Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai
mahluk sosial manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi secara lisan
maupun tulisan. Bahasa pertama diperoleh melalui proses alami dimulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat penutur bahasa.
Sedangkan bahasa kedua dan bahasa asing diperoleh melalui pendidikan formal,
khususnya lingkungan sekolah.
Dalam
pengajaran bahasa asing diantaranya bahasa Prancis, pembelajar diajarkan dan
diarahkan untuk menggunakan bahasa sasaran tersebut dalam berinteraksi baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan pembelajar yang lain ataupun
dengan pengajarnya. Maka dengan interaksi berbahasa itulah pembelajar
berkomunikasi untuk menyatakan pendapat, gagasan dan berkeinginan sesuai dengan
materi yang diperolehnya.Dengan demikian diharapkan pembelajar dapat
mempraktekan keterampilan berbahasa.
Komunikasi
merupakan hal yang paling dekat dengan kita.Komunikasi
dapat kita artikan berbagi informasi dan pengetahuan. Segala bentuk aktivitas
yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan menyampaikan pesan pada orang lain
merupakan tujuan komunikasi. Komunikasi seperti itu dilakukan saat manusia
berinteraksi dengan orang lain, salah satunya melalui bahasa lisan.
Bahasa
merupakan bentuk ekspresi verbal dalam berkomunikasi.Komunikasi bentuk verbal
ini salah satunya diwujudkan melalui berbicara.Berbicara merupakan ketrampilan
berbahasa yang sangat diperlukan untuk berkomunikasi.Hal ini karena komunikasi
hampir selalu berlangsung melalui berbicara.Berbicara merupakan kepandaian
manusia untuk mengeluarkan suara dan menyampaikan pendapat melalui pikirannya.
Tidak
bisa disangkal, berbicara adalah salah satu keahlian manusia yang sudah dilatih
sejak usia balita. Tapi, walaupun terus saja sepanjang hidupnya manusia
berbicara, dapat dibedakan antara orang yang “bisa” berbicara dan orang yang
“tidak bisa” berbicara. Bisa jadi suara dan kalimat yang muncul dari mulut kita
bukanlah sesuatu yang seharusnya atau bukan kalimat yang sopan untuk
dituturkan.
Bahasa
menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang
dapat diidentifikasikan dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang
lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan
pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang
sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi,
mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi. Oleh
karena itu dalam sebuah komunikasi yang efektif
bukan hanya dibutuhkan kejernihan pesan, tapi juga kesopanan, aspek yang
sering terlupakan oleh para penutur, seperti yang diungkapkan oleh Lakoff
(1973) kaidah awal dalam berbahasa lisan
adalah, ”buatlah perkataan anda jelas dan sopanlah”.
Fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat untuk melakukan sesuatu, meminta sesuatu, membuat
janji, melaporkan suatu berita, memberi salam, meminta maaf, melarang,
memberikan anjuran, mencari informasi dan mengundang seseorang di suatu acara
inilah yang disebut dengat tindak tutur. Tindak tutur ini merupakan bagian dari
suatu percakapan yang merupakan sesuatu hal yang kadang-kadang menimbulkan
suatu masalah baik bagi penutur maupun mitra tuturnya. Dan salah satu masalah yang terjadi adalah hal-hal
yang berhubungan dengan norma kesopanan.
Tuturan
adalah tindak tutur yang dilakukan seorang penutur kepada mitra tutur.Tindak
tutur merupakan bagian dari analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu yang mengkaji
bahasa dari aspek pemakai aktualnya.Pragmatik merupakan cabang dari ilmu
linguistik yang perhatian utamanya adalah bagaimana manusia mengartikan setiap
ujaran dan juga aspek kesantunan berbahasa.
Dalam
menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud
tertentu
sehingga tuturan tersebut disebut tindak tutur. Tindak tutur ada beberapa jenis
seperti yang diungkapkan Searle dalam Gunarwan (2007 :185) mengembangkan jenis
tuturan berdasarkan kategorinya menjadi 5 yaitu : representatif, direktif,
ekspresif, komisif, deklaratif. Setiap kategori tersebut mempunyai jenis
tuturan yang berbeda seperti dalam kategori tindak tutur direktif yang memiliki
jenis tuturan memaksa, mengajak, menyuruh, menolak, mendesak, memohon,
menyarankan, memerintah, meminta. Sedangkan untuk kategori ekspresif
memiliki jenis tindak tutur sebagai
berikut memuji, berterimakasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan
selamat, menolak, dll. Salah satu jenis tuturan yang sangat rentan akan
terjadinya kesenjangan dan kesalahpahaman antar individu adalah tindak tutur
menolak, sehingga dalam penggunaannya sangat dibutuhkan strategi kesopanan
berbahasa.
Tindak
tutur menolak termasuk ke dalam jenis tuturan direktif dan ekspresif.Pada
dasarnya menolak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Untuk itu diperlukan
kesopanan berbahasa agar penolakan dapat diterima oleh mitra tutur, dan tidak
terjadi kesalahpahaman dalam proses komunikasi. Misalnya: tuturan A”maaf saya
ingin sekali ikut tapi keadaan tidak memungkinkan” atau tuturan B ”saya tidak
bisa ikut, pergi saja sendiri”. Tuturan tersebut merupakan ungkapan penolakan
yang dituturkan oleh seseorang terhadap teman kantornya yang mengajaknya untuk
menghadiri sebuah undangan makan malam setelah jam kantor selesai. Tuturan A
dan B memiliki tujuan yang sama yaitu tidak bisa memenuhi keinginan dari lawan
tutur sehingga digunakan tindak tutur penolakan, tetapi penggunaan dari tuturan
A dianggap lebih sopan dibanding tuturan B karena penutur menolak dengan
meminta maaf dan menunjukan penyesalannya karena tidak dapat memenuhi apa yang
diminta oleh lawan tutur. Sedangkan pada
tuturan B, penutur menolak secara langsung tanpa mengutarakan alasannya,
tuturan ini dapat menimbulkan kesalahpahaman atau kesenjangan antara penutur dan
mitra tutur. Disinilah letak pentingnya pemahaman kesopanan berbahasa pada saat
melakukan tindak tutur penolakan dalam berkomunikasi.
Secara
teoritis, dalam memproduksi setiap tuturan semua orang harus berbahasa secara
santun.Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan
komunikasi dapat tercapai.Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan saat
menggunakan bahasa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah
linguistik maupun kaidah kesantunan berbahasa. Kaidah berbahasa secara
linguistik yang dimaksud antara lain digunakannya kaidah bunyi, bentuk kata,
struktur kalimat, tata makna secara benar agar komunikasi berjalan lancar.
Setidaknya, jika komunikasi secara tertib menggunakan kaidah linguistik, mitra
tutur akan mudah memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.
Tujuan
utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi.Oleh karena itu,
pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau
yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua
juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Karena inti dari teori-teori
kesantunan adalah kita mengubah bahasa kita berdasarkan siapakah mitra tutur
kita dan berdekatan dengan faktor-faktor seperti status sosial, usia, dan keakraban.
Berdasarkan
hal-hal yang telah disebutkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kesopanan berbahasa.Peneliti memilih tindak tutur menolak diantara
jenis-jenis tindak tutur lainya yang juga membutuhkan kesantunan berbahasa. Pemahaman
mahasiswa dalam menggunakan tindak tutur menolak secara sopan menjadi objek
penelitian ini karena dengan memahami kesantunan berbahasa setiap mahasiswa
tentu dapat mengembangkan kemampuan berbicara mereka agar bukan hanya baik secara gramatikal tetapi
juga diharapkan mereka dapat menggunakan aspek kesantunan berbahasa yang tepat,
sehingga tuturan yang diucapkan menjadi nyaman didengar oleh semua orang.
Sewajarnya bila setiap orang menyadari kepada siapa mereka berbicara dan
tuturan jenis apa yang harus digunakan pada situasi tutur yang beragam maka
komunikasi dapat berjalan secara efektif antara penutur dan mitra tutur.
B. Pembatasan Masalah
Dalam
penelitian ini, peneliti membatasi masalah yang akan diteliti yaitu Pemahaman
menggunakan tindak tutur menolak secara sopan pada mahasiswa tingkat II jurusan
bahasa Prancis, fakultas bahasa dan seni, Universitas Negeri Jakarta. Peneliti
ingin mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa tingkat II tentang kesantunan
berbahasa khususnya dalam tindak tutur menolak.Pemilihan mahasiswa tingkat II
karena peneliti menganggap kemampuan berbahasa Prancis mereka sudah cukup baik.
C.
Identifikasi Masalah
Berkaitan
dengan judul tersebut, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut
:
1. Bagaimanakah pemahaman mahasiswa
mengenai kesopanan berbahasa dalam tindak tutur menolak?
2. Jenis kesopanan apa saja yang akan
muncul dalam tindak tutur menolak?
D. Tujuan Penelitian
Secara
umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa
tingkat II dalam menggunakan tindak tutur menolak kepada mitra tutur yang
beragam secara sopan.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat
penelitian ini adalah sebagai informasi dan bahan acuan bagi mahasiswa dalam
menemukan jawaban dari fenomena kesantunan berbahasa yang sering kali terlupa.
Dan diharapkan penelitian ini berguna dalam membina kemampuan berbicara
mahasiswa bahasa perancis bukan hanya baik secara gramatikal tetapi juga
memperhatikan aspek kesantunan berbahasa. Selain itu hasil dari penelitian ini
juga diharapkan dapat dijadikan materi tambahan pada mata kuliah linguistik
khususnya dalam bidang pragmatik, cabang ilmu yang mempunyai perhatian besar terhadap kesantunan
berbahasa.
Bab
II
Tinjauan
Pustaka
A.
Landasan Teoritis
Dalam
penelitian ini dasar-dasar teori yang menghasilkan landasan berfikir adalah
teori-teori yang berkaitan dengan, pragmatik, batasan sosiolinguistik dan
pragmatik, kesopanan berbahasa, tindak tutur, kesantunan tindak tutur
penolakan, kekuasaan dan solidaritas. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing
teori tersebut :
A.1
Pragmatik
Pragmatik
mengalami perkembangan yang pesat dengan cakupan kajian yang luas di usianya
yang masih relatif muda. Tanpa mempelajari pragmatik, dan bahkan tanpa
mempelajari linguistik orang awam pun dapat mengatakan bahwa suatu ujaran
terdengar lebih santun dibanding ujaran yang lain. Namun, jika ia ditanya
mengapa demikian, belum tentu ia dapat menerangkannya dengan jelas. Oleh karena
itu ia perlu teori untuk menjelaskannya, dan teori yang membahas tentang
kesantunan berbahasa adalah teori pragmatik.
Istilah
pragmatik pertama kali dipakai oleh Morris pada tahun 1938, yang mula-mula
dipakai di dalam teori filsafat saja, sumbangan Morris kepada ilmu pragmatik
terbatas pada penciptaan istilah saja, namun demikian Morris dapat dikatakan
sebagai tokoh yang menanam bibit pragmatik.
Ada juga yang berpendapat bahwa ilmu pragmatik
adalah buah pikiran Austin yang tertuang dalam bukunya “How to do things with
words” yang sudah menjadi klasik. Sejak saat itu banyak bermunculan aliran
maupun pakar-pakar pragmatik yang mencoba membahas dan mengembangkan teori
pragmatik.
Garric et Calas
(2007:5) mendefinisikan pragmatik sebagai l’étude de l’usage de la langue comme
pratique énonciative intersubjective contextuellement situeé et doteé d’un
pouvoir de faire. Pragmatik adalah sebuah kajian mengenai penggunaan suatu
bahasa yang berdasarkan pada penerapan tuturan yang sesuai dengan konteks.
Definisi
lain mengenai pragmatik oleh Parker dalam Nadar (2009 :4) mengatakan bahwa pragmatic is the study of how language is
used for communication, (kajian tentang bagaimana bahasa digunakan untuk
berkomunikasi) dan menegaskan bahwa pragmatik tidak menelaah struktur bahasa
secara internal seperti tata bahasa, melainkan secara eksternal. Pernyataan
dari Parker tersebut didukung oleh Wijana dalam Nadar (2009 :4) yang
mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal, yaitu mengenai bagaimana penggunaan satuan
kebahasaan di dalam peristiwa komunikasi. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat dikatakan bahwa makna yang dikaji ilmu pragmatik merupakan makna yang
terikat konteks atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur dalam peristiwa
komunikasi. Lebih dalam lagi Yule (1996
: 1) berpendapat bahwa pragmatics is concerned with the study of meaning as
communicated by a speaker or writer and interpreted by a listener or reader.
Gunarwan (2007:2) berpendapat pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa,
yaitu bagaimana bahasa digunakan oleh penutur bahasa itu di dalam situasi
interaksi yang sebenarnya, bukan di dalam situasi yang diabstrakkan, yang
direka-reka oleh para linguis.
Menurut
Leech (1993:8), pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan
situasi-situasi ujar ‘Speech situations ‘, artinya pragmatik merupakan studi
yang mengkaji kesesuaian bahasa atau tindak tutur dalam situasi percakapan
tertentu atau untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh , seorang sekretaris negara
memberikan suatu penjelasan mengenai rancangan anggaran belanja negara kepada
wartawan, tentu hal ini menjadi berbeda ketika ia harus menjelaskannya kepada
seorang presiden sebagai kepala negara, informasi yang disampaikan harus
bersifat formal.
Secara
singkat pragmatik berkaitan dengan bagaimana masyarakat tutur menggunakan
bahasa mereka, bagaimana suatu tindak tutur diungkapkan dalam suatu peristiwa
tutur, yakni apakah secara langsung atau tidak, strategi bertutur yang mana
yang dipilih. Dengan demikian penggunaan bahasa dapat dikatakan diatur oleh
kondisi pragmatik, yaitu apa maksud penutur, apa motivasi yang memicu maksud
itu, kepada siapa dia bertutur, dimana, tentang apa, dst.
Bagan
1
Ruang
Lingkup Pragmatik
Bagan
tersebut merupakan ruang lingkup dari pragmatik yaitu, deiksis berhubungan
dengan referensi atau penunjukan kepada sesuatu yang ada dalam teks, baik yang
sudah disebut maupun yang akan disebut dan penunjukan terhadap sesuatu yang
diluar kalimat atau teks. Praanggapan berhubungan dengan adanya makna yang
tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat, tindak ujaran
berhubungan dengan adanya keinginan untuk menindakan sesuatu dari pembicara
atau penulis melalui kalimat yang diucapkan atau ditulisnya.Implikatur
percakapan berarti sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan.
Yang
sering dilupakan orang adalah pragmatik itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Leech 1993 :16). Singkatnya yang pertama
itu berkaitan dengan tata bahasa, yang kedua itu berkaitan dengan
sosiologi.Pragmalinguistik mengacu pada apakah bentuk ujaran yang dipakai
seseorang sesuai dengan tata bahasa dalam suatu bahasa.Sosiopragmatik mengacu
pada apakah suatu ujaran diungkapkan sesuai dengan situasinya, menurut
ketentuan sosiokultural. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan dibawah
ini
Bagan 2
Cabang
Ilmu Pragmatik
A.2
Batasan pragmatik dan Sosiolingusitik
Meskipun
sosiolinguistik dan pragmatik memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, agaknya
tidak dapat dipungkiri bahwa kedua paham linguistik ini memandang konteks
sebagai bagian bahasa yang penting.Hanya saja jenis
konteks yang menjadi pijakan berbeda-beda.
Menurut Bachmann
(1981:30) la tâche essentielle de sociolinguistique est d’effectuer une
description systématique entre structure linguistique et structure social. Jadi
tugas utama dari sosiolinguistik adalah menggambarkan atau mendeskripsikan
secara sistimatis antara stuktur-struktur linguistik dan struktur sosial.
Menurut
pandangan sosiolinguistik struktur masyarakat yang mempengaruhi bahasa selalu bersifat heterogen tidak pernah
homogen. Adapun struktur masyarakat di sini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti siapa yang berbicara (who speaks), dengan siapa (with whom), di mana
(where), kapan (when), dan untuk apa (to what end) kesemua ini dinamakan
variasi bahasa menurut Wijaya (2006 :5).
Kendati pun
berbagai jenis variasi bahasa yang berlatar belakang konteks sosial dan
hubungan struktur kemasyarakatan dengan wujud bahasa dapat dijelaskan oleh
sosiolinguistik, tetapi berbagai maksud yang terkandung dalam tuturan seseorang
masih sering luput atau diluar kemampuan sosiolinguistik untuk menerangkannya.
Misalnya dalam sosiolingustik seseorang yang memiliki status sosial yang lebih
rendah akan memberikan jenis tuturan yang tinggi kepada mitra tuturnya yang
memiliki status sosial lebih tinggi.
Apakah hal ini
selalu terjadi? Apakah tidak mungkin terjadi penyimpangan?. Bila diamati secara
seksama ternyata kemungkinan untuk terjadi penyimpangan sangat besar. Hal-hal
seperti itu dan berbagai tindak tutur bersama validitasnya, presuposisi dan
implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan sebagainya diluar kemampuan
sosiolinguistik untuk membicarakannya. Masalah-masalah ini kemudian ditampung
ke dalam bidang pragmatik, oleh karena itu sosiolinguistik dan pragmatik masih
memilki keterkaitan satu dengan yang lain dalam kajian teori dan analisisnya secara
kontekstual.
Menurut Wijaya
(2006:7) sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan
kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat,
karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu
melainkan sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang
dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi sosialnya.
A.3 Tindak Tutur
Parler c’est
sans doute échanger des informations, mais aussi effectuer un acte, régi par
des régles précis... : corrélativement, comprendre un énoncé, c’est identifier,
outre son contenu informationnel, sa visée pragmatique, c’est a dire sa valeur
et sa force illoucutoires (Orecchioni 1980 :185)
Dari pernyatan
di atas tidak disangkal lagi berbicara merupakan sebuah proses pertukaran
informasi, ketika berbicara setiap individu mengeluarkan ujaran (tuturan). Tuturan adalah tindak tutur yang dilakukan seorang
penutur terhadap mitra tutur.Memahami sebuah ujaran adalah mengidentifikasi
nya, karena setiap ujaran memiliki maksud dan fungsi yang berbeda-beda.
Konsep
mengenai tindak ujaran atau tindak tutur (speech acts) mulai dipikirkan oleh
guru besar universitas Oxford, John L.Austin pada ceramahnya di universitas Harvard
pada tahun 1995. Ceramah ini kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul
“How to do things with words” pada tahun 1962, setelah ia meninggal, karyanya
kemudian dilanjutkan oleh salah satu mahasiswa Amerikanya J.R Searle yang
kemudian menerbitkan buku “speech acts”.
Tindak
tutur merupakan salah satu bidang kajian dalam pragmatik. Tindak tutur ialah
melakukan tindak tertentu melalui kata dalam Sukamto (2003:172) , misalnya
memohon sesuatu, menolak (tawaran, permohonan), berterima kasih, memberi salam,
memuji, meminta maaf, mengeluh, dll. Searle dikutip dari Schriffrin (2007:70)
menyatakan bahwa tindak tutur adalah unit dasar dari sebuah komunikasi.Menurut
Ducrot dalam Récanati (1979 :21) celle de l’énoncé, c’est à dire l’ensemble les
actes de langages que le locuteur prétend accomplir au moyen de son
énonciation.
Dalam
menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud
tertentu
sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan
bermacam-macam
maksud yang dikomunikasikan, Leech (1993 :19-20) berpendapat bahwa tindak tutur
terikat oleh situasi tutur yang mencakup penutur dan mitra tutur, konteks
tuturan, dan tujuan tuturan.
1. Penutur dan mitra tutur
Penutur adalah
orang yang bertutur, sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran
atau kawan penutur. Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih
berganti, penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu
pula sebaliknya hingga terwujud interaksi dalam komunikasi. Aspek-aspek yang
terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut antara lain aspek usia, latar
belakang sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban.
2. Konteks tuturan
Pada hakikatnya
konteks dalam pragmatik merupakan semua latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang dipahami bersama antara penutur dengan mitra tuturnya. Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Konteks
ini didefinisikan oleh Leech dalam Nadar (2009:6) sebagai background knowledge
assumed to be shared by a speaker or hearer and which contibutes to hearer
interpretation of what speaker means by a given utterance. Yaitu latar belakang
pemahaman yang dimiliki oleh penutur atau lawan tutur dapat membuat
interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan
tertentu. Dengan demikian konteks adalah hal-hal yang berhubungan dengan
lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan
yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur, dan yang membantu lawan
tutur menafsirkan makna tuturan.
3. Tujuan Tuturan
Tujuan
tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan
bertutur. Menurut Mitterand (1991:101) ”L’acte
réussit si l’objectif est réalisé et il échoue dans le cas contraire”, jadi
sebuah tuturan dikatakan berhasil apabila tujuannya dapat tersampaikan dengan
baik. Semua tuturan memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada
tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur selalu
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan.Dalam hubungan tersebut, bentuk
tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud dan
sebaliknya satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.
Menurut
Austin dalam Garic et Callas (2007:88) dengan mengujarkan kata-kata kita juga
melakukan suatu tindakan. Tindakan dengan menggunakan kata-kata itu atau
tuturan ini ia sebut (speech acts) yang ia bedakan menjadi tiga yaitu l’acte locutoire, l’acte illocutoire, dan
l’acte perlocutoire.
1. L’acte locutoire (tindak lokusi)
L’acte locutoire est accompli par le fait de
produire un énoncé et se rapporte à l’activité linguistique du locuteur. Tindak
tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu atau mengacu pada
tindakan mengucapkan ujaran yang secara sistimatis mempunyai makna. Tindak tutur ini sering disebut sebagai the act of
saying something, sebagai contoh tindak lokusi adalah : Nous vous souhaitons un
bon success (kami mengharapkan kesuksesan untuk kalian)
2. L’acte illocutoire (tindak ilokusi)
L’acte illocutoire est accompli en disant
quelque chose et constitue l’acte de langage à proprement parle. Tindak tutur
ilokusi adalah tindak tutur yang bertujuan untuk menginformasikan sesuatu hal
kepada mitra tutur dan dipergunakan untuk
melakukan sesuatu. Tindak
tutur ini disebut juga the act of doing something.Prinsip dari tindak ilokusi
adalah sebuah tuturan selain dipergunakan untuk menginformasikan sesuatu dapat
juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu, jadi ilokusi memandang suatu kalimat
sebagai tindakan bahasa.Contoh : Je vais
l'informer tout de suite.
3. L’acte perlocutoire (tindak perlokusi)
L’acte perlocutoire est accompli par le fait
de dire quelque chose et relève des effets produits par cet acte. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering
kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang
mendengarkannya.Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun
tidak disengaja oleh penuturnya.Tindak perlokusi disebut sebagai the act of
affecting someone.Contoh : hier, mon père est malade. Jika diucapkan oleh
seseorang yang tidak bisa menghadiri undangan temannya karena kemarin ayahnya
sakit maka perlokusinya adalah untuk meminta maaf.
Searle
pun turut berperan dalam mengembangkan teori tindak tutur. Searle dalam Garric
et Callas (2007:90) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima yaitu les
représentatifs, les directifs, les expresifs, les promissifs, les declaratives,
hal ini dikarenakan tindak ilokusi merupakan tindak terpenting dalam kajian dan
pemahaman tindak tutur, hal ini juga didukung oleh Maingueneau (1990 :13)
La théorie des
actes des langages affirme que tout énoncé recèle une dimension illocutoire, par
exemple , un imperatif pour donner un ordre, on ne dit pas dans l’énoncé que
c’est un ordre mais on le montre en le disant. Jadi setiap tuturan memiliki
aspek ilokusi, misalnya ketika memerintah seseorang kita tidak mengatakannya
langsung dalam ujaran tetapi dengan cara menunjukannya melalui ujaran yang kita
ucapkan secara implisit. Pembagian tindak ilokusi tersebut oleh Searle adalah
sebagai berikut :
Les représentatifs, c’est permettent au
locuteur de s’engager sur la vérité du contenu propositionel exprimé, de
l’affirmer, de le nier ou de le garantir. Yaitu tindak tutur yang mengikat
penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakan, Tuturan yang termasuk ke
dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan annoncer, exiger, avouer,
témoigner.
Les directifs,
c’est visent à faire faire quelque chose à l’interlocuteur don’t l’etat se
trouve modifié. yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar
si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang
termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain demander, conseiller,
refuser, suggérer, réclamer, ordonner.
Les expresifs,
communiquent une information sur l’état psycologique du locuteur en fonction du
contenu exprimé yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran itu
antara lain tuturan remercier, refuser, critiquer, feliciter, se plaindre.
Les promissifs,
par lesquels le locuteur s’engage vis-à -vis de son interlocuteur à faire
quelque chose, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
apa yang disebutkan dalam ujaran. Misalnya promettre, jurer, menacer.
Les
declaratives, correspondent aux verbes performatifs, yaitu tindak tutur yang
dilakukan si penutur dengan maksud menciptakan hal (status, keadaan, dan
sebagainya) yang baru dan berhubungan dengan tindak tutur performatif.
Misalnya interdire, permettre, decider,
pardoner, annuler. interdire, permettre, decider, pardoner, annuler.
Satu lagi
sumbangan Austin kepada perkembangan pragmatik. Ini berdasarkan pendapat bahwa,
orang mengunakan bahasa tidak hanya untuk mendeskripsikan sesuatu, tetapi juga
untuk melakukan suatu tindakan, oleh karena itu Austin membagi tindak tutur
menjadi dua yaitu konstantif dan performatif.
Untuk ujaran
yang pengungkapannya bertujuan untuk mendeskripsikan sesuatu, Austin dalam
Gunarwan (2007:224-225) menggunakan istilah konstantif, dan untuk ujaran yang
pengungkapannya bertujuan untuk melakukan (perform) sesuatu, ia menggunakan istilah
performatif , ia menjelaskan perbedaan kedua jenis tuturan tersebut sebagai
berikut :
Perbedaan
kedua jenis ujaran tersebut ditentukan oleh persyaratan masing-masing. Ujaran
konstantif tunduk pada persyaratan
kebenaran (truth condition), benar atau tidaknya ujaran itu dapat diketahui
dengan menceknya pada kenyataan. Sebaliknya, ujaran performatif tunduk kepada
persyaratan “kesahihan” (felicity condition).
Dalam
bahasa perancis tuturan konstantif dapat dicontohkan : « Nicolas Sarkozy est le
president de la republique france » bila kita melihat pada kenyataan bahwa
Nicolas Sarkozy memang benar saat ini merupakan presiden perancis, sehingga
tuturan tersebut adalah tuturan konstantif karena mengandung kebenaran (truth
condition).
Tuturan
performatif dapat dilihat dari kalimat, « excusez moi parce-que j’arrive en
rêtard » tuturan tersebut merupakan tuturan performatif, karena selain sebagai
tindak bertutur namun juga memiliki kegunaan untuk memohon maaf kepada mitra
tutur karena telah datang terlambat, yang dalam tuturan tersebut ada kegiatan
yaitu meminta maaf
Untuk dapat
lebih memahami perbedaan antara tuturan konstantif dan performatif perhatikan
tuturan a dan b berikut.
a. Ce cycliste n’a pas respecté le feu
tricolore
b. Le temoin a juré que ce cycliste n’a
pas respecté le feu tricolore.
Tuturan a hanya
berbentuk sebuah pernyataan yang berdasarkan pada apa yang terjadi, yaitu
pengendara sepeda itu tidak mematuhi lampu merah. Sedangkan pada tuturan b
ditemukan adanya act atau tindakan yaitu bersaksi, karena dalam tuturan b bukan
hanya menyatakan sebuah fakta tapi juga disertai dengan tindakan bersaksi dari
seorang saksi yang melihat pengendara sepeda yang tidak mematuhi lampu merah.
Pembedaan antara
konstantif dan performatif tidak bertahan lama, Austin dalam Leech (1993:280)
berkesimpulan bahwa semua tuturan adalah performatif dalam arti bahwa semua
tuturan merupakan sebuah bentuk tindakan dan tidak sekedar mengatakan sesuatu
tentang dunia.
Selain perlunya
pemahaman syarat-syarat tertentu agar tuturan dapat valid, perlu juga dipahami
bahwa tuturan dapat berbentuk langsung dan tidak langsung. Untuk itu selain
kelima tindak tutur di atas Searle juga mengklasifikasikan jenis tindak tutur
menjadi dua yaitu tindak tutur langsung (selanjutnya L), dan tindak tutur tidak
langsung (selanjutnya TL). Di dalam praktik penggunaan bahasa, ada kalanya kita
mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran kita secara tidak langsung.
Secara umum
tindak tutur langsung adalah tuturan yang digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya,
yaitu bahwa kalimat tanya digunakan
untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu
dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, atau
permohonan.
Tindak
tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang dilaksanakan dengan menggunakan
bentuk tindak tutur lain. Searle dalam Schiffrin (2007:77) menyatakan bahwa
bagaimana kita menggunakan lebih dari satu hal dengan kalimat kita adalah
bagian penting dari TL. Jadi menurut teori ini TL dinyatakan sebagai suatu
perkataan dimana satu tindakan dilakukan dengan cara penggunaan tindakan
lainnya. Hal yang perlu diingat adalah TL yang dibahas dalam Pragmatik
didasarkan pada unsur kesengajaan dari penuturnya.
Strategi
L dan TL dapat dikaitkan dengan kesantunan berbahasa, semakin tidak langsung
maka semakin santunlah ujaran itu.Menurut Dascal dalam Gunarwan (2007:226) TL
itu costly and risky.Ia mahal karena memerlukan waktu lebih lama bagi penutur
untuk memprosesnya, TL itu riskan karena mengandung resiko yakni dapat
disalahartikan oleh mitra tutur.
Untuk
dapat lebih memahami perbedaan dalam L dan TL, dapat dilihat dari contoh di
bawah ini, yang dikutip dari Stelle dan Chamberlaine (1991 :54)
a. Madame, vous ne pourriez pas baisser le
son de votre television, s’il vous plait? (TL)
b. Madame, baissez–vous le son de votre
television.(L)
Walaupun kedua
kalimat tersebut mudah dipahami dan tergolong kepada bentuk tuturan direktif,
tapi bila dilihat lebih seksama kedua tuturan tersebut memang memiliki fungsi
yang sama yaitu menyuruh mitra tutur untuk mengecilkan suara televisinya,
tetapi maksud atau tujuan ujarannya berbeda. Kalimat pertama berbentuk
pertanyaan yang berfungsi untuk menyarankan, dan yang kedua berbentuk
pernyataan yang lebih berfungsi untuk menyuruh. Sudah jelaslah bahwa walaupun
maksud tuturan sama tapi ketika cara penyampaiannya berbeda maka sangat mungkin
terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman di sini kemungkinan dapat terjadi pada
contoh tuturan A karena ketidaklangsungan dari tuturan itu sendiri.
Secara garis
besar teori tindak tutur dikembangkan oleh dua pakar pragmatik yaitu Austin dan
Searle dengan batasan dan ruang lingkup mereka masing-masing, bila disimpulkan
maka ruang lingkup Austin dan Searle tersebut adalah sebagai berikut,
Bagan
3
Ruang
lingkup tindak tutur
A.4
Kesopanan Berbahasa
Bahasa
memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi. Komunikasi melalui bahasa
dilakukan dalam berinteraksi dengan orang lain. Salah satu bentuk komunikasi
ini adalah berbicara.Kegiatan berbicara berfungsi untuk menyampaikan ide,
gagasan, pendapat, keinginan, perasaan, maupun untuk menjalin hubungan dengan
mitra bicara.
Ketika
berbicara kita tidak hanya menyampakain pikiran tetapi juga menjaga hubungan
sosial yang baik antar sesama individu. Seperti
yang disampaikan oleh Austin dalam Récanarti (1979: 10), en énoncant
seriusement une phrase dans une situation de communication, un locuteur
accomplit un certain type d’acte social, défini
par la relation qui s’établit, au moyen de l’enonciation, entre locuteur
et l’auditeur.
Menurut Henry
Guntur Tarigan (1990:15) berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan
pikiran, gagasan, perasaan. Tujuan utama dari berbicara adalah untuk
berkomunikasi. Komunikasi lisan ini berkaitan dengan tujuan sosial seseorang
untuk menjalin hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya, hal ini dapat
diwujudkan dengan santun berbahasa.
Menurut
Orecchioni (2002), La politesse concerne, en somme, tous les aspects de
discours qui sont régis par des règles, et dont la fonction est de préserver le
caractère harmonieux de la relation interpersonnelle. Jadi, kesopanan mencakup
semua aspek dari percakapan yang ditentukan oleh peraturan-peraturan yang
berfungsi menjaga hubungan baik yang
selaras antar pribadi.
Kesantunan
berbahasa khususnya dalam berbahasa lisan diwujudkan melalui ujaran yang baik
dan santun. Kesantunan ini menunjukan bahwa penutur menghargai dan menghormati
mitra tuturnya untuk itu diperlukan kesantunan dalam berbahasa lisan agar
komunikasi dapat berjalan baik dan lancar. Untuk dapat menilai kesantunan
tuturan seseorang diperlukan skala pengukur peringkat kesantunan, agar kita
dapat menilai santun atau tidaknya ujaran penutur saat melakukan peristiwa
pertuturan dengan mitra tuturnya.
Lakoff
dalam Watts (2003 :50) berpendapat bahwa politeness is developed by societies
in order to reduce friction in personal interaction, Leech dalam Watts
(2003:50) menyatakan politeness is “strategic conflict avoidance” which can be
measured in term of the degree of effort put into the avoidance of conflict
situation and the establishement and maintenance of comity. Kedua pakar
pragmatik ini berpendapat bahwa kesopanan merupakan cara untuk mengurangi
ketidaksenangan lawan tutur, serta meminimalisir ketidaksetujuan, agar dapat
menghindari konflik dalam peristiwa pertuturan.
Sedikitnya
terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai saat ini
banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga macam
skala itu adalah (a) skala kesantunan menurut Leech, (b) skala kesantunan
menurut Brown and Levinson, dan (c) skala kesantunan menurut Robin Lakoff.
Untuk dapat memahami dan mengetahui perbedaan skala kesantunan dari ketiga
pakar tersebut maka dibawah ini akan dibahas satu per satu.
A.4.1Skala Kesantunan Menurut Leech
dalam Rahardi (2008:66-68)
Menurut
Leech (1983) terdapat lima macam skala pengukur kesantunan yaitu :
1. Cost-benefit scale atau skala kerugian
dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan
tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu
menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan
itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin
menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan
itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur
akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
2. Optionality scale atau skala pilihan,
menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si
penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak atau
leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur
dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun.
3. Indirectness scale atau skala
ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya
maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap
semakin tidak santunlah tutur tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung
maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
4. Authority scale atau skala keotoritasan
menunjuk kepada hubungan status sosial antar penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating)
antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin
santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara
keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur.
5. Social distance scale atau jarak sosial
menunjuk pada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak
peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara
penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan.
Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur
sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
A.4.2
Skala kesantunan Menurut Brown and Levinson dalam Rahardi (2008:68-70)
Berbeda
dengan yang disampaikan Leech (1983) di atas, didalam model kesantunan Brown
and Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat
kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual,
sosial, dan cultural.Berikut uraian dari setiap skala tersebut satu demi satu.
1. Skala peringkat jarak sosial antara
penutur dan mitra tutur (social distance
between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,
jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan perbedaan
umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur
seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi.
Sebaliknya, orang yang masih berusia muda lazimnya cenderung memiliki peringkat
kesantunan yang rendah di dalam kegiatan bertutur.Orang yang berjenis kelamin
wanita, lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan
orang yang berjenis kelamin pria.Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa
kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai
estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari
hal-hal itu karena ia banyak berkenaan dengan kerja pemakaian logika dalam
kegiatan keseharian hidupnya. Latar belakang sosio kultural seseorang memiliki
peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang
dimilikinya.Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat, cenderung
memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan
orang, seperti misalnya petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu
rumah tangga. Demikian pula orang-orang kota cenderung memiliki peringkat
kesantunan lebih tinggi dibanding masyarakat desa.
2. Skala peringkat status sosial antara
penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali
disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan
asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh seorang dosen memiliki
peringkat kekuasaan lebih tinggi dibangingkan dengan seorang mahasiswa.
3. Skala peringkat tindak tutur atau
sering pula disebut dengan rank rating atau selengkapnya the degree of
imposition associated with the required expenditure of goods or services
didasarkan pada kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan tindak tutur
lainnya. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah
seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan
sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang
berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun demikian hal yang sama akan dianggap
sangat wajar dalam situasi yang berbeda.
A.4.3
Skala Kesantunan Menurut Robin Lakoff dalam Rahardi (2008:70)
Robin
Lakoff (1973) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di
dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan tersebut secara berturut-turut dapat
disebutkan sebagai berikut :
1. Didalam skala kesantunan yang pertama,
yakni skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta
tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang
digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Didalam
kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga
keformalitasannya dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya
antara yang satu dengan yang lain.
2. Skala yang kedua yakni skala
ketidaktegasan ( hestitancy scale) atau seringkali disebut skala pilihan
(optionality scale) menunjukan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling
merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus
diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu
tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak
santun.
3. Skala kesantunan yang ketiga, yakni
peringkat kesekawanan atau kesamaan (equality scale) menunjukan bahwa agar
dapat bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan
persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Agar tercapai maksud
yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat .
Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa
kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat
tercapai.
Dengan melihat ketiga teori para
pakar pragmatik di atas dan mengacu kepada
pertimbangan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, untuk apa,
dan bagaimana yang berdasarkan kepada hubungan diantara para peserta komunikasi
itu. Yakni apakah si penutur lebih senior dalam arti lebih berkuasa, status
atau pangkatnya, atau apakah hubungan mereka sudah akrab atau belum dan juga
apakah si penutur lebih tua atau lebih muda daripada mitra tuturnya, maka
penelitian ini berlandaskan teori kesantunan Geoffrey Leech.
Sampai saat ini teori kesantunan
Leech dianggap paling lengkap, paling mapan, dan paling komprehensif, oleh
karena itu penelitian ini berlandaskan teori kesantunan Leech dibanding dengan
pakar-pakar pragmatik lain yaitu Brown dan Levinson atau Lakoff yang juga
membahas teori kesantunan berbahasa.
Secara
umum konsep kesantunan Leech berkaitan dengan penghindaran konflik, yang
dibuktikan oleh berbagai spesifikasi maksim-maksim tersebut, sekaligus oleh
pernyataanya bahwa kesantunan diarahkan untuk menetapkan sikap hormat (Eelen
2006:11)
Leech menciptakan teori kesantunan berbahasa
dengan pertimbangan bahwa di dalam proses komunikasi tidak hanya dibutuhkan
prinsip kerjasama (yang paling terkenal adalah prinsip kerjasama Grice), yang
berasaskan bahwa dalam berkomunikasi terdapat pertukaran informasi antara
penutur dan lawan tutur sehingga dibutuhkan kerjasama agar informasi dapat
saling tersampaikan dengan baik. Menurut Eelen (2001:24) Leech menghubungkan
kesantunan dengan penghindaran gangguan dan memelihara keseimbangan sosial dan
hubungan-hubungan yang ramah, Leech berasumsi bahwa dalam berkomunikasi penutur
dan lawan tutur juga wajib menjaga hubungan baik sehingga tercipta suasana yang
harmonis, oleh karena itu Leech merasa prinsip kesopanan juga dibutuhkan dalam
proses komunikasi.
Prinsip kesopanan Leech terdiri dari
6 maksim dalam Leech (1993:206-207), yaitu:
1. Maksim Kearifan (tact maxim)
a) Buatlah kerugian orang lain sekecil
mungkin
b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar
mungkin.
Contoh
:
Kurang santun
Merugikan
Bersihkan toilet saya
Cuci
gelasnya
Ambilkan
garam itu
Beristirahatlah
Dengarkan lagu kesukaanmu
Lebih santun Minum
kopinya
Menguntungkan
2. Maksim Kedermawanan (generosity maxim)
a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil
mungkin
b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar
mungkin.
Contoh:
berdasarkan maksim ini ujaran Biar saya yang mencuci piring lebih santun
daripada, Anda yang mencuci piring, nanti saya bantu.
3. Maksim Pujian (approbation maxim)
a) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin
b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin
Contoh
: ujaran Makalahmu perlu diperbaiki terdengar lebih santun dibanding Makalahmu
mengecewakan.
4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim)
a) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin
Titik tolak dari
maksim ini adalah bahwa memuji diri sendiri itu pada dasarnya tidak santun.
Contoh : jawaban Tentu saja atas pujian Kamu cantik, deh terdengar kurang
santun dibanding Ya.
5. Maksim Kesepakatan (agreement maxim)
a) Usahakan agar ketaksepakatan antara
diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin.
b) Usahakan agar kesepakatan antara orang
lain dan diri sendiri terjadi sebanyak mungkin.
Contoh : ujaran,
Saya setuju dengan keputusan bapak, tetapi barangkali hal ini perlu
dipertimbangkan mengapa hal itu bisa terjadi terdengar lebih santun dibanding
Saya tidak setuju sama sekali dengan keputusan bapak, hal itu harus ditinjau
kembali.
6. Maksim Simpati (sympathy maxim)
a) Kurangilah rasa antipati antara diri
sendiri dan orang lain hingga sekecil mungkin.
b) Tingkatkan rasa simpati
sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.
Contoh : ujaran,
Saya ikut merasa senang sekali anda lulus, terdengar lebih santun daripada Wah
, anda lulus ya?.
Ditambahkan
oleh Cruse dalam Gunarwan (2007 :164), demi kesantunan kita harus menghindari
hal-hal berikut:
a) Memperlakukan mitra tutur sebagai orang
yang tunduk kepada kita, yakni dengan menghendaki agar mitra tutur melakukan
sesuatu yang menyebabkan ia mengerluarkan ”biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dsd) atau menyebabkan
kebebasannya menjadi terbatas.
b) Mengatakan hal-hal jelek mengenai diri
mitra tutur
c) Mengungkapkan rasa senang atas
kemalangan mitra tutur,
d) Menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra
tutur sehingga mitra tutur merasa namanya jatuh.
e) Memuji diri atau membanggakan nasib
baik atau kelebihan diri sendiri.
A.5
Kesantunan tindak tutur menolak.
Berdasarkan
teori Brown dan Levinson, tindak tutur ada yang dapat mengancam muka, ada pula
yang tidak.Ujaran yang bermaksud memuji berarti menghargai citra diri
seseorang.Ujaran semacam itu tidak mengancam muka mitra tutur.Sebaliknya ujaran seperti tuduhan, kecaman, penolakan
dapat mengancam muka mitra tutur, oleh karena itu kesopanan berbahasa dalam
proses pertuturan sangatlah penting, agar dapat memperkecil resiko kehilangan
muka pada penutur dan mitra tutur.
Salah
satu jenis ujaran yang dapat mengancam muka penutur atau mitra tutur adalah
penolakan.Tindak tutur penolakan ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu
tindakan yang dapat mengancam muka positif dan negatif lawan tutur.Menurut
Nadar (2009:35) penolakan dapat dimasukan kedalam kelompok direktif yang
mengancam muka negatif lawan tutur dan juga dapat diklasifikasikan ke dalam
kelompok ekspresif, yang dapat mengancam muka positif lawan tutur.
Muka
positif menurut Gunarwan (2007:29) adalah mengacu kepada citra diri seseorang
(yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang
dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang
lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan
seterusnya. Misalnya, orang yang memiliki mobil BMW, tetapi padanya dikatakan,
”Ah baru BMW, belum rolls royce”, dapat saja merasa bahwa yang dimilikinya itu
(yang tidak semua orang mampu memilikinya) tidak dihargai, akibatnya muka
positifnya terancam jatuh.
Sedangkan
yang dimaksud muka negatif menurut Gunarwan (2007:29) adalah mengacu ke citra
diri seseorang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya
bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Misalnya, kita suruh orang yang
sedang duduk sambil menikmati rokok agar ia mengerjakan sesuatu, ini sama
artinya dengan tidak membiarkan ia melakukan dan menikmati kegiatan merokoknya
itu.
Dengan
demikian strategi yang digunakan untuk membuat penolakan lebih sopan,
menyangkut strategi kesopanan positif yaitu upaya meminimalisir ancaman
terhadap muka positif lawan tutur, dan juga strategi kesopanan negatif yaitu
upaya untuk mengurangi tingkat pelanggaran terhadap muka negatif lawan
tutur.Menolak bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan, karena pada
hakekatnya menolak tidak selaras dengan prisip keharmonisan dalam
komunikasi.Oleh karena itu kesopanan berbahasa pada tindak tutur ini sangat
dibutuhkan agar hubungan baik antara penutur dan mitra tutur dapat terjaga.
Dalam
bahasa Perancis terdapat beberapa jenis tindak tutur menolak. Macam macam jenis
penolakan dalam stelle dan chamberlain (1991:18,26,65,66)
1. Refuser une invitation ( menolak
undangan)
Contoh: je suis
vraiment desolé mais j’ai du travail.(sopan)
Non ça ne me dit rien (tidak sopan)
2. Refuser une suggestion (menolak saran)
Contoh : Merci
de ton conseil ,mais ce n’est pas posible.(sopan)
Vous n’y pensez pas (tidak sopan)
3. Refuser la permission (menolak
permintaan izin)
Contoh : Je suis
vraiment désolée mais ce n’est pas possible (sopan)
Quand je dis non, c’est non. (tidak
sopan)
4. Refuser une offre (menolak penawaran)
Contoh : Non
merci, pas pour l’instant. (sopan)
Dalam
bahasa prancis ungkapan penolakan yang sering muncul sangat beragam, tergantung
kepada situasi tutur. Contoh situasi : Lisa mengajak teman dekatnya Laura untuk
menonton festival film perancis, tetapi karena Laura tidak menyukai film yang
dipilih oleh Lisa, ia menolak ajakan tersebut, ungkapan penolakan yang mungkin
muncul adalah:
a) Je regrette mais je ne peux pas venir
b) Non je n’ai pas envie.
Tuturan a dan b
diatas pada intinya adalah tidak dapat memenuhi ajakan dari mitra tutur.
Pemilihan jenis tuturan yang digunakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu
seperti :
Apakah lawan tutur lebih muda, lebih
tua atau seusia, atau apakah hubungan keakraban mereka sudah baik atau dekat.
Apakah status sosial lawan tutur lebih
rendah atau lebih tinggi (misalnya, dosen dan mahasiswa, dokter dan pasien)
Pada situasi apa percapakan terjadi
(publik atau non publik)
Pada situasi
percakapan Lisa dan Laura, penggunaan tuturan b yaitu non je n’ai pas envie
(saya tidak mau) itu sah-sah saja, karena Lisa dan Laura adalah teman dekat
yang hubungan keakrabanya baik Tapi bila tuturan b tersebut dituturkan dalam
konteks yang berbeda misalnya oleh seorang mahasiswa kepada dosennya maka akan
menimbulkan ketegangan karena dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa nya
tidak memiliki sopan santun berbahasa, lain halnya jika mahasiswa tersebut
mengunakan tuturan a yaitu Je regrette mais je ne peux pas venir (saya menyesal
tidak bisa datang) maka akan terdengar lebih sopan karena bersifat tidak
langsung dengan menggunakan ungkapan penyesalan.
A.6 Kekuasaan
dan Solidaritas
Ujaran juga
dapat mencerminkan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur, terutama
sekali hubungan kekuasaan dan solidaritas. Kekuasaan yang dimaksud merupakan
status sosial antara penutur dan mitra tuturnya sedangkan solidaritas di sini
berarti hubungan atau keakraban antara penutur dan mitra tutur. Istilah-istilah
ini berkaitan dengan sosiolinguistik, diperkenalkan oleh Brown dan Gilman ahli
psikologi sosial pada tahun 1960, yaitu dalam makalah-makalah klasik mengenai
pemarkah kebahasaan. Jamil (1995:169) dalam bukunya berpendapat tentang
kekuasaan dan solidaritas :
Kekuasaan sudah
cukup jelas tetapi solidaritas sulit untuk didefinisikan. Istilah ini berkenaan
dengan jarak sosial antara orang-orang yaitu seberapa banyak seberapa banyak
mereka berbagi ciri sosial dan seberapa siap mereka untuk saling akrab.
Setiap
individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status
merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam
tingkah lakunya, status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau
posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya Brown dan Gilman
memberi pengertian terhadap kekuasaan adalah sebagai berikut “Power is
relationship between at least two persons and it is nonreciprocal in the sense
that both cannot have power in the same area of behavior “.
Sedangkan
Fasold berpendapat tentang kekuasaan berdasarkan penelitian Brown and Gilman
yaitu “older people are assumed to have power over younger people, parent over
children, employers over employees, nobles over peasants, military officiers
over enlisted man”. Dalam kaitannya dengan Teori kesopanan Leech yang
menyatakan bahwa Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara
penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun,
sedangkan semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, akan
cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan, maka dapat disimpulkan
bahwa seseorang yang memiliki status sosial lebih rendah akan memberikan jenis
tuturan yang lebih tinggi (sopan) pada lawan tuturnya, demikian sebaliknya.
Solidaritas
merupakan hubungan yang simetris yang berdasarkan keseimbangan dan kesamaan
sosial. Brown dan Gilman menguraikan pengertian mengenai solidaritas (1972:309)
solidarity is the name we give to the general relationship and solidarity is
symmetrical. Sedangkan Fasold (1990:4) berpendapat solidarity implied a sharing
between people, a deegre of closness and intimacy. Dalam kaitannya dengan teori
Leech semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi
semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak
peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah
tuturan yang digunakan.
Yang
terpenting adalah hubungan antara kekuasaan dan solidaritas ini terbukti
universal.Menurut Jamil (1996:177) hubungan solidaritas antara penutur dan
mitra tuturnya dianggap sebagai suatu kasus dari fenomena umum.Terdapat banyak
penelitian kebahasaan di dunia yang mendasari pada aspek solidaritas dan
kekuasaan antara penutur dan mitra tuturnya dalam berkomunikasi.
A.7
Sintesis Teori
Pragmatik
merupakan cabang dari ilmu linguistik yang akhir-akhir ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat baik dari segi teori maupun penelitiannya.Ilmu
pragmatik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1983 oleh Morris.Inilah
awal dari cikal bakal perkembangan ilmu pragmatik yang pada akhirnya melahirkan
pakar-pakar handal dibidangnya, seperti Searle, Yule, Brown dan Levinson,
Leech, dll.Ilmu pragmatik memiliki berbagai macam ruang lingkup yang turut
memperkaya kajiannya, seperti tindak tutur dan juga kesopanan berbahasa.
Dalam
berkomunikasi, dibutuhkan adanya kesopanan berbahasa agar tujuan dari
komunikasi dapat tercapai dan juga tercipta hubungan yang baik antara penutur
dan mitra tutur. Menurut Leech untuk dapat mengukur kesopanan berbahasa
terdapat lima indikator yaitu, skala kerugian dan keuntungan, banyak atau
sedikitnya pilihan, skala ketidaklangsungan, skala keotoritasan, dan jarak
sosial. Leech juga menciptakan maksim-maksim sopan santun yang mengatur
prinsip-prinsip kesopanan berbahasa, yaitu maksim kearifan, kedermawanan,
pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan simpati. Sampai saat ini prinsip
kesopanan Leech dianggap paling lengkap,
mudah dimenggerti, dibanding prinsip kesantunan para pakar pragmatik lain.
Tindak
tutur merupakan salah satu kajian dari ilmu pragmatik, yang mempelajari tentang
bagimana manusia mempersepsikan ujarannya.Gagasan tindak tutur awalnya
ditemukan oleh J.L. Austin (1962) dalam karyanya yang terkenal “How to Do
Things with Words”.Dalam sebuah peristiwa tutur terdapat unsur-unsur yang
mendukung terjalinnya komunikasi, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks
tuturan dan tujuan tuturan tersebut. Tindak tutur sendiri memiliki beberapa jenis
tergantung pada pengembangan teori dari para pakar pragmatik, mulai dari Searle
yang membagi tindak tutur menjadi lima yaitu representatif, direktif,
ekspresif, komisif, deklarasi, hingga Austin yang terkenal dengan teori tindak
tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Ketika
berbicara dengan orang lain kita wajib mematuhi rambu-rambu dalam
berkomunikasi, salah satunya adalah penggunan kesantunan berbahasa, agar setiap
orang merasa kerasan ketika melakukan peristiwa pertuturan. Misalnya pada saat
kita melakukan penolakan terhadap apa yang diinginkan oleh mitra tutur,
penerapan kesopanan berbahasa menjadi sangat penting karena tindak tutur
penolakan ini merupakan salah satu dari beberapa jenis tindak tutur yang bila
pemakaiannya tidak diperhatikan dapat mengancam muka lawan tutur kita.
Melakukan penolakan tidaklah mudah, karena pada dasarnya setiap orang ingin
keinginannya terpenuhi dengan baik.Dengan penerapan kesopanan berbahasa dalam
tindak tutur ini diharapkan resiko keterancaman muka lawan tutur dapat
diminimalisir.
Kesopanan
berbahasa selalu terkait oleh dua hal yaitu kekuasaan dan solidaritas antara
penutur dan mitra tuturnya. Hal-hal tersebut bisa menjadi penentu bagi
pemilihan jenis tuturan yang sesuai. Kekuasaan yang dimaksud merupakan status
sosial antara penutur dan mitra tuturnya sedangkan solidaritas berarti hubungan
atau keakraban antara penutur dan mitra tutur. Bila kita berhadapan dengan
mitra tutur yang status sosialnya lebih tinggi kita cenderung memberikan jenis
tuturan yang lebih tinggi pula, demikian sebaliknya. Dan bila hubungan antara
penutur dan mitra tuturnya tidak akrab tuturan yang diberikan cenderung lebih
sopan dibanding dengan mitra tutur yang hubungannya sudah akrab.
Dalam
mempelajari bahasa asing orang selalu beranggapan bahwa yang terpenting adalah
dapat berbicara baik dengan tataran gramatikal yang tepat sehingga kalimat yang
kita ujarkan dapat dipahami dengan baik. Tetapi sesungguhnya penguasaan aspek
gramatikal saja tidak cukup dalam mempelajari suatu bahasa, kita juga harus
memahami prinsip-prinsip kesopanan berbahasa agar tuturan kita menjadi sempurna
sehingga dalam proses komunikasi tidak ada yang
tersakiti.
Bab
III
Metodologi
Penelitian
A. Satuan Analitik.
Pada penelitian
ini metode yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Penelitian deskriptif
berusaha mendeskripsi dan menginterpretasi apa yang ada. Penelitian ini
berusaha memberikan gambaran dengan sistimatis dan cermat tentang fakta aktual
dan sifat populasi tertentu (Margono (2007:8)). Kuantitatif deskriptif cocok
diterapkan dalam penelitian ini karena penelitian ini bermaksud untuk membuat
deskripsi mengenai situasi atau fenomena kesantunan berbahasa pada mahasiswa,
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih detail mengenai sejauh mana
pemahaman mahasiswa tentang kesopanan berbahasa. Inti dari setiap penelitian
deskriptif adalah, menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasi data.
Penelitian ini
difokuskan pada pemahaman mahasiswa mengenai kesantunan berbahasa khususnya
pada saat melakukan penolakan terhadap lawan tuturnya. Sejauh mana mahasiswa
memahami dan menggunakan kesantunan berbahasa dalam proses komunikasi dapat
terlihat pada penelitian ini. Pada kenyataannya setiap orang yang berbicara
baik secara tata bahasa, belum tentu memiliki pemahaman yang baik juga mengenai
kesantunan berbahasa, oleh karena itu kemampuan tata bahasa saja tidak cukup
dalam berkomunikasi.
Untuk mengetahui
sejauh mana pemahaman kesopanan berbahasa pada mahasiswa dalam melakukan
penolakan, maka dibuat instrumen berupa tes objektif dengan bentuk pilihan
ganda yang dikembangkan dari teori kesantunan berbahasa Geoffrey Leech. Menurut
Margono (2007:170) tes objektif adalah suatu tes yang disusun di mana setiap
pertanyaan tes disediakan alternatif jawaban yang bisa dipilih. Tes bentuk ini
sangat efektif karena dapat menghasilkan skor yang konstan, tidak tergantung
kepada siapapun yang memberi skor, karena pemberi skor tidak dipengaruhi oleh
sikap subjektivitas. Dalam tes pada penelitian ini terdapat 9 butir pertanyaan
yang berupa situasi cerita, situasi-situasi tersebut disusun agar responden
dapat melakukan penolakan kepada lawan tuturnya, dengan memilih 1 dari 3
pilihan jawaban yang tersedia, kategori pilihan jawaban tersebut diperoleh dari
pendapat dan masukan penutur asli. Pilihan jawaban tersebut dibagi menjadi 3
jenis yaitu:
Kalimat
penolakan sopan
Kalimat
penolakan samar-samar
Kalimat
penolakan tidak sopan
Sedangkan
kesembilan situasi yang terdapat dalam tes, adalah sebagai berikut :
1. Status sosial (+), Keakraban (-).
Pada
situasi pertama penutur adalah seorang mahasiswa yang menolak tawaran dosennya
yang menawarinya sebuah pekerjaan yang bagus. Penutur menolak karena dalam
pekerjaan tersebut terdapat kontrak untuk tidak menikah selama 2 tahun pada
masa awal bekerja, di sisi lain penutur telah memiliki tunangan dan akan segera
menikah.
2. Status sosial (+), Keakraban (-).
Pada
situasi kedua penutur adalah seorang mahasiswa yang menolak ajakan kakak
kelasnya untuk menonton sebuah film romantis di bioskop. Penutur tidak terlalu
mengenal kakak kelas tersebut dan ia juga tidak menyukai film romantis, oleh
karena itu penutur menolak ajakan tersebut.
3. Status sosial (+), Keakraban (+).
Pada
situasi ini penutur juga seorang mahasiswa yang menolak saran dari dosen
penutur aslinya, walaupun dosen dan mahasiswa tapi hubungan mereka dekat
seperti seorang sahabat karena sering berpergian bersama.Dosen penutur asli
tersebut memberi saran kepada penutur untuk berhenti merokok demi menjaga
kesehatan, tetapi karena alasan sulit dan belum mau, penutur menolak saran
tersebut.
4. Status sosial (=), Keakraban (+).
Pada
situasi keempat penutur menolak permintaan teman kecilnya yang juga merupakan
teman terbaiknya, yang diam-diam menyukainya. Penutur lebih memilih hubungan
pertemanan dibanding percintaan, dengan alasan itu ia menolak permintaan teman
tersebut untuk menjadi kekasihnya.
5. Status sosial (=), Keakraban (-)
Pada
situasi ini penutur berada di sebuah perpustakaan dan duduk disamping jendela
yang telah ia tutup karena sedang sakit, tiba-tiba seseorang yang tidak pernah
dikenalnya duduk disebelahnya, dan meminta penutur membuka jendela tersebut,
karena tidak ingin sakitnya bertambah parah penutur menolak permintaan
tersebut.
6. Status sosial (=), Keakraban (-)
Pada
situasi keenam penutur memiliki tetangga baru yang pindah seminggu yang
lalu.Oleh tetangga baru tersebut penutur diundang ke pesta dirumahnya. Di pesta
itu penutur sudah sangat kenyang karena banyak menyantap hidangan yang
disediakan, tetapi tetangga baru itu memaksa penutur untuk mencicipi kue yang
ia buat sendiri.
7. Status sosial (-), Keakraban (+).
Pada
situasi ini penutur adalah seorang mahasiswa yang mempunyai adik kelas yang
cukup akrab dengannya. Adik kelas tersebut ingin meminjam buku tata bahasa dari
penutur, tetapi karena minggu depan ada ujian yang harus diikuti oleh penutur
maka ia sangat memerlukan buku itu, sehingga penutur menolak untuk meminjamkan
bukunya.
8. Status sosial (-), Keakraban (-)
Pada
situasi kedelapan penutur adalah sorang guru ppl di sebuah sma, salah seorang
muridnya mengajak penutur untuk mampir ke rumahnya, tetapi karena telah
memiliki janji terlebih dahulu dengan dosen di kampusnya penutur menolak ajakan
tersebut.
9. Status sosial (-), Keakraban (+).
Pada
situasi kesembilan penutur mempunyai seorang adik yang meminta tolong untuk
membantunya mengerjakan soal pr matematika, tapi karena penutur tidak menguasai
matematika maka ia menolak permintaan adiknya tersebut.
Setiap
situasi di dalam tes disususun berdasarkan teori kesopanan berbahasa Leech
yakni berdasarkan dua faktor utama yaitu status sosial dan juga keakraban
penutur dan mitra tutur.Situasi-situasi tersebut juga sangat dekat dengan
kehidupan sehari-hari sehingga dapat memudahkan responden untuk memposisikan
diri di setiap situasi.Setiap responden menjawab dengan memilih satu pilihan
jawaban yang menurut mereka paling tepat, dengan begitu dapat terlihat apakah
mereka menolak dengan sopan, menolak dengan samar-samar, atau menolak dengan
tidak sopan.Tiga jenis pilihan jawaban yang tersedia merupakan pendapat dan
masukan dari penutur asli bahasa Prancis.
Sebagai
sampel penelitian tes dilakukan terhadap 30 responden yang merupakan mahasiswa
tingkat II jurusan bahasa perancis UNJ tahun ajaran 2007/2008. Tes tersebut
dilakukan dari bulan mei hingga juni 2009. dalam tes tersebut responden diuji
sejauh mana pemahamannya mengenai kesantunan berbahasa dalam tindak tutur
menolak.
B. Prosedur Penelitian.
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang diberikan kepada mahasiswa
tingkat II dengan prosedur.
1. Pengumpulan data hasil jawaban tes dari
30 responden yang merupakan mahasiswa tingkat II jurusan bahasa perancis UNJ.
2. Identifikasi hasil jawaban responden
berdasarkan skala kesopanannya (sopan, samar-samar, tidak sopan)
3. Analisis data
4. Menghitung jumlah jawaban responden
C.
Analisis Data
Adapun
kegiatan menganalisis data yang telah diperoleh dari 30 responden, digunakan
tabel data pada setiap situasi untuk memudahkan penghitungan jawaban responden
serta pengklasifikasian jawaban tersebut berdasarkan tingkat kesopananya.
Responden Kalimat penolakan
Alasan
Sopan Samar–samar Tidak sopan
D.
Validitas
Validitas
tes adalah validitas isi karena butir-butir pernyataan dikembangkan sesuai
teori kesantunan berbahasa pada bab sebelumnya dan telah diteliti serta
diperbaiki oleh penutur asli.
E.
Reabilitas
r11
= ( k )
( Vt - ∑pq )
k-1 Vt
= (
9 ) (
1,04-1,86 )
9-1 1,04
= (
9 ) (
0,82 )
8 1,04
= 1,125
. 0,788
=
0,8865
keterangan:
r11 = reabilitas instrumen
K
= banyaknya butir pertanyaan
Vt
= varians total
p
= Banyaknya subjek yang skornya 1
N
q = Proporsi subjek yang mendapat skor 0
(q = 1-p)
Penghitungan
varians total dengan jumlah responden sebanyak 30 orang didapat v = 1,04 (lihat
lampiran). untuk menghitung uji reabilitas instrumen digunakan rumus K-R 20,
dan didapat hasil sebesar 0, 8865 , dengan demikian dapat dikatakan bahwa tes
ini reliabel .
terimakasi infonya sangat mebantu gan
ReplyDeletewww.ghofar1.blogspot.com