BAB
I
PENDAHULUAN
Bahasa sebagai alat komonikasi tidak diragukan lagi
keampuhannya. Dibandingkan dengan media komunikasi lainnya seperti isyarat,
lambang, dan sebagainya, betapa pun canggihnya, tetap bahasa itu memIliki peran
yang sangat penting dalam berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Manusia
sebagai mahluk pencerita (homo fabulans) senantiasa ingin menyampaikan segala
sesuatu yang ada dalam benak atau perasaannya kepada orang lain melalui bahasa.
Dalam proses transformasi pesan dari individu pihak komunikator kepada individu
atau pihak lainnya sebagai komunikan inilah sering terjadi kesalahan; terutama
dalam bahasa tulis yang merupakan rekaman dari bahasa lisan itu.
Ditinjau dari segi sampainya pesan, kesalahan
berbahasa lisan kurang terasa salahnya karena dalam komunikasi ini dapat
dibantu dengan mimik ( gerak air muka ) serta panto mimik, gestur ( gerak
anggota tubuh ), atau isyarat lainnya, atau karena Si Pemesan itu memiliki
sikap bahasa yang penting asal orang mengerti. Lain halnya dengan komunikasi
tulisan, kesalahan ini akan terasa sekali, karena bahasa tulis memerlukan
kelengkapan fungtuasi atau tanda baca, keakuratan diksi atau pilihan kata,
ketepatan struktur baik kata ( morfologi ) maupun kalimat atau sintaksis.
Kesalahan berbahasa ini akan berakibat pada gagalnya penyampaian pesan karena
salah tafsir, tidak mengerti apa yang disampaikan, hamburnya ( mubazirnya )
kata atau kalimat, bahasa tidak efesien dan efektif lagi sebagai alat
komunikasi dan berpikir. Tidak menutup kemungkinan kesalahan berbahasa akan
menimbulkan kesalahan fatal dari pendengar atau pembaca terhadap pemaknaan
pesan dari penutur atau penulis sehingga terjadi konflik dan sebagainya.
Kesalahan terjadi akibat kebiasaan berbahasa (
language habit ) yang salah sehingga terjadi kesalahan berbahasa ( language
error ). Kebiasaan berbahasa ini terjadi secara spontan dan biasanya sukar
dihilangkan kecuali lingkungan bahasanya diubah misalnya dengan menghilangkan
stimulus yang membangkitkan kebiasaan itu. Sebagai contoh ada seseorang yang
sudah terbiasa menggunakan kata /daripada/ bukan sebagai kata pembanding tetapi
sebagai pengganti kata /dari/, misalnya dalam tuturan : “ Tujuan daripada
organisasi kita adalah untuk mencapai…..” Contoh lain ada seseorang sudah
terbiasa menggunakan frasa / yang mana / bukan dalam fungsinya sebagai penanya,
dalam tuturan “ Tidak lupa kepada pembawa acara yang mana telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk menyampaikan sambutan….”
Dari sekian kebiasaan ( bisa jadi sifatnya perseorangan ) ada juga kebiasaan yang sudah menggejala umum yaitu para penutur menggunakan kata ganti / kita / sebagai pengganti / kami / yang berarti sebagai orang pertama banyak; bahkan menggantikan kata / saya / sebagai orang pertama tunggal. Coba simak beberapa orang yang diwawancarai di televisi seperti kalangan artis, pengusaha atau siapa saja dapat dipastikan dia akan menggunakan kata / kita /. Pak Bendot (alm) dulu dalam iklan layanan masyarakat waktu menyikapi kenaikan TDL menyebutkan, : “ Agar kita-kita mendapat angin toh….” Mungkin menurut rasa bahasanya kata itu masih kurang jamak sehingga dibuat kata ulang.
Dari sekian kebiasaan ( bisa jadi sifatnya perseorangan ) ada juga kebiasaan yang sudah menggejala umum yaitu para penutur menggunakan kata ganti / kita / sebagai pengganti / kami / yang berarti sebagai orang pertama banyak; bahkan menggantikan kata / saya / sebagai orang pertama tunggal. Coba simak beberapa orang yang diwawancarai di televisi seperti kalangan artis, pengusaha atau siapa saja dapat dipastikan dia akan menggunakan kata / kita /. Pak Bendot (alm) dulu dalam iklan layanan masyarakat waktu menyikapi kenaikan TDL menyebutkan, : “ Agar kita-kita mendapat angin toh….” Mungkin menurut rasa bahasanya kata itu masih kurang jamak sehingga dibuat kata ulang.
Kesalahan kedua karena perbedaan struktur bahasa ibu
dengan bahasa yang digunakannya dalam pergaulan atau komunikasi resmi. Misalnya
dengan adanya perbedaan antara bahasa ibu Sunda atau Jawa dengan bahasa
Indonesia, maka akan terjadi interferensi dari bahasa kesatu ke bahasa kedua.
Kesalahan karena kasus dwibahasawan ini misalnya kata / gaji/ oleh orang Sunda
diucapkan /gajih/ , kata / akan / oleh orang dari suku Jawa diucapkan jadi /
aken / dan sebagainya yang menyangkut kesalahan pada tingkat fonologi.
Kesalahan pada tataran frasa contohnya nasi tok kalau dalam bahasa Indonesia
harus menjadi hanya nasi. Kesalahan dalam bidang klausa misalnya ” …rumahnya
Pak Basuki yang besar sendiri “ dari “ omahe Pak Basuki sing gede dewe “
seharusnya “ rumah Pak Rahmat yang paling besar ” Kesalahan bidang sintaksis
misalnya, “ Sebulan sekali pada hari Minggu, di kampung saya selalu mengadakan
kerja bakti “ Seharusnya bentukan ( morf dalam morfologi ) yang dipakai adalah
diadakan karena memakai kata depan / di /. Kalau dihilangkan kata depannya baru
kalimat itu jalan. Seterusnya kesalahan pada bidang makna kata ( semantik )
serta kesalahan bidang wacara ( discourse ) senantiasa dijumpai karena
perbedaan bahasa kesatu dengan bahasa kedua atau bahkan ketiga seperti bahasa
asing.
Beberapa Kesalahan Berbahasa Serta Analisisnya
1. “ Para sodara jamaah pengajian sekalian yang kita hormati,….. Kita bersyukur kepada para pelantara agama yang mana pada beliau-beliau itu begitu gigih memperjuangkan agama….”
Kita lihat kesalahan yang sering kita jumpai ini adalah kerancuan atau gejala pleonasme dalam penjamakan. Kata / para / yang sudah menunjukkan lebih dari satu kerap digabungkan dengan kata / sekalian / atau diulang misalnya / para pengurus-pengurus, para bapak-bapak, dan sebagainya yang sudah sama-sama bermakna banyak. Demikian pula akhiran asing /-in / pada kata hadirin, ini juga sudah menandakan banyak. Kesalahan serupa sering kita simak misalnya pada saat ada pertunjukkan hiburan di lapangan, pembawa acara menyambut penampilan penyanyi idola mereka dengan ucapan “ Baiklah para hadirin sekalian, kita sambut penyanyi kesayangan kita…..” Bentukan yang benar adalah para hadir ( tetapi kurang baik, kurang lazim ), sehingga bentukan yang baik dan benar adalah cukup hadirin atau ditambah dengan kata sifat yang berbahagia. Dalam pengajian bisa menggunakan sapaan Hadirin yang berbahagia, Bapak/ Ibu sekalian, Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian yang saya hormati, Saudara-saudara yang berbahagia, Para Saudara jamaah pengajian yang berbahagia atau yang mengharap rida Allah, yang dimulyakan Allah, dan sebagainya. Bentuk sapaan sodara dalam pengucapan memang alih-alih menjadi binyi / o /, padahal dalam penulisan dan juga pelafalan yang tepat adalah saudara ( secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yakni / sa / yang berarti satu dan / udara / yang berarti perut, jadi artinya adalah satu perut atau berasal dari satu perut ibu seperti kakak, adik. Lama-kelamaan kata itu meluas penggunaanya. Demikian pula kata / ibu /, / bapak / yang dialamatkan hanya pada lingkungan keluarga saja. Bahkan karena kesepakatan tertentu misalnya di suatu pondok pesantren kepada sesama santri putri yang ditunjuk ketuanya mereka memanggil / ibu /, dan sebagainya.)
1. “ Para sodara jamaah pengajian sekalian yang kita hormati,….. Kita bersyukur kepada para pelantara agama yang mana pada beliau-beliau itu begitu gigih memperjuangkan agama….”
Kita lihat kesalahan yang sering kita jumpai ini adalah kerancuan atau gejala pleonasme dalam penjamakan. Kata / para / yang sudah menunjukkan lebih dari satu kerap digabungkan dengan kata / sekalian / atau diulang misalnya / para pengurus-pengurus, para bapak-bapak, dan sebagainya yang sudah sama-sama bermakna banyak. Demikian pula akhiran asing /-in / pada kata hadirin, ini juga sudah menandakan banyak. Kesalahan serupa sering kita simak misalnya pada saat ada pertunjukkan hiburan di lapangan, pembawa acara menyambut penampilan penyanyi idola mereka dengan ucapan “ Baiklah para hadirin sekalian, kita sambut penyanyi kesayangan kita…..” Bentukan yang benar adalah para hadir ( tetapi kurang baik, kurang lazim ), sehingga bentukan yang baik dan benar adalah cukup hadirin atau ditambah dengan kata sifat yang berbahagia. Dalam pengajian bisa menggunakan sapaan Hadirin yang berbahagia, Bapak/ Ibu sekalian, Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian yang saya hormati, Saudara-saudara yang berbahagia, Para Saudara jamaah pengajian yang berbahagia atau yang mengharap rida Allah, yang dimulyakan Allah, dan sebagainya. Bentuk sapaan sodara dalam pengucapan memang alih-alih menjadi binyi / o /, padahal dalam penulisan dan juga pelafalan yang tepat adalah saudara ( secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yakni / sa / yang berarti satu dan / udara / yang berarti perut, jadi artinya adalah satu perut atau berasal dari satu perut ibu seperti kakak, adik. Lama-kelamaan kata itu meluas penggunaanya. Demikian pula kata / ibu /, / bapak / yang dialamatkan hanya pada lingkungan keluarga saja. Bahkan karena kesepakatan tertentu misalnya di suatu pondok pesantren kepada sesama santri putri yang ditunjuk ketuanya mereka memanggil / ibu /, dan sebagainya.)
Kata / kita / yang tepat biasanya digunakan dalam
bentuk ajakan yang berarti orang kesatu ( pembicara ) dengan orang kedua (
orang yang diajak berbicara ) terlibat di dalamnya, misalnya “ Marilah kita
wujudkan rukun kompak serta kerja sama yang baik ! “ Kesalahan pengucapan (
tataran fologi ) pada kata pelantara bisa jadi merupakan kasus perseorangan
yang terseleo lidah ( slif of tangue ) atau kerena memang kebiasaan. Kita
maklumi kata dasarnya adalah / antara / mendapat awalan ( prefiks ) per-
sehingga bentukan kata yang benar adalah perantara. Frasa yang mana merupakan
serapan dari bahasa Ingris / wich I sering dingunakan dengan tidak tepat.
Demikian pula frasa yang mana sebagai bentuk serapan dari where is seperti “ Pondok
di mana tempat saya berguru sekarang sudah direhab…” ( di mana dihilangkan
saja, ini mubazir ). Penggunaan frasa yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah
dalam bentuk tanya yaitu “ Yang mana bulpen kamu ? “ “ Di mana sekarang kamu
ditugaskan ? “ Bentukan beliau-beliau dalam hal ini mungkin pengguna bahasa
tidak tahu kata ganti ( pronomia ) personal ketiga jamak yakni mereka ( they )
dalam bahasa Ingris. Bisa jadi karena ingin mengagungkan ( yuadhim ) dan memang
dia tahu bahwa orangnya banyak.
Pengalimatan yang tepat adalah “ Para Saudara jamaah
pengajian yang saya hormati, Kita bersyukur kepada para peratara agama yang
telah memperjuangkan agama Allah dengan gigih……Pada kesempatan ini marilah kita
bersyukur kepada para perantara hidayah yang telah memperjuangkan agama Allah……
Kita harus bersyukur kepada para perantara agama, sebab mereka telah
memperjuangkan agama Allah dengan begitu gigih….”
2. Di kamar mandi atau jeding ( dari bahasa Jawa, KBBI : 464 artinya bak/ tempat air ) ada tulisan “ di larang menyimpan barang didalam jeding “ ada lagi peringatan “ Air jangan isrof ! “ “ Matikan air dan lampu ! “
2. Di kamar mandi atau jeding ( dari bahasa Jawa, KBBI : 464 artinya bak/ tempat air ) ada tulisan “ di larang menyimpan barang didalam jeding “ ada lagi peringatan “ Air jangan isrof ! “ “ Matikan air dan lampu ! “
Penulisan / di / pada kata / larang/ seharusnya
diserangkaikan karena / di / sebagai awalan atau prefiks yang merupakan morfem
terikat ( harus diikatkan, belum memiliki makna tersendiri ), membentuk kata
kerja pasif, serta berada dalam tataran morfologi. Sedangkan / di / pada /
dalam / seharusnya dipisahkan karena sebagai kata depan ( Preposisi ),
membentuk kata keterangan tempat, serta berada dalam konteks sintaksis.
Kesalahan serupa sering ditemui misalnya “ Disini akan di bangun toko baru”,
atau kadang-kadang ditulis kedua-duanya disatukan ada juga yang sama-sama
dipisahkan. Padahal jenis kata itu mempunyai wilayah serta distribusi
masing-masing.
Peringatan kedua ini adalah struktur yang terbalik
karena isrof dalam bahasa Arab artinya adalah berlebihan. Jadi peringatannya
adalah “ Jangan isrof air “ atau lengkapnya “ Menggunakan air jangan isrof !”
Kalau “ Air jangan isrof !” seolah-olah air itu benda hidup seperti manusia
yang bisa diberi peringatan agar tidak berlebihan. Padahal yang diperingati itu
adalah manusia yang menggunakan air itu. Coba bandingkan dengan “ Kamu jangan
isrof yah !”
Peringatan ketiga adalah penghematan predikat yang berakibat pada salah sasaran sehingga bahasa tidak efektif, meskipun efesien. Predikat atau dalam hal ini kata kerja untuk listrik, memang matikan tapi untuk air adalah tutup ( krannya). Sehingga peringatan itu akan lebih baik bila ditulis “ Listrik matikan, dan air tutup kembali ! “ atau lebih lengkapnya, “ Setelah dipakai, listrik matikan, dan air tutup kembali !” Kalau peringatan “ Jagalah kebersihan dan kesucian !” itu memang sudah tepat karena ada dua kata benda yakni kebersihan, menurut standar higienis, dan standar suci dalam kaitan untuk sahnya ibadah ( salat ).
Peringatan ketiga adalah penghematan predikat yang berakibat pada salah sasaran sehingga bahasa tidak efektif, meskipun efesien. Predikat atau dalam hal ini kata kerja untuk listrik, memang matikan tapi untuk air adalah tutup ( krannya). Sehingga peringatan itu akan lebih baik bila ditulis “ Listrik matikan, dan air tutup kembali ! “ atau lebih lengkapnya, “ Setelah dipakai, listrik matikan, dan air tutup kembali !” Kalau peringatan “ Jagalah kebersihan dan kesucian !” itu memang sudah tepat karena ada dua kata benda yakni kebersihan, menurut standar higienis, dan standar suci dalam kaitan untuk sahnya ibadah ( salat ).
3. Pada spanduk setiap bulan Agustus dan Idul Fitri
sering kita lihat “Dirgahayu HUT RI ke-61”, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427
H. Mohon Maaf Lahir Bathin.” Penulis spanduk jelas tidak tahu akan arti kata /
dirgahayu / . Menurut KBBI (edisi ketiga : 267) dan juga Kamus Besar Bahasa
Indonesia sebelumnya, dirgahayu itu berarti berumur panjang. Jadi mendoakan
semoga berumur panjang hari ulang tahun yang hanya sehari itu yakni tanggal 17
Agustus, padahal sehari itu dari dulu hanya 24 jam umurnya. Terus RI ke-61,
pantas saja negara akan dicabik-cabik jadi negara-negara kecil (federal)
sehingga sampai tahun 2006 ini sudah ada RI kesatu, kedua, terus sampai ke-61,
padahal komitmen kita akan NKRI sudah begitu bulat. Sering terjadinya kerusuhan
di mana-mana, bahkan beberapa provinsi ingin merdeka, memisahkan diri, bisa
jadi salah satunya adalah dampak dari tulisan itu. Untuk memperbaiki tulisan
spanduk itu kita harus jeli menempatkan kata sehingga membentuk frasa yang
tepat. Jadi kata dirgahayu digandengkan dengan RI, singkatan HUT dilekatkan
dengan ke-61 dan seterusnya. Sehingga tulisan yang benar adalah Dirgahayu RI
HUT ke-61.
Tulisan pada spanduk Idul Fitri ini seperti di atas
juga begitu merebak setiap selesai bulan puasa, juga pada koran dan majalah.
Kerancuan ini sering terjadi karena asimilasi atau tepatnya penggabungan kata
yang berasal dari bahasa Arab ( sebutlah bahasa ketiga) yang digandengakan
dengan bahasa Indonesia. Bandingkan dengan ucapan ( maksudnya menghormat )
“Mampir dulu guru Ustadz” yang masih didengar di beberapa kampung. Kita tahu
bahwa ustadzun itu berarti guru, Yauma ied berarti hari raya, fitri berarti
lebaran, suci. Sehingga tulisan dan ucapan yang benar adalah Selamat Idul Fitri
1427 H. Mohon Maaf Lahir Batin. ( bukan bathin ) atau Selamat Hari Raya
Lebaran….( Berseri ) * Pernah dimuat pada Majalah Cakrawala Lebak bulan Mei
2007
ü Inta
Sahrudin (Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia SMPN 4 Rangaksbitung )
BAHAN BACAAN
BAHAN BACAAN
ü Badudu,
J. S. 1993. Membina Bahasa Indonesia Baku I. Bandung : Pustaka Prima.
ü Panitia
Pengembangan Bahasa Indonesia. 1975-a. Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan.
Jakarta : Depdikbud.
ü Pusat
Bahasa Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Soedjito. 1986. Kalimat Efektif. Bandung : Remaja Karya
Soedjito. 1986. Kalimat Efektif. Bandung : Remaja Karya
ü Tarigan,
Djago. 1998. Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Proyek Penyetaraan D III
Jurusan Bahasa Indonesia.
Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Tataran Morfologi Sumber
kesalahan berbahasa dalam tataran morfologi bahasa Indonesia,antara lain:
1.
Salah penentuan bentuk asal
2.
Fonem yang luluh tidak diluluhkan
3.
Fonem yang tidak luluh diluluhkan.
4.
Penyingkatan morfem
5.
Perubahan morfem
6.
Penulisan morfem yang salah
7.
Pengulangan
yang salah.
8.
Penulisan kata majemuk serangkai
9.
Pemajemukan berafiksasi
10. Pemajemukan dengan afiks dan sufiks
11. Perulangan kata majemuk.Sumber kesalahan berbahasa dalam
tataran frase, antara lain:
a.
Frase kata depan tidak tepat.
b.
Salah penyusunan frase.
c.
Penambahan kata “yang” dalam frase
benda (nominal) (N + A).
d.
Penambahan kata “dari” atau
“tentang” dalam frase nominal (N + N).
e.
Penambahan kata kepunyaan dalam
frase nominal.
f.
Penambahan kata “dari” atau “pada”
dalam frase verbal (V + Pr).
g.
Penambahan kata “untuk” atau “yang”
dalam frase nominal (N + V).
h.
Penambahan kata “untuk” dalam frase
nominal (V + yang + A).
i.
Penambahan kata “yang” dalam frase
nominal (N + yang + V pasif).
j.
Penghilangan preposisi dalam frase
verbal (V intransitif + preposisi + N).
k.
Penghilangan kata “oleh” dalam frase
verbal pasif (V pasif + oleh + A).
l.
Penghilangan kata “yang” dalam frase
adjektif (lebih + A + daripada +N/Dem).Sumber kesalahan berbahasa dalam tataran
klausa, antara lain:
Ø
Penambahan preposisi di antara kata
kerja dan objek dalam klausa aktif.
Ø
Penambahan kata kerja bantu “adalah”
dalam klausa pasif.
Ø
Pemisahan pelaku dan kata kerja
dalam klausa pasif.
Ø
Penghilangan kata “oleh” dalam
klausa pasif.
Ø
Penghilangan proposisi dari kata
kerja berpreposisi dalam klausa pernyataan.
Ø
Penghilangan kata “yang” dalam
klausa nominal.
Ø
Penghilangan kata kerja dalam klausa
intransitif.
Ø
Penghilangan kata “untuk” dalam
klausa pasif.
Ø
Penggantian kata “daripada” dengan
kata “dari” dalam klausa bebas.
Ø
Pemisahan kata kerja dalam klausa
medial.
Ø
Penggunaan
klausa rancu.
Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S. Piet
Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics.
Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah
pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat
fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan
penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan
kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik
penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat
kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan
berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan
berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit
kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem
kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang
menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana
dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun
sistem kaidah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau
kriteria untuk menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem
kaidah bahasa baku. Kodifikasi kaidah bahasa baku dapat kita lihat dalam buku Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa baku antara lain adalah
sebagai berikut.
1. Penggunaan konjungsi-konjungsi seperti bahwa, karena secara
konsisten dan eksplisit.
- Penggunaan
partikel kah dan pun secara konsisten.
- Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit dan
konsisten.
- Penggunaan meN- dan ber- secara konsisten.
- Penggunaan pola frase verbal aspek+agen+verba
secara konsisten, misalnya Surat ini sudah saya baca.
Bandingkan dengan bentuk yang sudah baku Surat ini saya sudah
baca.
- Penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya
bandingkan dengan bentuk yang tidak baku dia punya mobil,
membersiihkan bandingkan dengan bentuk tidak baku bikin bersih,
memberi tahu bandingkan dengan bentuk tidak baku kasih tahu.
- Terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari
dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap
asing.
- Pengunaan popularitas tutur sapa yang konsisten,
misalnya saya-tuan, saya-saudara.
- Pengunaan unsur-unsur leksikal yang baku, misalnya:
Leksikal baku
Leksikal tidak baku
mengapa
kenapa
begini
gini
berkata
bilang
tidak
nggak
tetapi
tapi
Senin
Senen
Rabu
Rebo
Kamis
Kamis
Jumat
Jum’at
Sabtu
Saptu
daripada
ketimbang
senyampang
mumpung
seperti
kayak
oleh karena itu
makanya
Kesalahan berbahasa tidak sama dengan kekeliruan berbahasa.
Keduanya memang merupakan pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang.
Kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis kerena belum dikuasainya sistem
kaidah bahasa yang bersangkutan. Kekeliruan berbahasa tidak terjadi secara
sistematis, bukan terjadi karena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang
bersangkutan, melainkan karena kegagalan merealisasikan sistem kaidah bahasa
yang sebenarnya sudah dikuasai.
Kekeliruan pada umumnya disebabkan
oleh faktor performansi. Keterbatasan dalam mengingat sesuatu atau
kelupaan menyebabkan kekeliruan dalam melaflakan bunyi bahasa, kata, urutan
kata, tekanan kata, atau kalimat, dsb. Kekeliruan ini bersifat acak, artinya
dapat terjadi pada berbaga tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat
diperbaiki sendiri oleh siswa bila yang bersangkutan, lebih mawas diri, lebih
sadar atau memusatkan perhatian. Siswa sebenarnya telah mengetahui sistem
linguistik bahasa yang digunakan, tetapi karena suatu hal dia lupa akan sistem
Sebaliknya, kesalahan disebabkan oleh faktor kompetensi, artinya siswa memang
belum memahami sistem linguistik bahasa yang digunakannya. Kesalahan biasanya
terjadi secara konsisten dan sistematis. Kesalahan itu dapat berlangsung
lama apabila tidak diperbaiki. Perbaikan biasanya dilakukan oleh guru, misalnya
melalui remedial, latihan, praktik, dsb. Sering dikatakan bahwa kesalahan
merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang sedang
dipelajari olehnya. Bila tahap pemahaman siswa tentang sistem bahasa yang
sedang dipelajari olehnya ternyata kurang, kesalahan berbahasa tentu sering
terjadi. Namun, kesalahan berbahasa akan berkurang apabila tahap pemahaman
semakin meningkat. Perhatikan tabel berikut ini! Analisis Kesalahan Morfologi
Anda masih ingat
apa yang dimaksud dengan morfologi? Semoga masih
ingat. Jika belum, Badudu (1976:15)
mengemukakan bahwa “morfologi adalah
ilmu bahasa yang mebicarakan morfem dan bagaimana morfem itu dibentuk
menjadi sebuah kata”.
Berbicara tentang morfem terbagi atas tiga macam
morfem bebas
seperti
makan, minum, dan lain-lain, morfem terikat seperti ber-
ber, -kan, dan lain sebagainya, morfem unik, misalnya juang,
tawa, dan
sebagainya. Morfem bebas /makan/ digabung
morfem terikat –an/ menjadi kata
berimbuhan, misanya,
makanan. Morfem bebas /minum/ mengalami
pengulangan /minum-minum/ disebut kata ulang. Morfem bebas
/mata/ digabung
dengan morfem bebas /hari/
menjadi matahari disebut kata majemuk.
Kaitannya dengan keperluan
analisis kesalahan berbahasa dalam bidang
morfologi, menurut Badudu
(1982) dan Tarigan dan Sulistyaningsih (1979)
terbagi atas tiga
kelompok: (a) kesalahan afiksasi, (b)
kesalahan reduplikasi, (c)
kesalahan
pemajemukan.
Kesalahan bidang afiksasi.
Kesalahan berbahasa dalam bidang afiksasi antara lain seperti yang
dipaparkan
berikut ini.
6 - 8
Unit 6
(1)
Afik yang luluh,
tidak diluluhkan
Kaidah afiksasi awalan meN-
manakala memasuki kata dasar yang
dimulai huruf t, s, k, p harus luluh menjadi men-, meny-,
meng-, dan
mem- , misalnya meN- memasuki kata dasar tarik, satu,
kurang, dan
pinjam akan menjadi menarik, menyatu, mengurang,
dan meminjam. Dalam
proses berkomunikasi biasa
ditemukan:
mentabrak
seharusnya menabrak
mempahat
seharusnya memahat
mempabrik
seharusnya memabrik
(2)
Afiks yang tidak
luluh, diluluhkan
Afiks meN- memasuki kata asal
atau kata dasar yang dimulai huruf
kluster
seperti transmigrasi dan prosentase tidak luluh misalnya
mentrasmigrasikan dan memprosentasekan.
Akan tetapi, dalam proses
berkomunikasi
biasa ditemukan penggunaan kata berimbuhan seperti:
menerasmigrasikan seharusnya
mentransmgraskan
memerotes
seharusnya
memprotes
memerakarsai
seharusnya memprakarsai
(3)
Morf men- disingkat n,
Bentuk narik merupakan
salah satu contoh kata dasar dari sekian
kata dasar yang
nonbaku. Kata dasar tersebut muncul dari pengaruh
kesalahan afiksasi. Yakni dari
kata tarik lalu mendapat awalan meN-,
menjadilah kata menarik.
Selanjutnya, dalam proses komunikasi hanya
menggunakan narik padahal seharusnya menarik seperti
dalam kalimat
Saya belum menarik
kesimpulan. Kata-kata
yang tidak baku seperti itu
adalah:
natap
seharusnya
menatap
nangis
seharusnya
menangis
nabrak
seharusnya
menabrak
(4)
Morf meny- disingkat ny,
misalnya:
Bentuk kata nyampakan,
bukanlah kata dasar yang baku. Kata dasar
tersebut muncul dari
pengaruh kesalahan afiksasi. Yakni dari kata sampai
Kajian Bahasa Indonesia di
SD
6- 9
lalu
mendapat awalan meN-, menjadilah kata berimbuhan menyampaikan.
Selanjutnya,
dalam proses berkomunikasi hanya meng-gunakan nyampai
atau nyampaikan padahal
seharusnya menyampaikan. Contoh yang lain:
nyapu
seharusnya menyapu
nyisir
seharusnya
menyisir
nyusun
seharusnya menyusun
(5)
Morf meng disingkat ng,
misalnya:
Kata
berimbuhan seperti ngoreksi bukanlah kata
berimbuhan yang
baku. Kata berimbuhan
tersebut muncul dari pengaruh kesalahan afiksasi
alomorf meng-. Yakni dari kata koreksi
lalu dimasuki awalan meN-,
menjadilah kata berimbuhan mengoreksi.
Selanjutnya, dalam proses
berkomunikasi hanya
menggunakan ngoreksi padahal seha-rusnya
mengoreksi seperti dalam kalimat Aminuddin mengoreksi pemerintah
secara sopan. Kata berimbuhan
lain yang tidak baku seperti
itu, sebagai
berikut:
ngarang
seharusnya mengarang
ngantuk
seharusnya mengantuk
ngurung
seharusnya mengurung
(6)
Morf menge-
disingkat nge-
Kata dasar seperti ngebom
bukanlah kata yang baku. Kata dasar
tersebut muncul
sebagai akibat kesalahan afiksasi alomorf menge-. Yakni,
dari kata dasar
bom lalu dimasuki awalan meN-,
menjadilah kata
berimbuhan mengebom. Selanjutnya,
dalam proses berkomunikasi
masyarakat
hanya menggunakan ngebom padahal seharusnya mengebom
seperti dalam kalimat Syarifuddin
berencana akan mengebom pantai Sanur.
Contoh lain kata berimbuhan yang tidak baku
seperti itu adalah sebagai
berikut:
ngelap
seharusnya mengelap
ngebom
seharusnya mengebom
ngecet
seharusnya
mengecet
ngelas
seharusnya
mengelas
(7)
Kesalahan
morfologi segi reduplikasi
Salah satu
betuk kesalahan morfologis dalam segi redukplikasi
adalah perulangan bentuk dasar , misalnya ngarang-mengarang. Bentuk
6 - 10
Unit 6
perulangan
tersebut berdasar dari kata asal karang lalu mendapat awalan
meN- menjadilah mengarang. Selanjutnya, kata dasar mengarang
mengalami
proses reduplikasi ngarang- mengarang,
yang semestinya
karang-mengarang seperti dalam kalimat Mereka belajar
tentang karang-
mengarang
di sekolah. Kata ulang
lain yang biasa ditemukan seperti itu
adalah
sebagai berikut:
ngejek-mengejek
seharusnya
ejek-mengejek
ngutip-mengutip
seharusnya
kutip-mengutip
ngunjung mengunjungi
seharusnya
kunjung-mengunjungi
Kesalahan morfologis segi proses pemajemukan
(1)
Kata
majemuk yang seharusnya disatukan tetapi dipisahkan
Kata majemuk
yang ditulis terpisah seperti pasca panen, ekstra
kurikler, adalah kata majemuk yang
nonbaku. Kata tersebut semestinya
ditulis
serangkai seperti pascapanen dan ekstrakurikuer.
Karena kata-kata:
pasca, ektra, antar , infra,
intra, anti, panca, dasa, anti, pra, proto, mikro,
maha, psiko, ultra, supra, para, dan sebagainya adalah kata-kata
yang
harus
ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Contoh
kata
majemuk yang seharusnya ditulis
serangkai tetapi ditulis terpisah adalah
sebagai berikut.
anti
karat
ekstra kurikuler
antar
universitas
psiko terapi
supra segmental
proto tipe
para medis
pramu niaga
infra
struktur
mikro film
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
seharusnya
antikarat
ekstrakurikuler
antaruniversitas
psikoterapi
suprasegmental
prototipe
paramedis
pramuniaga
infrastruktur
mikrofilm
0 comments:
Post a Comment