KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang
Maha Esa yang telah memberkati kami sehingga karya tulis ini dapat
diselesaikan. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang
telah membantu kami dalam pembuatan karya tulis ini dan berbagai sumber yang
telah kami pakai sebagai data dan fakta pada karya tulis ini.
Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan
sangat sempurna. Begitu pula dengan karya tulis ini yang telah kami selesaikan.
Tidak semua hal dapat kami deskripsikan dengan sempurna dalam karya tulis ini.
Kami melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki. Di mana
kami juga memiliki keterbatasan kemampuan.
Maka dari itu seperti yang telah dijelaskan bahwa kami memiliki
keterbatasan dan juga kekurangan, kami bersedia menerima kritik dan saran dari
pembaca yang budiman. Kami akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai
batu loncatan yang dapat memperbaiki karya tulis kami di masa datang. Sehingga
semoga karya tulis berikutnya dan karya tulis lain dapat diselesaikan dengan
hasil yang lebih baik.
Dengan menyelesaikan karya tulis ini kami mengharapkan banyak manfaat yang
dapat dipetik dan diambil dari karya ini. Semoga dengan adanya karya tulis ini
dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan boraks dan formalin sebagai
pengawet pada makanan. Dengan begitu maka kesehatan akan lebih terjamin dan
tidak ada lagi muncul berbagai penyakit baru yang diakibatkan penggunaan
bahan-bahan terlarang sebagai bahan baku makanan. Kami juga mengharapkan
kinerja yang lebih baik dan tegas serta efektif dari pihak pengawas makanan
yang merupakan bagian dari kepemerintahan, sehingga makanan yang dihasilkan
dari Indonesia dapat lebih terjamin dan sehat.
Banda Aceh, November 2011
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perjalanan sejarah
bangsa telah mencatat bahwa perubahan pergantian kurikulum pendidikan yang semestinya
mengantarkan bangsa dan rakyat Indonesia untuk eksis dalam percaturan global
ternyata justru terbalik dengan kenyataan yang ada. Negeri ini malah kian
terpuruk dan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh karena itu,
dengan membuka lembaran sejarah kurikulum di Indonesia, diharapkan pemerintah
dan segenap komponen bangsa yang terkait langsung menangani pendidikan di
Indonesia untuk mencari formulasi yang ideal dalam mengembangkan kurikulum yang
bernuansa global, kuat dalam visi dan tidak menghilangkan nuansa kepribadian
bangsa Indonesia.
Menilik benang merah
sejarah Indonesia merdeka, haruslah diakui bahwa politik “etis” kolonial
Belanda sekitar tahun 1900-an yang bersifat setengah hati, karena tuntutan abad
pencerahan di Eropa, telah memberikan semangat nasionalisme dan
intelektualisme. Pendidikan diyakini sebagai jembatan emas menuju pencerahan
dan kemerdekaan bangsa. Tokoh-tokoh seperti Wahidin Sudirohusodo, Soewardi
Suryaningrat atau yang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantoro, Soekarno dan Muhammad
Hatta adalah contohnya.
Jika kemudian, setelah
60 tahun lebih Indonesia merdeka, tunas-tunas bangsa tidak semuanya dapat
mengenyam pendidikan yang layak bagi kemanusiaan, inilah persoalan bangsa yang
seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan semua pihak.
Sementara itu,
bagaimana peran kurikulum dalam proses pendidikan ? Hal ini tentu saja
merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab kurikulum adalah
jantungnya pendidikan. Oleh sebab itu, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945, adalah menjadi tugas utama pendidikan
yang digariskan dalam kurikulumnya.
B. Permasalahan
Mencermati uraian di atas, ada tiga
permasalahan yang akan dikupas dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana kurikulum pendidikan menjadi bagian
dari kepentingan birokratis politis ?
2. Bagaimana perbandingan kurikulum di Indonesia
ditinjau dari sejarah pelaksanaannya ?
3. Bagaimana sebaiknya guru dan sekolah menyikapi
perubahan kurikulum pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
dan Kepentingan Birokratis Politis
Sejak kurikulum
pendidikan pertama diberlakukan (kurikulum 1947) hingga sekarang, tampaknya ada
degenerasi dalam hal tujuan pendidikan. Bahkan elitisme dan komersialisasi
pendidikan semakin mereduksi makna pendidikan dan mengancam nilai-nilai moral
dan idealisme pendidikan itu sendiri.
Catatan Shindunata
dalam sampul majalah Basis menggaris bawahi, “Bahwa pendidikan hanya
menghasilkan air mata”. Ilustrasinya berupa air mata meleleh dari kelopak mata
seorang ayah yang tertusuk pulpen
Banyak ahli dan
pemerhati pendidikan sangat prihatin. Bahkan ada yang menarik tali sejarah
lebih panjang lagi ke zaman Jepang sejak masuknya tahun 1942 sebagai masa yang
dilansir oleh Selamet Imam Santoso (1995). Praktik pendidikan di Indonesia
sudah mengalami keterpurukan sejak zaman Jepang dan bersambung sampai zaman
kemerdekaan. Ada mitologi yang berkembang, bahwa baik tidaknya pendidikan
nasional, senantiasa hanya dilihat sebagai solusi keterpurukan bangsa (Sularto,
ST, 2005).
Empat bulan setelah
Indonesia merdeka, dunia pendidikan nasional mulai dibenahi. Pada tahun 1947
terbentuklah “Sistem Persekolahan” sesuai dengan UUD 1945, termasuk Sekolah
Rakyat (SR) enam tahun. Sistem itu sempat dipraktikkan dan dikembangkan,
barulah tahun 1960 tersusun undang-undang yang menjadi paying hukum kegiatan
pendidikan.
Sesuai dengan
keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Manusia Sosialis Indonesia, disusunlah
rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Keppres No. 14 Tahun 1965.
Kemudian keluar dari Keppres No. 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa dan Visi kurikulum adalah gotong royong dan
demokrasi terpimpin.
Orde lama runtuh,
keluar Ketetapan MPRS No. XXVII / MPRS /1966 yang berisi tentang tujuan
pendidikan nasional “membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan
seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945”. Lalu kurikulum 1968 lahir
sebagai sebuah pedoman praktik pendidikan yang tersusun untuk pertama kalinya.
Menurut kurikulum ini,
tujuan pendidikan nasional adalah : mempertinggi mental, moral, budi pekerti
dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan,
serta membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
B.
Gambaran
dan Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan di Indonesia dalam Perkembangan Sejarah
Berikut ini sekilas
diuraikan tentang gambaran dan ciri-ciri kurikulum pendidikan di Indonesia
sebagaimana dikemukakan oleh Azwar Abdullah (2007, 243-250).
1.
Kurikulum
1947
Kurikulum yang pertama
kali diberlakukan di sekolah Indonesia pada awal kemerdekaan ialah kurikulum
1947 yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan bangsa Indonesia. Penerbitan
UU No. 4 tahun 1950 merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang
pendidikan. Sekolah mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih
disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini
ciri-ciri Kurikulum 1947 : a) sifat kurikulum Separated Subject Curriculum
(1946-1947), b) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di
sekolah, c) jumlah mata pelajaran : Sekolah Rakyat (SR) – 16 bidang studi,
SMP-17 bidang studi dan SMA jurusan B-19 bidang studi, dan d) materi pendidikan
dan pengajaran : Mr. Soewandi.
2.
Kurikulum
1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan
peng-organisasian materi pelajaran dengan pengelompokan suatu pelajaran yang
berbeda, yang dilakukan secara korelasional (correlated subject curriculum),
yaitu mata pelajaran yang satu dikorelasikan dengan mata pelajaran yang lain,
walaupun batas demarkasi antar mata pelajaran masih terlihat jelas. Muatan
materi masing-masing mata pelajaran masih bersifat teoritis dan belum terikat
erat dengan keadaan nyata dalam lingkungan sekitar. Pengorganisasian mata
pelajaran secara korelasional itu berangsur-angsur mengarah kepada pendekatan
pelajaran yang sudah terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu pada
sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Berikut ciri-ciri kurikulum 1968 : a) sifat
kurikulum correlated subject, b) jumlah mata pelajaran SD-10 bidang studi,
SMP-18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan atas Bahasa Indonesia I dan
II), SMA jurusan A-18 bidang studi, c) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II,
dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu Sastra Sosial Budaya dan Ilmu
Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL), dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mashuri, SH (1968 – 1973).
3.
Kurikulum
1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang
studi dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan
diberikan tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai
satuan bahasan yang memiliki tujuan instruksional khusus. Dalam proses
pembelajaran, guru harus berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat
dicapai oleh peserta didik, setelah mata pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan
oleh guru. Metode penyampaian satun bahasa ini disebut prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang
berupa rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Berikut ini ciri-ciri kurikulum
1975 : a) sifat kurikulum Integrated Curriculum Organization, b)
jumlah mata pelajaran berdasarkan tingkatan SD mempunyai struktur program, yang
terdiri atas 9 bidang studi termasuk mata pelajaran PSPB, pelajaran ilmu alam
dan ilmu hayat digabung menjadi satu dengan nama Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur digabung menjadi satu dengan nama
Matematika. JUmlah mata pelajaran di SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi, c)
penjurusan di SMA dibagi atas 3 yaitu : jurusan IPA, IPS dan Bahasa, penjurusan
dimulai di kelas I, pada permulaan semester II, dan d) Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Dr. Syarif Thayeb (1973-1978).
4.
Kurikulum
1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975. Asumsi yang mendasari penyempurnaan kurikulum
1975 ini adalah bahwa kurikulum merupakan wadah atau tempat proses belajar
mengajar berlangsung yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan
dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan
masyarakat. Berikut ciri-ciri kurikulum 1984 : a) sifat kurikulum content
based curriculum, b) program mata pelajaran mencakup 11 bidang studi, c)
jumlah mata pelajaran di SMP 11 bidang studi, d) jumlah mata pelajaran di
SMA-15 bidang studi untuk program inti dan 4 bidang studi untuk program
pilihan, e) penjurusan di SMA dibagi atas 5 (lima) jurusan, yaitu : program A1
(ilmu fisika), program A2 (ilmu biologi), program A3 (ilmu sosial), program A4
(ilmu budaya), program A5 (ilmu agama), f) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (1983-1985).
5.
Kurikulum
1994
Dengan mendasarkan
kepada seluruh proses penyusunan kurikulum pada ketentuan-ketentuan yuridis dan
akademis di atas, maka diharapkan kurikulum 1994 telah mampu menjembatani semua
kesenjangan yang terdapat dalam dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu
sepertinya tidak terwujud sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan
gencarnya keluhan pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan
kekurangan kurikulum 1994. Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai
berikut : a) sifat kurikulum objective based curriculum, b) nama
SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama),
c) mata pelajaran PSBP dan keterampilan ditiadakan, program pengajaran SD dan
SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran, nama SMA diganti SMU (Sekolah Menengah
Umum), d) program pengajaran di SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, e)
penjurusan di SMU dilakukan di kelas II, f) penjurusan dibagi atas tiga
jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, g) SMK memperkenalkan program
pendidikan sistem ganda (PSG) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah
Prof. Dr. Ing. Wadiman Djoyonegoro (1993-1998).
Aspek yang
dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah terlalu padat, sehingga sangat
membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya semangat belajar siswa,
sehingga mutu pendidikan pun semakin terpuruk. Akibatnya adalah siswa enggan
belajar lama di sekolah. Jika sejak awal siswa dicemaskan dengan mata pelajaran
yang menjadi momok di sekolah, maka mereka akan menjadi bosan dan kegiatan
belajar mengajar menjadi menyebalkan.
Selain itu, penetapan
target kurikulum 1994 dinilai dan dikecam berbagai pihak antara lain sebagai
dosa teramat besar dari departemen pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan
kemerosotan kualitas pendidikan secara berkesinambungan tanpa henti (Darmawan,
Suara Pembaharuan, 2002) bahwa adanya target kurikulum telah menjadi salah satu
factor pemicu untuk penggantian kurikulum baru. Kurikulum 1994 yang padat
dengan beban yang telah menghambat diberlakukannya paradigma baru pendidikan
dari siswa kepada guru, yang menuntut banyak waktu untuk menyampaikan pandangan
dalam rangka pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang padat juga melanggengkan
konsep pengajaran satu arah, dari guru murid, karena apabila murid diberikan
kebebasan mengajukan pendapat, maka diperlukan banyak waktu, sehingga target
kurikulum sulit untuk tercapai.
Kesan umum dari
kurikulum 1994 pada tingkat SMU, adalah jenjang sekolah ini memberikan tekanan
kuat, pada upaya mengarahkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Praktis tidak ada ruang yang secara langsung dimaksudkan untuk
menyiapkan siswa memasuki dunia kerja, antara lain tampak dari tiadanya jam
muatan lokal, dan dihapuskannya mata pelajaran keterampilan. Hal ini tampaknya
berlandaskan pada isyarat pasal 3 ayat (1) PP No. 29 / 1990. yang menyatakan,
“Pendidikan menengah umum mengutamakan persiapan siswa untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.”
Memang, secara ideal
itu sah-sah saja. Tapi dalam kenyataannya, tidak semua lulusan SMU setiap tahun
yang mengikuti UMPTN dapat diterima, hanya sekitar 10 % saja yang lolos.
Sebagian, lulusan SMU memang ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi
itu hanya ada separuhnya. Selebihnya mengambil kursus atau terjun langsung ke
masyarakat dan mencari kerja. Padahal mereka tidak disiapkan untuk itu, kecuali
dengan bekal yang diperolehnya dari materi program pengajaran umum dan khusus.
Jadi, mereka dihadapkan pada situasi antara berenang dan tenggelam (Dedi Supriadi,
1997).
6.
Kurikulum
2004
Harapan masyarakat terhadap kurikulum
pendidikan di Indonesia, pada hakikatnya adalah adanya komunikasi dua arah yang
memungkinkan kegiatan belajar mengajar menjadi interaktif dan menyenangkan,
baik bagi siswa maupun bagi guru. Belajar menyenangkan itulah sebenarnya konsep
pendidikan yang dapat membawa peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi
akademik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah
yang seharusnya diakomodasi di dalam penyusunan kurikulum.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya
berlaku sampai tahun 2006 di sekolah-sekolah pada dasarnya adalah merupakan
gagasan dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar (KBKD) yang pernah
diperkenalkan oleh Boediono dan Ella (1999), yang memfokuskan pada wujud
pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat
rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai
oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya
pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Berikut ini ciri-ciri
kurikulum 2004 (KBK) : a) sifat kurikulum Competency Based Curriculum,
b) penyebutan SLTP menjadi SMP, c) penyebutan SMU menjadi SMA, d) program
pengajaran di SD disusun dalam 7 mata pelajaran, e) program pengajaran di SMP
disusun dalam 11 mata pelajaran, f) program pengajaran di SMA disusun dalam 17
mata pelajaran, g) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, h) penjurusan
dibagi atas 3 jurusan, yaitu : Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa, dan i)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. H. Abdul Malik Fajar (2001-2004).
Berhubung kurikulum 2004 yang memfokuskan
aspek kompetensi siswa, maka prinsip pembelajaran adalah berpusat pada siswa
dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan kemitraan, serta mengutamakan proses
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning atau
CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang
peranan penting adalah guru. Guru diibaratkan manusia dibalik senjata kosong
yang tidak berpeluru. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk
mengisi senjata itu dan membidiknya dengan cermat dan tepat mengenai sasaran.
Keberhasilan kurikulum lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kompetensi
guru. Oleh karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai “Potret
Pendidikan di Indonesia dan Peran Guru Swasta”, J. Drost (2002) menegaskan
bahwa materi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia
pada dasarnya sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas.
Inti dari KBK atau kurikulum 2004 adalah
terletak pada empat aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2)
pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4)
evaluasi dengan penilaian berbasis kelas.
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan
pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan
sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat
kompetensi, hasil belajar dan indikator dari TK (Taman Kanak-kanak) dan Raudhatul
Athfal (RA) sampai dengan kelas XII (kelas III SMA). Penilaian berbasis kelas
memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih
akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi
kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang
standar yang harus dan telah dicapai, serta peta kemajuan belajar siswa dan
pelaporan. Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan pokok tentang pembelajaran
dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan
pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga
kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola
ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum
council), pengembangan perangkat kurikulum, antara lain silabus, pembinaan
professional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan
kurikulum berbasis sekolah diberikan kepada sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten
/ Kota, Dinas Pendidikan Provinsi dan Tingkat Pusat. Peran dan tanggung jawab
sekolah untuk meningkatkan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan
konsep KBK, menetapkan tahap dan administrasi KBK, menata ulang KBK penempatan
guru pada kelas secara optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana
sekolah, termasuk dalam melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk
pelaksanaan kurikulum secara bermutu (Puskur, Balitbang Depdikbud, 2002)
KBK dikembangkan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. Menekankan pada pencapaian kompetensi siswa
b. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam dan
disesuaikan dengan potensi siswa.
c. Berpusat pada siswa.
d. Berorientasi pada proses dan hasil.
e. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam
dan bersifat kontekstual
f. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan (siswa dapat belajar dari apa saja)
g. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber
belajar.
h. Belajar sepanjang hayat dengan bertumpu pada
empat pilar pendidikan kesejagatan:
§ belajar mengetahui (learning how to know)
§ belajar melakukan (learning how to do)
§ belajar menjadi diri sendiri (learning how
to be)
§ belajar hidup dalam keberagaman (learning
how to live together)
7.
Kurikulum
2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 atau
yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan
kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan yang berlaku dewasa ini di Indonesia. KTSP diberlakukan mulai
tahun ajaran 2006/2007 yang menggantikan kurikulum 2004 (KBK). Kurikulum ini
lahir seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem pendidikan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Salah satu perbedaan KTSP dibandingkan
dengan kurikulum yang pernah berlaku sebelumnya di Indonesia adalah terletak
pada sistem pengembangannya. Pengembangan kurikulum sebelum KTSP dilakukan
secara terpusat (sentralistik), sedangkan KTSP merupakan kurikulum operasional
yang dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan karakteristik dan
perbedaan daerah (desentralistik).
KTSP terdiri dari
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum,
kalender pendidikan, dan silabus. Secara substantive, pemberlakuan kurikulum
2006 merupakan implementasi regulasi yang telah dikeluarkan yaitu PP no 19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Akan tetapi, esensi isi dan
arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket
kompetensi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) dan bukan pada tuntas
tidaknya sebuah subject matter.
Dengan demikian,
kurikulum 2006 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik
secara individual, maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes)
dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsure edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Sebagai kurikulum
operasional di tingkat satuan pendidikan, KTSP memiliki peluang untuk
dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
b. Beragam dan terpadu.
c. Tanggap terhadap perkembangan Iptek .
d. Relevan dengan kebutuhan masa kini dan masa
datang.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
f. Belajar sepanjang hayat
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan
daerah.
Pada
hakikatnya KTSP merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang
dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah penentuan mata pelajaran
masing-masing bidang studi dengan penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru
itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat. Belum lagi soal kerepotan
dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya.
Dengan dasar
Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006
diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua
tahun.
Dalam pelaksanaannya
kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan
minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan
terutama sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum
sendiri. Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya
panduan KTSP yang disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum
2006 itu terkesan masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai
kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh
pemerintah.
Perbedaan mendasar
yang terdapat dalam kurikulum 2006 dibandingkan kurikulum sebelumnya adalah
kurikulum 2006 bersifat desentralistik artinya sekolah diberi kewenangan secara
penuh untuk menyusun rencana pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah
ditetapkan (SI dan SKL) mulai dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan
kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
Namun, kewenangan dan kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program
pendidikannya tetap harus disesuaikan dengan (1) Kondisi lingkungan sekolah,
(2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan
daerah. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan
terlibat secara aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program
pendidikannya.
a)
Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari
apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah
pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara
belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk
selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada awalnya
tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif, pemerintah
kemudian mengambil alih kendali seluruh praktik pendidikan. Pendidikan yang
tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali ke semangat deliberatif dan
sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai partner, tetapi sebagai
pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring dengan reformasi
pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang diotonomikan di daerah
di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari sebelumnya.Timbul banyak masalah,
mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) sekolah, sampai pada
pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga Honorer yang carut marut (Susanto dan
Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan kurikulum
1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik. Bahkan
ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan, bahwa
kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Kemudian
lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah menerbitkan
UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana lewat
sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984 kemudian
dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru 1994 yang
lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol ketimbang
berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pun
dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak kritik, baru
terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum baru 2004 atau
kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah kompetensi
yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30 Desember
2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah
pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan
kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman
Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima
Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan
pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan
kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat
tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset
terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungkan kelengkapan
sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah
apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur
dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan
tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek
pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang
dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya,
maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi
yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah
akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih
bersifat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang
membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari
2006).
b)
Bagaimana Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap mandiri dan
tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana mengubah kurikulum.
Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan merekayasa kurikulum sendiri
diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak didikte oleh kurikulum nasional,
yang dalam penerapannya mungkin saja sangat detail, tanpa mempertimbangkan
aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya masyarakat di daerah tempat sekolah
berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru dan murid harus yakin dengan
pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran untuk
menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut perlu
untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum dilakukan,
karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum (Suparno, Kompas
27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan kurikulum KBK,
mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang selama
ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan riset
yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk urusan uji
coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, apalagi
untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua
(Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para pengambil
keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan kebijakan yang
diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu perencanaan yang matang,
dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting untuk menjamin siswa, guru
dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut (Elin, Kompas, 24 Juli 2006).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjalanan pendidikan
dan kurikulumnya sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan
praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di
bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan yang seharusnya
tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang mendalam, telah
menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi ketertinggalan
bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya,
banyak kebijakan yang dilakukan sebagai kebijakan yang bersifat instant dan
tidak didasari atas pertimbangan pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu
dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus
memusatkan perhatian yang serius pada pembenahan infrastruktur persekolahan
yang banyak mengalami kerusakan, seperti gedung-gedung, sekolah yang telah
runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian serius juga harus dipusatkan pada
peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan dosen, pemberian akses kesempatan
belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa
dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah
tentang pelapukan terhadap praktik pendidikan dan kurikulumnya, harus segera
diperbaiki kembali dengan memfokuskan perhatian pada isi, visi, misi dan
orientasi pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan untuk semua rakyat
Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan
sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir
sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli
di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara
sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air
dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini
sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi
mimpi buruk bagi bangsa kita.
B.
Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan
pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada
lima hal yang perlu dilakukan suatu pergantian kurikulum atau pemberlakuan
kurikulum baru, yaitu : 1) sebelum kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh
Indonesia harus dibantu memahami isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh
karena itu, perlu sosialisasi yang sungguh merata di seluruh Indonesia.
Pemerintah tidak boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri,
atau mereka akan belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk
mempercepat sosialisasi, teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum
baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media
komunikasi, surat kabar, dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media
sosialisasi kurikulum yang baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di
seluruh pelosok Indonesia, 4) guru perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum
apapun secara bijak, sehingga tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari,
bahwa meskipun kurikulum nantinya tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka
telah terbantu dalam proses kegiatan belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu
bersikap cerdas untuk mengambil hal yang sungguh baik dan berguna dari
kurikulum KBK ataupun kurikulum lama, meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5)
sangat penting bagi guru untuk mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan
percaya diri. Sebab bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan
ujung tombak dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu
dan terkungkung oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment