BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat
untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai
bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya
komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan
komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang
digunakan. Interaksi masyarakat tutur pesantren (kiai, santri, guru
(ustadz/ustadzah), pengurus pondok dan lain-lain) selalu dilandasi oleh
norma-norma pesantren. Dalam berkomunikasi, norma-norma itu tampak dari
perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi
imperatif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah,
keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Sedangkan
perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma
sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi
dengan sesamanya.
Hal penting yang berkenaan dengan
keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah
strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur.
Keberhasilan penggunaan strategi-strategi ini menciptakan suasana kesantunan
yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan
mitra tutur (Ismari, 1995: 35).
Masyarakat pesantren merupakan tipologi
masyarakat hard-shelled. Pada komunitas ini terjadi interaksi minimal
dan pemeliharaan maksimal pada bahasa dan kebudayaan. Komunikasi santri terhadap
ustadzah maupun pengurus sangat terbatas dikarenakan status sosial yang
berbeda. Santri sangat menjaga keselarasan hubungan dengan sebisa mungkin
berlaku hormat dan tawadlu’ kepada ustadzah dan pengurus sebagai
refleksi dari tindak ketaatan santri dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Dari fenomena-fenomena di atas penulis
beranggapan bahwa penelitian mengenai kesantunan berbahasa di lingkungan
pesantren sangat menarik dan perlu untuk dilakukan.
1.2 Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah
Mengacu pada fenomena yang telah
dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan masalah agar penelitian ini terarah
dan mengena pada tujuan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan
Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan?
1.2.2 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada
permasalahan kesantunan imperatif yang meliputi:
1. Wujud
pemakaian kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok
Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
2. Makna dasar
pragmatik imperatif yang digunakan dalam interaksi antarsantri putri Pondok
Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan dilihat dari tingkat ilmu
dan status kelembagaan.
3. Strategi
kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan
Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan dilihat dari tingkat ilmu dan status
kelembagaan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini mempunyai
tujuan untuk memperoleh gambaran kesantunan berbahasa dalam interaksi
antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini dilakukan
dengan tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan kesantunan imperatif dalam
interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran
Lamongan meliputi wujud pemakaian kesantunan imperatif, makna dasar pragmatik
imperatif, dan strategi kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri
dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat secara praktis yang diperoleh
dari hasil penelitian ini adalah memberikan masukan tentang kesantunan
imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat
Banjaranyar Paciran Lamongan, sehingga akan memperlancar komunikasi dengan
santri di pondok pesantren.
Adapun manfaat teoritis yang diperoleh
dari hasil penelitian ini adalah memberikan sumbangan untuk perkembangan
teori-teori pragmatik dan juga untuk membantu penelitian-penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa, khususnya kesantunan imperatif.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Pragmatik
Levinson (1983) mendefinisikan
pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga
tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik
adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan
situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna
dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna
yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu
kiranya dapat disebut sebagai maksud (Verhaar, 1992) yaitu maksud penutur. Oleh
karena itu, Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang
linguistik yang mengkaji maksud ujaran (Lubis, 1993: 9).
1.5.2 Teori Tindak Tutur
Teori tindak
tutur adalah pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat
dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya
ungkapan tersebut.
Searle (1976)
mengklasifikasikan tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika
berbicara ke dalam lima kelompok besar, yaitu:
a.
Representatif: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang
mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta,
mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b. Komisif:
Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya
janji dan ancaman.
c. Direktif:
tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu, seperti
saran, permintaan, dan perintah.
d. Ekspresif:
Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai
keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima
kasih.
e. Deklaratif:
tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya
ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ’Saya mengundurkan diri’,
memecat seseorang dengan mengatakan ’Anda dipecat’, atau menikahi seseorang
dengan mengatakan ’Saya bersedia’.
Dalam teori
tindak tutur satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi.
Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang
sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam
berbagai bentuk ujaran. Seperti tampak pada contoh tuturan berikut:
Santri 1 : Hawane
puanas. (Sambil memegang tenggorokan)
’Udaranya panas sekali’
Santri 2 : Tak
jupukna ngombe.
’Aku ambilkan
minuman’
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan seorang santri
kepada temannya yang baru saja pulang sekolah di asrama mereka.
Ujaran ”Hawane
puanas” tersebut berfungsi sebagai permintaan, sama seperti Aku jupukna
ngombe ’Ambilkan aku minuman’. Seorang santri mungkin juga menyatakan
permintaan dalam bentuk pernyataan mengenai keadaan tubuh dengan mengatakan Aku
ngorong ’Aku haus’.
Dengan adanya
berbagai macam cara untuk menyatakan permintaan tersebut dapat disimpulkan dua
hal mendasar, yakni adanya (1) tuturan langsung dan (2) tuturan tidak langsung
sebagaimana yang telah diungkapkan Fatimah (Fatimah, 1994: 65-70).
Tingkat
kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh
serta kejelasan pragmatiknya. Yang dimaksud dengan jarak tempuh adalah jarak
antara titik ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi
yang terdapat dalam diri mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya semakin
tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya. Sedangkan yang
dimaksud dengan kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa semakin tembus
pandang sebuah tuturan akan semakin langsunglah tuturan tersebut. Jika
dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin
tidak santunlah tuturan itu, sebaliknya semakin tidak tembus pandang maksud
tuturan akan menjadi semakin santunlah tuturan itu.
1.5.3 Kesantunan Berbahasa
Fraser
dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated
with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”.
Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran
dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa
ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan itu
adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat
pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran.
Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si
penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar
santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan
hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar
santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak
melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi
kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Hildred Geertz dalam Franz
Magnis-Suseno (2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan
pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah ini sangat erat hubungannya
dengan kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia
hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik.
Franz menyebut kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Kaidah kedua, menuntut
agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Franz menyebut
kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat.
Menurut Mulder (1973), keadaan rukun
terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka
bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Pendapat
Mulder ini diperkuat oleh pernyataan Hildred Geertz (1967) bahwa berlaku rukun
berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara
pribadi-pribadi sebagai hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan
baik-baik. Dalam kaitannya dengan prinsip hormat, Hildred Geertz menjelaskan
ada tiga perasaan yang harus dimiliki masyarakat Jawa dalam berkomunikasi
dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang menuntut sikap hormat,
yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut
merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial
untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.
Dengan demikian individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat,
sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak (Franz, 2001:
65).
Dalam masyarakat pesantren prinsip
kerukunan dan prinsip hormat ini terlihat dengan jelas. Mereka sangat menjaga
kerukunan antarsantri dan sebisa mungkin untuk menghindari konflik di
lingkungan pesantren. Para santri berusaha menjaga keseimbangan sosial yang di
dalamnya terdapat norma-norma bagi santri. Bahkan sesama
santri sering terlihat suka bekerja sama dan saling menerima. Semua hal
tersebut tercermin dalam kegiatan santri serta komunikasi santri sehari-hari,
bagaimana santri berkomunikasi dengan teman serta dengan pengurus pondok maupun
ustadzah. Dalam komunikasi mereka sering menunjukkan sikap wedi (takut),
isin (malu), dan sungkan terhadap santri yang mempunyai derajat atau
kedudukan yang lebih tinggi.
Menurut Leech dan Brown dan Levinson
prinsip kerja sama sebagaimana yang dikemukakan Grice dalam komunikasi yang
sesungguhnya sering dilanggar atau tidak dipatuhi oleh para peserta tutur. Hal
ini disebabkan karena di di dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya
menyampaikan informasi saja, melainkan juga untuk menjaga atau memelihara
hubungan-hubungan sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada
peristiwa-peristiwa tutur tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan
itu). Kebutuhan noninformatif ini termasuk dalam kebutuhan komunikatif yang
bersifat semesta.
Jika tujuan kita berkomunikasi hanya
untuk menyampaikan informasi saja, maka strategi yang paling baik diambil
adalah menjamin kejelasan pragmatik (pragmatic clarity) dan menjamin
ketibaan daya ilokusi (illocutionary force) di titik ilokusi (di benak
pendengar) paling segera. Akan tetapi pada komunikasi sehari-hari,
ujaran-ujaran seperti itu dianggap terlalu berterus terang dan oleh sebagian
masyarakat dinilai tidak santun.
Untuk menentukan parameter kesantunan
imperatif (dalam hal ini Leech menyebutnya impositif), Leech (1993)
mengemukakan tiga skala kesantunan, yaitu:
1. Cost-benefit scale:
Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada
sebuah pertuturan.
2. Optionality scale: Indicating
the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a spesific
linguistic act. Optionally scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak
atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra
tutur di dalam kegiatan bertutur.
3. Indirectness scale: Indicating
the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the
intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan
menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah
tuturan.
Teori
kesantunan berbahasa menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face).
Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus
dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu
dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif.
Muka negatif mengacu ke citra diri
setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan
membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari
keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri
setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa
yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai
akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai
suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya.
Kesantunan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini
berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan
ancaman terhadap muka. Tindak
ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening
Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi
kita perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang
terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif)
dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Sopan santun dalam
penggunaan imperatif pada contoh di bawah ini misalnya, dapat ditafsirkan
sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan petutur, yang
sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh tindak
ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka penutur. Untuk
melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan tindak ujar tak
langsung. Perhatikan kalimat berikut:
Mene awan nganggur Is?
’Besok siang menganggur Is?’
Konteks tuturan pada kalimat itu
diucapkan oleh santri kepada temannya (mitra tutur). Tuturan tersebut dapat
ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka diri. Kalau ajakan itu
ditolak, maka mitra tutur dapat menyelamatkan mukanya dengan balik bertanya:
Sopo sing ate dolan nang kamarmu? Aku lak takon thok.
’Siapa yang akan main ke kamarmu? Aku kan hanya bertanya’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang
beda kamar saat satu hari sebelum hari libur sekolah.
Menurut Brown dan Levinson, karena
adanya ancaman tindak ujaran itulah penutur perlu memilih strategi untuk
mengurangi atau, kalau dapat, menghilangkan ancaman itu. Brown dan Levinson
mengidentifikasikan empat strategi dasar dalam kesantunan berbahasa, yaitu
strategi 1 kurang santun, strategi 2 agak santun, strategi 3 lebih santun, dan
strategi 4 paling santun. Keempat strategi kesantunan ini harus
dikaitkan dengan parameter pragmatik (Wijana, 1996: 64-65).
Dalam model kesantunan Brown and Levinson (1987) terdapat
tiga parameter atau skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah
tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan
kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut:
1. Skala peringkat
jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker
and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, kenis kelamin,
dan latar belakang sosiokultural.
2. Skala
peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and
hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan
(power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra
tutur.
3. Skala peringkat tindak tutur atau
sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah the degree of
imposition associated with the required expenditure of goods or services
didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur
lainnya.
Baik kesantunan yang mendasarkan pada
maksim percakapan maupun pandangan kesantunan yang mendasarkan pada konsep
penyelamatan muka, keduanya dapat dikatakan memiliki kesejajaran. Kesejajaran
itu tampak dalam hal penentuan tindakan yang sifatnya tidak santun atau
tindakan yang mengancam muka dan tindakan santun atau tindakan yang tidak
mengancam muka.
1.5.4 Imperatif
Beberapa ahli tata bahasa menggunakan
istilah lain yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan istilah kalimat
imperatif, diantaranya Alisjahbana dan Gorys Keraf yang menggunakan istilah
kalimat perintah.
Alisjahbana
(1978) mengartikan kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah,
memaksa, menyuruh, mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan
apa yang dimaksudkan di dalam perintah. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud
dengan memerintah adalah memberitahukan kepada mitra tutur bahwa si penutur
menghendaki orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang diberitahukannya.
Gorys Keraf
(1991) banyak menjelaskan kalimat perintah bahasa Indonesia dalam karya
ketatabahasaannya. Ia mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang
mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu seperti
yang diinginkan orang yang memerintah itu.
Dalam komunikasi
sehari-hari, tuturan bermakna imperatif bisa diwujudkan dengan tuturan
deklaratif maupun tuturan interogatif. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada
contoh berikut:
(a) Tutupen lawange!
’Tutup
pintunya!’
(b) Angine nggarai krekes-krekes.
’Anginnya membuat
(aku) meriang.’
(c) Sampeyan gak wedi masuk angin ta
mbak?
’Kamu tidak
takut masuk angin mbak?’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri
kepada teman satu kamarnya saat angin bertiup kencang.
Ketiga tuturan di atas mempunyai makna imperatif
meskipun ada tuturan yang berwujud deklaratif (tuturan b) dan berwujud
interogatif (tuturan c). Ketiga tuturan tersebut memiliki makna imperatif yang
sama yaitu menyuruh mitra tuturnya untuk menutup pintu kamar.
Kashiwazaki dalam Roni (2005: 80) mengungkapkan
makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur menjadi tiga,
yaitu:
a. Makna
perintah
Pada makna
perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan
menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga
menjadi beban bagi 01. tetapi dalam fungsi ini 02 dituntut harus melakukan
suatu tindakan. Dengan kata lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan
tidak ada. Perhatikan contoh berikut:
Disemak kitabe! Ojo ngomong dewe.
‘Dilihat kitabnya! Jangan ngomong sendiri.’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika
sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.
b. Makna
permintaan
Pada makna
permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau
mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02.
Pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan
bagi 02 adalah “sedikit banyak ada“. Perhatikan contoh berikut:
Tulung jupukna disketku ijo iku!
’Tolong, ambilkan disketku (yang berwarna) hijau itu!’
Konteks
tuturan:
Tuturan di atas
diucapkan santri kepada temannya di ruang kelas.
c. Makna
nasehat (rekomendasi).
Pada makna
nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01
kadang-kadang tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban.
Dalam fungsi ini pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau
melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “ada“.
Nggawea jam lek ujian.
’Pakailah jam (jam tangan) kalau ujian.’
Konteks
tuturan:
Tuturan
tersebut terjadi antarsantri ketika akan berangkat ujian.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian
sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu:
1. Kunjana
Rahardi (Imperatif Dalam Bahasa Indonesia). 2000.
Disertasi: Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian tersebut
mengungkapkan kesantunan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia dapat
mencakup dua macam perwujudan, yakni kesantunan linguistik dan kesantunan
pragmatik. Kesantunan linguistik dimarkahi panjang pendek tuturan,
urutan tuturan, intonasi tuturan, isyarat-isyarat dan penanda kesantunan.
Sedangkan kesantunan pragmatik diwujudkan dalam dua wujud tuturan, yakni
tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif dan tuturan interogatif
bermakna pragmatik imperatif.
2. Bea
Anggraeni dan Dwi Handayani (Kesantunan Imperatif Dalam Bahasa Jawa Dialek
Surabaya: Analisis Pragmatik). 2001. Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga Surabaya. Penelitian ini membahas kesantunan imperatif seperti halnya
yang telah dikemukakan Kunjana Rahardi di atas, namun lebih spesifik mengarah
ke ranah sosial Jawa, khususnya Surabaya.
3. Roni (Jenis
Makna Dasar Pragmatik Imperatif dalam Imperatif Bahasa Indonesia). 2005.
Jurnal: Verba. Dengan mendasarkan tiga fungsi dasar ungkapan yang
menuntut tingkah laku mitra tutur dari Kashiwazaki, Roni menentukan makna dasar
atau makna pokok dari tujuh belas makna imperatif pragmatik dalam imperatif
bahasa Indonesia yang telah dikemukakan oleh Kunjana Rahardi.
1.7 Operasionalisasi Konsep
Dalam sebuah penelitian,
operasionalisasi konsep memiliki arti yang penting karena berisi penjelasan
tentang istilah yang digunakan dalam penelitian. Selain itu, operasionalisasi
konsep dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terarah
serta untuk menghindari penafsiran yang salah mengenai istilah tersebut,
sehingga diperoleh batasan-batasan yang jelas dan pengertiannya tidak kabur.
Istilah-istilah yang perlu diberi penjelasan antara lain:
Kesantunan imperatif :
Cara bertutur santri dalam
mengungkapkan tuturan bermakna imperatif dengan menerapkan prinsip kesantunan
sebagai refleksi dari tindak kesantunan berbahasa. Cara bertutur ini dilakukan
oleh seorang santri atau sekelompok santri dalam menyikapi aturan/norma yang
ada di Ponpes Putri Sunan Drajat. Hal ini dilakukan demi terjaganya etika,
keramahan hubungan, dan keseimbangan sosial di lingkungan Ponpes Putri Sunan
Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
Pesantren:
Kompleks bangunan yang terdiri dari
rumah kiai, asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, kantin, koperasi, dan
lain-lain sekaligus sebagai tempat belajar mengajar.
Santri putri:
Orang yang mendalami atau belajar agama
Islam dan tinggal di asrama Ponpes Putri Sunan Drajat Banjaranyar Paciran
Lamongan.
Santri diklasifikasikan berdasarkan
tingkat ilmu santri (menggunakan variabel santri (murid) dan ustadzah) dan
status kelembagaan (menggunakan variabel santri dan pengurus).
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat
prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma,
1993: 3). Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Dalam kajiannya,
metode deskriptif menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan
faktual (apa adanya) (Arikunto, 1993: 310). Metode deskriptif ini digunakan
untuk menggambarkan apa adanya hasil dari pengumpulan data yang telah dilakukan
oleh penulis. Metode deskriptif dipilih oleh penulis karena metode ini dapat memberikan
gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan bahasa, gejala atau
kelompok tertentu.
1.8.1 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang secara langsung berkaitan
atau berkenaan dengan masalah yang diteliti dan secara langsung dari sumber.
Sumber tersebut dapat berupa dialog maupun konversasi (percakapan) santri yang
di dalamnya terkandung kesantunan imperatif beserta dengan wujud tanggapannya.
Tanggapan tersebut dapat bersifat verbal maupun nonverbal.
1.8.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak memiliki teknik
dasar yang berwujud teknik sadap (Mahsun, 2005: 90). Teknik sadap disebut
sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakekatnya penyimakan
diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data
dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seorang atau beberapa santri,
ustadzah, dan pengurus. Selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik
lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap,
peneliti melakukan penyadapan itu dengan cara berpartisipasi sambil menyimak,
berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Dalam hal ini,
peneliti terlibat langsung dalam dialog. Selanjutnya teknik catat adalah teknik
lanjutan yang dilakukan peneliti ketika menerapkan metode simak dengan teknik
lanjutan di atas.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode cakap.
Metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam
pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan
(Mahsun, 2005: 90). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing,
karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya
dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan
untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan
atau stimulasi itu berupa bentuk atau makna-makna yang tersusun dalam bentuk
daftar pertanyaan. Selanjutnya, teknik dasar tersebut disertai dengan teknik
lanjutan cakap semuka. Pada pelaksanaan teknik cakap semuka, peneliti langsung
melakukan percakapan dengan penggunaan bahasa sebagai informan dengan bersumber
pada pancingan yang sudah disiapkan atau secara spontanitas, maksudnya
pancingan dapat muncul di tengah-tengah percakapan.
1.8.3 Metode Analisis Data
Analisis mengandung pengertian
penentuan satuan lingual berdasar teori tertentu dan dengan pengujian teknik
tertentu pula (Sudaryanto, 1998: 51). Dalam analisis ini penulis menggunakan
metode padan pragmatis, dimana alat penentunya yaitu mitra tutur (Sudaryanto,
1993: 13-15). Pragmatik di dalam metode padan harus dipahami dengan unsur
penentu di luar bahasa (Djajasudarma, 1993: 59).
Dalam
pendekatan analisis kebahasaan, pramatik didefinisikan sebagai:
The study of the use of language in communication,
particularly the relationship between sentences and the contexts and situations
in which they are used.
Dengan
kata lain, pragmatik merupakan kajian tentang cara bagaimana penutur dan mitra
tutur dapat memakai dan memahami tuturan sesuai dengan konteks situasi yang
tepat (Mulyana, 2005: 78).
Analisis
data dengan menggunakan metode padan pragmatis ini bertujuan untuk
mendeskripsikan kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok
Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan. Metode ini juga digunakan
sebagai penunjang metode penelitian deskriptif yang digunakan oleh peneliti.
1.8.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil
analisis data penelitian kesantunan imperatif antarsantri putri Pondok
Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan ini disajikan secara
informal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan
kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Dengan kata lain, hasil temuan
penelitian yang berupa wujud kesantunan imperatif, makna dasar pragmatik
imperatif, dan strategi kesantunan antarsantri putri disajikan dalam bentuk
kata-kata biasa.
LAPORAN ANALISIS
Analisis
ejaan
Berdasarkan
hasil analisis terhadap pendahuluan skripsi di atas.tidak di temukan adanya
kesalahan penulisan/ejaan.
Efektifitas
kalimat
Pendahuluan
skripsi di atas ttidak efektif di karenakan kalimat nya terlalu berbelit belit
dan tidak menghemat kata kata
Revisi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat
untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai
bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya
komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan
komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang
digunakan. Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi
sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status
penutur dan mitra tutur. Keberhasilan penggunaan strategi-strategi ini
menciptakan suasana kesantunan yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung
tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur (Ismari, 1995: 35). 1.2 Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah
Mengacu pada fenomena yang telah
dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan masalah agar penelitian ini terarah
dan mengena pada tujuan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan
Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan?
1.2.2 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada
permasalahan kesantunan imperatif yang meliputi:
1. Wujud
pemakaian kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok
Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
2. Makna dasar
pragmatik imperatif yang digunakan dalam interaksi antarsantri putri Pondok
Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan dilihat dari tingkat ilmu
dan status kelembagaan.
3. Strategi
kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan
Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan dilihat dari tingkat ilmu dan status
kelembagaan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini mempunyai
tujuan untuk memperoleh gambaran kesantunan berbahasa dalam interaksi
antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini dilakukan
dengan tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan kesantunan imperatif dalam
interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran
Lamongan meliputi wujud pemakaian kesantunan imperatif, makna dasar pragmatik
imperatif, dan strategi kesantunan imperatif dalam interaksi antarsantri
dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat secara praktis yang diperoleh
dari hasil penelitian ini adalah memberikan masukan tentang kesantunan
imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar
Paciran Lamongan, sehingga akan memperlancar komunikasi dengan santri di pondok
pesantren.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Pragmatik
Levinson (1983) mendefinisikan
pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga
tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik
adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan
situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna
dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna
yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu
kiranya dapat disebut sebagai maksud (Verhaar, 1992) yaitu maksud penutur. Oleh
karena itu, Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang
linguistik yang mengkaji maksud ujaran (Lubis, 1993: 9).
1.5.2 Teori Tindak Tutur
Teori tindak
tutur adalah pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami
dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan
tersebut.
0 comments:
Post a Comment