BAB I
PEMBAHASAN
2.1 Pemakaian Tanda Baca
Dalam
hal pembuatan karangan ilmiah, kesalahan huruf dan tanda baca sering muncul.
Dan di dalam penulisan tanda baca sering sekali kita lalai dan melakukan
kesalahan dalam penulisanya. Sehingga menjadikan karangan atau karya ilmiah
kita menjadi sebuah karya yang kurang baik karena ada kesalahan dalam
penulisanya. Dari berbagai kesalahan itu, sebenarnya para penulis karya ilmiah
mampu untuk membuat tulaisanya, akan tetapi mereka sering lalai dan ceroboh dalam
penggunaan tanda baca. Karena apa, tanda baca selalu di anggap sepele dalam
penggunaanya sehingga kadang menjadikan kalimat itu menjadi rancu dan berbeda
arti. Suatu contoh kita ambil kalimat “kucing makan tikus mati”. Dalam konteks
kalimat ini jika tidak kita beri pemisah tanda baca maka akan menjadikanya
sulit untuk dipahamai. Dari kalimat “kucing makan tikus mati” siapakah yang
mati dalam konteks kalimat ini?, akan tetapi apabila kita ganti konteks kalimat
ini dengan pemberian tanda baca seperti ini ”kucing makan, tikus mati”,
siapakah yang mati dalam konteks kalimat ini?, kemudian apabila kita gunakan
konteks kalimat ini ”kucing makan tikus, mati”, siapakah yang mati dalam
konteks kalimat ini?. Kucing makan tikus mati adalah salah satu contoh kalimat
yang banyak persepsi apabila kita salah menggunakan tanda bacanya. Oleh karena
itu, pemakaian tanda baca dalam penyusunan kalimat sangat perlu untuk
diperhatikan.
2.3.1
Tanda Titik (.)
1.
Tanda
titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
Ayahku tinggal
di Solo.
Biarlah mereka
duduk di sana.
Dia menanyakan
siapa yang akan datang.
2.
Tanda
titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau
daftar.
Misalnya:
a.
III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat
Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat
Jenderal Agraria
1. ...
b. 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Ilustrasi
1.2.1 Gambar
Tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang
angka atau huruf dalam suatu bagan atau ikhtisar jika angka atau huruf itu
merupakan yang terakhir dalam deretan angka atau huruf.
3.
Tanda
titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukan
waktu.
Misalnya:
pukul 1.35.20
(pukul 1 lewat 35 menit 20 detik)
4.
Tanda
titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukan
jangka waktu.
Misalnya:
1.35.20 jam ( 1
jam, 35 menit, 20 detik)
0.20.30 jam (20
menit, 30 detik)
0.0.30 jam (30
detik)
5.
Tanda
titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan
tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Siregar, Merari.
1920. Azab dan Sengsara. Weltervreden: Balai Poestaka.
6.
Tanda
titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
Misalnya:
Desa itu
berpenduduk 24.200 orang.
Gempa yang
terjadi semalam menewaskan 1.231 jiwa.
7.
Tanda
titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang
tidak menunjukan jumlah.
Misalnya:
Ia lahir pada
tahun 1956 di Bandung.
Lihat halaman
2345 dan seterusnya.
Nomor gironya
5645678.
8.
Tanda
titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala
ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Misalnya:
Acara kunjungan
Adam Malik
Bentuk dan
Kedaulatan (Bab I UUD ‘45)
Salah Asuhan
9.
Tanda
titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2)
nama dan alamat penerima surat.
Misalnya:
Jalan Diponegoro
82 (tanpa titik)
Jakarta (tanpa
titik)
1 April 1985
(tanpa titik)
Yth. Sdr. Moh.
Hasan (tanpa titik)
Jalan Arif 43
(tanpa titik)
Palembang (tanpa
titik)
Atau:
Kantor
Penempatan Tenaga (tanpa titik)
Jalan Cikini 71
(tanpa titik)
Jakarta (tanpa
titik)
2.3.2
Tanda Koma (,)
a)
Tanda
koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli
kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa,
surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan perangko.
b)
Tanda
koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat serata
berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
Misalnya:
Saya ingin
datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak
saya, melainkan anak Pak Kasim.
c)
Tanda
koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat
itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau hari
hujan, saya tidak akan dating
Karena sibuk, ia
lupa akan janjinya.
d)
Tanda
koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak
kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Saya tidak akan
datang kalau hari hujan.
Dia lupa akan
janjinya karena sibuk.
Dia tahu bahwa
soal itu penting.
e)
Tanda
koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang
terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi
pula,meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
... Oleh karena
itu, kita harus hati-hati.
... Jadi,
soalnya tidak semudah itu.
f)
Tanda
koma dipakai untuk memisahkan kata seperti kata seperti o, ya, wah, aduh,
kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya,
nanti jatuh.
g)
Tanda
koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dari kalimat.
Misalnya:
Kata Ibu, “ Saya
gembira sekali.”
“Saya gembira
sekali,” kata Ibu, “karena kamu lulus.”
h)
Tanda
koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii)
tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis
berurutan.
Misalnya:
(i)
Surat-surat
ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Pakuan, Bogor.
(ii)
Sdr. Anwar, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
(iii)
Surabaya,
10 Mei 1960
(iv)
Kuala
Lumpur, Malaysia.
i)
Tanda
koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar
pustaka.
Misalnya:
Alisjahbana,
Sultan Takdir. 1949. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid 1 dan 2. Djakarta:
PT Pustaka Rakjat.
j)
Tanda
koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk
membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi,
S.E.
Ny. Khadijah,
M.A.
k)
Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan
tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya:
Presiden RI,
Susilo Bambang Yudhoyono, berkunjung ke Manado.
Semua siswa,
baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Bandingkan
dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma:
Semua siswa yang
lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.
l)
Tanda koma dipakai di muka angka persepuluh
atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
Rp 12,50
m)
Tanda koma dapat dipakai––untuk menghindari
salah baca––di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pembinaan
dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh.
Atas bantuan
Edyar, Agus mengucapkan terima kasih.
Bandingkan
dengan:
Kita memerlukan
sikap yang bersungguh-sungguh dalam pembinaan dan pengembangan bahasa.
Agus mengucapkan
terima kasih atas bantuan Edyar.
n)
Tanda
koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang
mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda
tanya atau tanda seru.
Misalnya:
“ Di mana
Saudara tinggal?” tanya Karim.
“Berdiri
lurus-lurus!” perintahnya.
2.2 Pemakaian Huruf Kapital atau Huruf Besar
Penggunaan huruf
kapital atau huruf besar yaitu pada huruf pertama:
1.
Pada
awal kalimat.
Contoh : Pada
hari minggu kuturut ayah ke kota.
2.
Pada
petikan langsung.
Contoh : Ayah berkata, “Berapa nilai rapormu?”.
3.
Ungkapan
yang berhubungan dengan hal – hal keagamaan, kitab suci, nama Tuhan, dan
termasuk kata ganti nama Tuhan.
Contoh : Allah, Islam, Al Qur’an, Kristen.
4.
Pada
gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Contoh : Nabi Muhammad Saw, Raden Mas Margono, Daeng
Gassing, Haji Sobri.
5.
Pada
nama jabatan dan pangkat, yang diikuti nama orang.
Contoh : Presiden
SBY, Jenderal Soeharto.
6.
Nama
jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang ditulis dengan huruf kecil.
7.
Nama
orang.
Contoh : Sri,
Risna, Unnul, Insana, Ayu.
8.
Nama
bangsa, suku, dan bahasa.
Contoh : Bangsa Indonesia, suku Makassar, bahasa
Indonesia.
9.
Nama
tahun, bulan, hari, hari raya dan peristiwa sejarah.
Contoh : Tahun Masehi, September, Senin, hari Lebaran,
Perang Dunia I.
10.
Nama
khas dalam geografi.
Contoh : Teluk Bone, Makassar, Danau Toba.
11.
Huruf
capital tidak dipakai bila tidak diikuti namanya.
12.
Nama
badan, lembaga pemerintah, dan ketatanegaraan serta dokumen resmi.
Contoh : BUMN, KPK, DikNas.
13.
Semua
kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) nama buku, majalah, surat
kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti: di, ke, dari, yang, untuk, yang
tidak terletak pada posisi awal.
14.
Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
15.
Pada singkatan nama, gelar, pangkat, dan
sapaan.
Contoh : Prof., Mayjen.
16.
Kata
penunjuk hukum kekerabatan (bapak, ibu, saudara, kakak, adik, paman, bibi,
nenek, dan kakek) yang juga dipakai kata ganti atau sapaan seperti Anda.
2.3 Penulisan
Kata Depan (di, ke)
di
dan ke merupakan kata depan dalam bahasa Indonesia. Terkadang juga kedua kata
depan tersebut disamakan dengan prefiks di- dan ke- meskipun keduanya sangat
berbeda. Di dan ke sebagai kata depan yang menunjukkan tempat ditulis terpisah
dengan kata yang mengikutinya, misalnya: di pantai, ke sekolah. Sedangkan
prefiks di- dan ke- yang menunjukkan suatu proses atau kejadian ditulis secara
serangkai, misalnya: diterima, kekasih.
Yang
tergolong kata depan ialah di, ke, dari, daripada, kepada. Penulisan di, ke,
dipisahkan dengan kata yang mengikutinya. Kecuali penulisan ke dan dari yang
dianggap sudah kental dan merupakan bentuk satu kata. Misalnya, bentuk kepada
dan daripada.
Contoh:
Bukuku
kauletakkan di mana?
Hari ini saya ke
kota.
Kursi ini di
buat dari kayu jati.
Catatan:
Perhatikan
beberapa penulisan di bawah ini dengan cermat!
keluar (satu
kata) ke dirangkaikan.
kemari (satu
kata) ke dirangkaikan.
Perhatikan pula
pemakaian beberapa bentuk kata depan yang sudah mengalami proses morfologis di
bawah ini:
Nasehatnya
jangan dikesampingkan.
Kemarikan tasku
di meja itu.
Jika bentuk kata
depan ke dan di bisa saling dipertukarkan maka penulisannya dipisahkan dari
kata yang mengikutinya.
Contoh:
ke sana dapat diganti di sana.
ke sini dapat diganti di sini.
ke atas dapat diganti di atas.
Bandingkan pula penulisan ke, jika
diikuti luar:
Ayahnya sedang keluar.
Kakaknya sedang keluar kota.
Pamannya ke luar negeri.
Astronot terbang ke luar angkasa.
Kesimpulannya:
Keluar
(merupakan satu kata yang mempunyai lawan kata masuk).
ke luar kota, ke
luar negeri, dan ke luar daerah (ke + frse yang salah satu unsurnya ialah
“luar”).
Bukan ke + luar,
yang benar ialah:
ke + luar kota
ke + luar negeri
ke + luar daerah
2.4 Penulisan
Kata Ganti (ku, mu, kau)
Kata
ganti dalam bahasa Indonesia antara lain adalah –ku, –mu, kau. Penulisan kata
ganti ini harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahului atau yang mengikutinya.
Kata ganti ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; ku dan
mu ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Contoh:
a.
Ikan
ini kubeli di pasar dengan menggunakan ibuku.
b.
Kemarin
saya meminjam pulpenmu.
c.
Dimana
kaubeli baju ini?.
Ketiga
morfem tersebut merupakan kata ganti orang. Morfem –ku dan –mu merupakan kata
ganti orang pertama dan kedua dalam bentuk ringkasnya.
Ku
merupakan bentuk ringkas dari ‘aku’ dan merupakan kata ganti orang pertama
tunggal. Mu merupakan bentuk ringkas dari ‘kamu’, merupakan pengganti orang
kedua tunggal / jamak.
a.
Akhiran
–ku, memiliki arti / fungsi sebagai kata ganti orang pertama tunggal.
b.
Akhiran
–mu, memiliki arti / fungsi sebagai kata ganti orang kedua tunggal.
2.5 Penulisan
Partikel (pun, per)
Penulisan
partikel dalam bahasa Indonesia ada dua macam. Ada partikel yang ditulis
terpisah dan ada yang ditulis serangkai. Partikel yang ditulis terpisah seperti
partikel per yang semakna dengan demi dan partikel pun yang berarti juga.
Penulisan
partikel “per” yang berarti “mulai”, “demi”, dan “tiap-tiap” ditulis terpisah
dari bagian-bagian kalimat yang mengikutinya atau yang mendahuluinya. Namun,
partikel per pada bilangan pecahan ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya.
Contoh:
Mereka meninggalkan ruangan satu per
satu.
Harga kain itu Rp. 4.000,00 per meter.
Partikel “pun”
ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Contoh:
Ke
mana pun perginya, dicarinya juga.
Apa
pun yang terjadi ia tetap pergi.
Satu
kali pun ia tak pernah gagal.
Catatan:
Partikel pun
yang dianggap padu benar dengan kata yang mendahuluinya ditulis serangkai.
Contoh:
bagaimanapun,
walaupun,
meskipun,
sekalipun,
ataupun,
maupun, dll.
f. Belajar sepanjang hayat
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan
daerah.
Pada
hakikatnya KTSP merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang
dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah penentuan mata pelajaran
masing-masing bidang studi dengan penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru
itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat. Belum lagi soal kerepotan
dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya.
Dengan dasar
Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006
diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua
tahun.
Dalam pelaksanaannya
kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan
minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan
terutama sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum
sendiri. Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya
panduan KTSP yang disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum
2006 itu terkesan masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai
kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh
pemerintah.
Perbedaan mendasar
yang terdapat dalam kurikulum 2006 dibandingkan kurikulum sebelumnya adalah
kurikulum 2006 bersifat desentralistik artinya sekolah diberi kewenangan secara
penuh untuk menyusun rencana pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah
ditetapkan (SI dan SKL) mulai dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan
kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
Namun, kewenangan dan kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program
pendidikannya tetap harus disesuaikan dengan (1) Kondisi lingkungan sekolah,
(2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan
daerah. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan
terlibat secara aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program
pendidikannya.
a)
Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari
apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah
pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara
belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk
selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada awalnya
tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif, pemerintah
kemudian mengambil alih kendali seluruh praktik pendidikan. Pendidikan yang
tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali ke semangat deliberatif dan
sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai partner, tetapi sebagai
pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring dengan reformasi
pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang diotonomikan di daerah
di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari sebelumnya.Timbul banyak masalah,
mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) sekolah, sampai pada
pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga Honorer yang carut marut (Susanto dan
Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan kurikulum
1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik. Bahkan
ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan, bahwa
kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Kemudian
lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah menerbitkan
UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana lewat
sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984 kemudian
dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru 1994 yang
lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol ketimbang
berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pun
dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak kritik, baru
terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum baru 2004 atau
kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah kompetensi
yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30 Desember
2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah
pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan
kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman
Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima
Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan
pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan
kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat
tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset
terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungkan kelengkapan
sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah
apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur
dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan
tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek
pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang
dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya,
maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi
yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah
akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih
bersifat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang
membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari
2006).
b)
Bagaimana Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap mandiri dan
tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana mengubah kurikulum.
Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan merekayasa kurikulum sendiri
diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak didikte oleh kurikulum nasional,
yang dalam penerapannya mungkin saja sangat detail, tanpa mempertimbangkan
aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya masyarakat di daerah tempat sekolah
berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru dan murid harus yakin dengan
pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran untuk
menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut perlu
untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum dilakukan,
karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum (Suparno, Kompas
27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan kurikulum KBK,
mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang selama
ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan riset
yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk urusan uji
coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, apalagi
untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua
(Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para pengambil
keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan kebijakan yang
diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu perencanaan yang matang,
dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting untuk menjamin siswa, guru
dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut (Elin, Kompas, 24 Juli 2006).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjalanan pendidikan
dan kurikulumnya sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan
praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di
bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan yang seharusnya
tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang mendalam, telah
menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi ketertinggalan
bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya,
banyak kebijakan yang dilakukan sebagai kebijakan yang bersifat instant dan
tidak didasari atas pertimbangan pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu
dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus
memusatkan perhatian yang serius pada pembenahan infrastruktur persekolahan
yang banyak mengalami kerusakan, seperti gedung-gedung, sekolah yang telah
runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian serius juga harus dipusatkan pada
peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan dosen, pemberian akses kesempatan
belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa
dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah
tentang pelapukan terhadap praktik pendidikan dan kurikulumnya, harus segera
diperbaiki kembali dengan memfokuskan perhatian pada isi, visi, misi dan
orientasi pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan untuk semua rakyat
Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan
sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir
sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli
di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara
sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air
dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini
sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi
mimpi buruk bagi bangsa kita.
B.
Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan
pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada
lima hal yang perlu dilakukan suatu pergantian kurikulum atau pemberlakuan
kurikulum baru, yaitu : 1) sebelum kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh
Indonesia harus dibantu memahami isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh
karena itu, perlu sosialisasi yang sungguh merata di seluruh Indonesia.
Pemerintah tidak boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri,
atau mereka akan belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk
mempercepat sosialisasi, teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum
baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media
komunikasi, surat kabar, dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media
sosialisasi kurikulum yang baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di
seluruh pelosok Indonesia, 4) guru perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum
apapun secara bijak, sehingga tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari,
bahwa meskipun kurikulum nantinya tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka
telah terbantu dalam proses kegiatan belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu
bersikap cerdas untuk mengambil hal yang sungguh baik dan berguna dari
kurikulum KBK ataupun kurikulum lama, meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5)
sangat penting bagi guru untuk mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan
percaya diri. Sebab bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan
ujung tombak dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu
dan terkungkung oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment