ada kemiripan seperti ini? Awalnya CDL digunakan orang tua
dalam mengajar bahasa kepada anaknya, namun perlu diingat bahwa tidak semua
budaya melakukan hal itu. Tujuannya adalah untuk memastikan lawan bicara paham.
Anak kecil dan manula dianggap memiliki kompetensi berkomunikasi yang rendah.
Usia akan mengelompokkan masyarakat
menjadi kelompok anak-anak, remaja, dan kelompok dewasa. Kosakata anak kecil
akan berkisar pada “yang ada disini dan yang ada sekarang”.
1.
Penyusutan Dalan Tutur
Penyusutan bentuk tutur pada
anak-anak sebagian besar menyangkut fugntor. Semua bentuk penyusutan merupakan
tingkah laku ekonomi bahasa. Sedangkan penyusutan biasa disebut bentuk
telegrafis.
2.
Tutur Anak Usia Sd
Pada usia sekitar 7 tahun biasanya
anak-anak sudah masuk SD, kepada mereka diajarkan keterampilan suatu bahasa.
Kemungkinan yang terjadi adalah mereka diajar bahasa yang sebenarnya bahasa ibu
mereka sendiri, kedua mereka diajari bahas alain yang berbeda dengan
bahasa-ibu.
3.
Tutur Remaja
Munculnya bahasa “rahasia” karena
keinginan remaja membentuk kelompok tersendiri. Bentuk bahasa rahasia : (1)
Penyisipan konsonan V+vocal; (2) Penggantian suku akhir dengan –sye; (3)
Membalikkan fonem-fonem dalam kata; (4) Variasi dari model (3)
4. Bahasa Prokem
Kata prokem sendiri berasal dari
preman dengan rumus : (1) setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap
satu) pertama : preman menjadi prem ; (2) bentuk itu disisipi –ok- di belakang
fonem (atau gugus fonem) yang pertama, menjadi : pr-ok-em atau prokem
5. Penelitian Di Indonesia
1986 à anak muda memiliki sikap
“kurang positif” ‘sikap kurang positif terhadap bahasa daerah diartikan positif
terhadap bahasa Indonesia’.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Sikap bahasa adalah posisi mental
atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana,
2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan
dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa
sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen
afektif, dan komponen konatif.
Anderson (1974) membagi sikap atas
dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap
kebahasan dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap
negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya
(bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada).
Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang
atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap
negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu.
Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan
bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya
norma bahasa (awareness of the norm)
Dalam pemilihan
bahasa terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi
dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang
penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa
krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya
menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain
pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan
campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu
dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Tuturan bahasa sebenarnya jugs
mencerminkan status dari balita. Usia sebagai kategori budaya yang sangat
penting. Melalui usia dapat dijadkan patokan kategori sosial untuk menentukan
criteria hak dan kewajiban. Tiap usia memiliki label. Label dari kelompok usia
terdiri dari balita, orang berusia 20-60 tahun dan orang di atas usia 60 tahun.
Wujud label balita seperti person, child, youngster, boy, girl, dll. Wujud
label orang suai 20-60 tahun seperti person, adult, grow up, man, lady, dll.
Wujud label untuk usia di atas 60 seperti person, adult, man, woman, lady,
oldster, dll. Istilah orang tua dan anak kecil mengacu pada criteria bahwa
orang tua selalu bijak, berwibawa, bawel, dan rapuh, sedangkan anak kecil
selalu nakal, lucu, lompat-lompat. Ancangan ini berdasarkan paradigms bahwa
balita dan manula berada pada tahap kehidupan problematic dan tak berdaya
sehingga muncul program khusus bagi balita, misalnya save the children, dokter
khusus balita disebut paedatriciam sedang program khusus untuk manula misalnya
help the aged, dokter khusus manula geriatrician.
3.2.
Saran
Kita sebagai pengguna bahasa atau
penutur hendaknya kita harus dapat menggunakan variasi-variasi bahasa tersebut
sesuai dengan tempatnya.
Di sini penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, sehigga kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan makalah-makalah
selanjutnya sangat di harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik
: Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta
Aslinda
dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik.
Bandung : Refika Aditama
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa
Wijana,
I Dewa Putu dan Mohammad Rohmadi. 2010. Sosiolinguistik
: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
0 comments:
Post a Comment