BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan
dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia
ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau
kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah,
ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi
dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala
kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkankesadaran,
yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dankoheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
(1)
disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu
bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang
(2)
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang
khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan
menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu
sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain
sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang
berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti
akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki
tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai
hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia .Bagian filsafat yang
paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang
merupakan sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801 – 873 M).
Metode filsafat adalah metode
bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang
bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan
segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua
mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang
segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala
sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski
bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya
masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa
kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah
sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan
filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah
mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala
esensi kehidupan.
B. Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat
banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan
karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan
agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa
ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan
menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat
Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang
agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan
“Filsafat Kristen”.
1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
a. Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu
yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi
orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya
sempat mengalami pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles
seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa
seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John Salisbury, seorang guru besar
filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon
karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah
dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara
lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur
Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di
Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda,
dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi.
Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan
dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam
semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi.
Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara
harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang
pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi.
Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang
berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial .
b. Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi
falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan
daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat
Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang
lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama.
Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha,
Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Gambar
1.2. Foto Mao Zedong muda
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini
sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para
filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris
tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama
adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi,
yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan
Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan
komentar terhadap karya-karya Yunani.
2.) Klasifikasi Filsafat Menurut
Latar Belakang Agama
a. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat
Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama
Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu
seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam
dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik
menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun
kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid.
Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam
justru Tuhan ‘sudah ditemukan.’
Pada
mulanya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian Timur pada
abad ke-6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan
seputar alam, manusia, dan Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar, seperti
fisika, etika, matematika, dan metafisika yang menjadi batubara kebudayaan
dunia.
Dari
Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju Athena yang menjadi tanah air
filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM,
filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
b. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat
Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan
zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada
dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali
kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah
ontologis[1] dan
filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli
masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan
lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas,
masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai
sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Buddha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar,
atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk
mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh
mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan
kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang
dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan
pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan
lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap
Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara
teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud:
Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan
jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus
(tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan.
Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha[2] adalah
serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha
dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi[3] dan
Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata
“Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau
jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta
dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”.
Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah.
Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan
berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”.
Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan
juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan
teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya
diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme,
terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif
jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif
dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan
wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa
dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa
dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang
sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja,
padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak
tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan
realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa
dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa[4].
Banyak pengertian-pengertian atau
definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf.
Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan
tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika
dan teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa
definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk
melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan
batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan
nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu
yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk
mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang
diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia
dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.)[5],
setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles)
yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam
bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga
diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata
tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia =
persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti
harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi
yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir
ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami
bidang falsafah disebut “filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy,
yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan.
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata
luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan
meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam
memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami
atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi)
yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia
sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh
dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat
manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan
bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus dan
melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya,
nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan kebijaksanaan.
Karena itulah filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan
dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok
pengalaman manusia.
B. Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya
kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya
kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran
mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara
perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para
filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum
pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari
keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis
yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai
berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka
mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti
kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati
problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini,
terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta
kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan
filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat,
muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika
orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada
saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa
filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
C. Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia
(Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani
pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta
(sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan
aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie,
1999).
Dalam buku History and Philosophy
of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah
filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya
tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.
a. Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya
adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak
fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah
air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama
kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di
atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di
pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain.
Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan
persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat
jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani
kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap
perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras,
Hypocrates, dan lain sebagainya.
b. Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al
Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan
antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada
gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami
kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat
seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi
otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber
kebenaran.
c. Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen
Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai
periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan
banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku
inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli
astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu
The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu
berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis
antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi,
filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan
penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam
mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai
peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai
sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus
berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa
belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab
yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh
Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat
kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari
buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama
Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat
Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh
pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang
dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya
dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury,
seorang guru besar filsafat di Universitas Paris,tidak akan menyalin kembali
buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab,
yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang
yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau
sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan
oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang
bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah
tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801
M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan
Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman
Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles
tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan
yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah
: Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad
Iqbal, dan
Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang
lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat
(Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace)
dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail[6] merupakan
pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi
sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd[7] yang
lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah
mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan
kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan
bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati
dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing
kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah
yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai
atheis.Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula
oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi
menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna,
oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang
diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin
memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul
Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk
menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman
Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat
menyebabkan seseorang menjadi atheis.Untuk mencapai kebenaran sejati menurut
Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku
karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya
Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas
pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di
berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa
pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan
peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang
menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan
berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan
gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu
berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang
menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini
antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka
yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan
oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat
dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat
pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof
Islam.
d. Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad
12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya
kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku
filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa
Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di
Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada
Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai
ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat
Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks
Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin
oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh
pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat
membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja
mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal
Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran
filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II
menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada
Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki
akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa
latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk
mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum
muslimin.Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas
dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa
Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan
judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar
Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa
Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa
dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun
Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan
di Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat,
usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk
tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke
Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq
karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada
pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh
Colonymus pada Tahun 1328.
e. Periode Filsafat Modern
(Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung.
Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber
otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran
bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur
pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme.
Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan
intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of
medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan
realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada
waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan
dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu
Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang
menindas terus berlangsung Revolusiilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat.
Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori
gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja
dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan
pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal
serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang
berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam,
pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual.
Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran
al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya
yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk
menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut
dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari
al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan
bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga
dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.Namun tentang aspek mana
yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio
(akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber
pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh
Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode[8] tahun
1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau
suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka
kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang
metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya
ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku
ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku
menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan
adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku
ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa
kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah”
— “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan
terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi
norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum
rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam
pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam
pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut
dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para
empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut
Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil
melalui persepsi indera kita.
AdapunKritisisme oleh
Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua
pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan
kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada
faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar
kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan
konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak
mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”),
namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua
orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada
pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi
lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita
menangkapnya dengan indera kita.Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan
atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah
kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk
kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian
Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis,
dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran
filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan
Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
Jauh sebelum manusia menemukan dan
menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu
sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain
sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang
berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti
akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan
sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting
pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon
tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode
bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya.
Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu
dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala
sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa
filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
Dalam perkembanganya, filsafat
Yunani sempat mengalami masa pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus
berhadapan dengan otoritas Gereja dan imperium Romawi yang bertindak tegas
terhadap keberadaan filsafat di mana dianggap mengancam kedudukannya sebagai
penguasa ketika itu.
Filsafat Yunani kembali muncul pada
masa kejayaan Islam dinasti Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak
kejayaannya, dunia filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para
kaum filsuf yang diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali
yang menganggap filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme
bergolak. Hal ini setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang
ditempuh oleh ahli atau mistikus agama.
Setelah abad ke-13, peradaban
filsafat islam benar-benar mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil
memenangkan perdebatan panjang dengan kaum filosof. Kajian filsafat dilarang
masuk kurikulum pendidikan. Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir
kepada para ulama dan ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam
filsafat sedang menjamur. Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang
diterjemahkan kedalam bahasa latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah
pihak gereja berkuasa pada masanya dan sebelum peradaban Islam mulai
menerjemahkan teks-teks aristoteles dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di
Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi buku-buku filsafat hasil peradaban
Yunani.
Entah kebetulan atau tidak, ketika
filsafat di dunia islam bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke eropa,
peradaban islam pun mengalami kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami
masa yang disebut sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar
abad ke-15 M.
Tapi tidak demikian halnya dalam
komunitas gereja. Periode ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi
terbelah. Doktrin para pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum
Protestan.
Adapun para filsuf zaman modern setelah
masa aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri
manusia sendiri. Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah
Descartes, Karl Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
è www.muslimphilosophy.com
è id.wikipedia.org
è www.cidcm.umd.edu
è blog.wordpress.com
è philosopi Mingguan Indonesia
è Harian KOMPAS Rabu, 02 Mar 2005 Halaman: 46
è kognItar.wordpres.org
0 comments:
Post a Comment