BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Teori
Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem
ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan
antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum
umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu
teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau
dibantah kesahihannya
(difalsifikasi) pada objek atau gejala-gejala yang
diamati tersebut istilah yang tepat untuk menyebut teori sastra, baik dalam bahasa Indonesia
maupun Inggris, belum ditemukan. Akibatnya definisi mengenai hakikat fungsi dan
tugas teori sastra tidak mudah dirumuskan. Bahkan istilah-istilah yang
digunakan untuk menyebutkan konsep-konsep yang paling mendasar pun berbeda-beda
(dalam Bahasa Inggris: Literary
Scholarship, Theory of Literature, Literary Knowledge, Literary
Theory, Poetics, General Literature. Dalam bahasa Belanda: Literatuurwetenschap,
Theorie van het literairewerk, Literanuir Theorie, Poetique, Algemene)
2.
Tokoh-tokoh
Pendukung Teori
Teori
sastra, kritik sastra dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra. Teori
sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan
dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan studi terhadap
karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra. Ketiga bidang
ilmu ini saling memengaruhi dan berkaitan secara erat. "Tidak mungkin kita
menyusun: teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra; kritik sastra
tanpa teori sastra dan sejarah sastra" (Wellek & Warren, 1993:39).
Jan van Luxemburg,
Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn berpendapat Ilmu Sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra
secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Tugas ilmu
sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas
kesastraan dan fungsi sastra dalam masyarakat) secara umum dan sistematis.
Teori Sastra merumuskan kaidah-kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum.
Kegunaan Ilmu Sastra adalah membantu kita untuk mengerti teks itu secara lebih
baik sehingga kita lebih tertarik untuk membaca karya-karya sastra.
Sedangkan Andre Lefevere sastra adalah pengetahuan kemanusiaan (existential
knowledge) yang sejajar dengan bentuk hidup itu sendiri.
Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan terhadap sastra
hanya akan terkesan absurd. Sama halnya misalnya dengan pertanyaan mengenai
hidup, cinta, kematian, kerinduan. Aspek-aspek ini merupakan hal yang
transendental dan sangat sukar diformalkan dalam logika ilmiah dengan bahasa
apa pun. Sastra memiliki tempatnya sendiri dalam lingkup yang tidak ilmiah (non-scientific).
Istilah yang
digunakan Literary Knowledge (Pengetahuan Kesusastraan) untuk menghindari kesan scientific
Teori Sastra yang menurutnya terlalu berbau akademis
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Dekonstuksi
Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks.
Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir
anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu
kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah.
Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final.
Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut
pembentukannya dalam sejarah.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu
cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita
lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah
yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu
kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu.
Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk
membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita
selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa
adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi
makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa
keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya.
Bahkan, karena teori ini sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan
kritik terhadapnya. Toh, tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan
santai, bahkan ia mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan
atau seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang
yang berbicara dengan sebuah bahasa asing. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu
meminta filsuf untuk berbicara secara “mudah” dan bukanny kepada para ahli-ahli
tersebut yang bahkan lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”
Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang
sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk
dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah
mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan
secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi
tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai
konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli
1983, demikian isinya :
“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan
tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab
tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora”
teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi”
ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila
dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen
metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur
yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa”
dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada
sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas
bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”
Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan
merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai kita. Apapun itu, setelah
kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu
dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.
2. Dasar
Pemikiran
Dalam
pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel
dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche. Satu
abad yang lalu sejarah filsafat atau sejarah pemikiran telah disodori drama
pembunuhan Tuhan oleh Friederich Nietzsche, tetapi lima puluh tahun
kemudian,seperti percepatan kemajuan teknologi setelah ditemukan mesin
cetak,secara berturut-turut segala sesuatu selama ini merupakan elemen-elemen
dasar filsafat dihancurkan.bahkan pada tahun 1990 di Wayne State
University,Amerika secara lebih radikal mengadakan konferensi The end of
Theory,sebab pada masa itu banyak berpendapat teori telah berakhir .pendek kata
zaman ini adalah zaman hyperscepticism,atau disebut zaman yang dipenuhi tanda
tanya.
Teks
Friederich Nietzsche dan Heidegger telah mempertanyakan konsep-konsep
matafisika tentang waktu dan sejarah yang nantinya secara bebas digunakan pula
untuk sejarah tanda,tetapi hanya lewat Derrida-lah,pertanyaan itu menjadi
explisit,jelas dan tegas. Dalam melihat metafisika sebagai yang ada kehadiran
logosentrisme. Melalui tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam buku yang berjudul
Derrida inilah akan bisa melakukan pembacaan atas pemikiran Derrida melalui
teks-teks filsafat yang merupakan sebuah sistem yang menjadi pusat dari
narasi-narasi metafisik yang ditampikkan oleh kalangan postmodernisme.tentu ide
dan logika Derrida dalam rangka membongkar logosentrisme akan mengalami
kesulitan,terlebih dahulu harus meninjau ulang sejarah metafisika barat.dalam
hal ini,kritik atas sejarah metafisika barat harus melalui tahapan ontologis
tentang being (ada).
Dalam
dimensi teologis ini, Derrida juga berbicara tentang iman akan yang
tak-mungkin. Melalui iman, dia merasakan hasrat yang lain dalam arti hasrat dan
gairah religius yang melampaui dogma. Ini terlihat dari pengalaman religius
dengan menganut agama Yahudi sejak kecil, tetapi akhirnya dia beralih dari
agama Yahudi dan masuk ke 'agama tanpa-agama' yaitu agama yang lebih merupakan
pengalaman religius dan cara pandang dalam mendekati Ilahi sebagai yang-tak-mungkin.
Sehingga
bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan
intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang
mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi
merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam
"teks", yang selama ini telah ditekan atau ditindas. Adalah konsep
penting dalam pemikiran Derrida di mana ia mendefinisikannya secara semiologis,
wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting.
Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar "teks", realitas
sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara budaya,
linguistik atau historis, hanyalah "teks". Oleh sebab itu, realitas
terdiri dari berbagai "teks" dengan kebenaran yang plural. Tidak ada
kebenaran universal.
Menurutnya,
manusia harus berhati-hati dengan representasi realitas yang diklaim secara
universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya
dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional
yang mencoba merepresentasikan dunia yang sesungguhnya (real). Bahasa rasional
berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu-menciptakan makna dengan kehadiran
metafisika.
Nietzsche,
Freud, Husserl dan Heidegger adalah orang-orang yang mengilhami dekonstruksi
Derrida. Dekonstruksi secara umum dilakukan dengan meletakkan sous rature oleh
Nietzsche pada “pengetahuan”, Freud pada “psikhe”-nya dan Heidegger pada
“Mengada” (Being)-nya. Nietzsche adalah orang pertama yang memulai proyek
dekonstruksi. Kritik-kritik tajam yang diarahkan pada filsafat Barat dan
seluruh praktek perabadan Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif. Terutama
sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya yang
bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran.
Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang mengurungnya.
Nietzsche
bersikap skeptis terhadap metode dan konsep, kemudian mengalihkannya pada
metafor dan bahasa figuratif, di mana segala kebenaran lahir dari sana.
Filsafat dari Plato sampai sekarang, dengan menggunakan tirani rasio selalu
menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan bahasa figuratif. Metafora dan
segenap bahasa figuratif adalah kegairahan hidup yang menyuguhkan keragaman
akan pemahaman. Nietzsche berusaha menghidupkan kembali tradisi yang dikubur
oleh rezim rasio, bahwa kebenaran makna adalah relatif, bermetafora dan
bergeser terus.
Lahirnya
peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah
yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang
notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu
menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika).
Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme.
Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos,
energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia,
transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya
(Derrida, 2001: 25 lihat dalam Spivak 1976 : 37).
Dekonstruksi
tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia
menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah
terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program
tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan
mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap
menggerogoti program tersebut.
Namun demikian
tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya
kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan, …tugas
dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan
retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan
struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan
cara lain. Cara mendinskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai
kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi
digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.
3. Kaidah
Kritikan
Jika
strukturalisme menempatkan konsruksi bangunan sebagai hal penting dalam sebuah
karya sastra, sehingga unsur-unsurnya harus terpadu secara kokoh dan harmonis,
dekonstruksi justru menjungkirbalikkan pemikiran itu. Teori dekonstruksi yang
dikembangkan Derrida memberikan peluang untuk menempatkan apa yang tidak
penting dalam strukturalisme menjadi sesuatu yang penting. Tokoh yang tidak
penting dalam kajian strukturalisme misalnya, bisa saja menjadi tokoh penting
dalam kajian dekonstruksi. Satu hal yang sangat menonjol dari dekonstruksi
adalah sifatnya yang menafikan penafsiran berdasarkan hermeneutika.
Derrida,
melalui teori semiotika Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah
model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak
kemapanan. Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu,
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan
penafsiran.
Itulah
kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan
menafsiri suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran
bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap
suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya.
Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era
dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.
Itulah kelemahan Dekonstruksi Derrida. Kelemahan lain adalah:
1. Kebebasan
tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi
makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat
mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk
ditelaah.
2. Ketidakbernilaian
makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan
apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi
tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses
perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk
revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran
yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan
dapat dicegah.
4. Tidak
adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena
makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak
mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
Karena
itu, diperlukan sebuah model semiotika baru untuk menjawab
kekurangan-kekurangan tersebut.
Jika
strukturalisme menempatkan konsruksi bangunan sebagai hal penting dalam sebuah
karya sastra, sehingga unsur-unsurnya harus terpadu secara kokoh dan harmonis,
dekonstruksi justru menjungkirbalikkan pemikiran itu. Teori dekonstruksi yang
dikembangkan Derrida memberikan peluang untuk menempatkan apa yang tidak
penting dalam strukturalisme menjadi sesuatu yang penting. Tokoh yang tidak
penting dalam kajian strukturalisme misalnya, bisa saja menjadi tokoh penting
dalam kajian dekonstruksi. Satu hal yang sangat menonjol dari dekonstruksi
adalah sifatnya yang menafikan penafsiran berdasarkan hermeneutika.
Dekonstruksi menempatkan diri sejauh-jauhnya dari hermenutika.
Teori
dekonstruksi dengan kelemahan sebagaimana dikemukakan di atas sama sekali tidak
cocok untuk digunakan pada rencana penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Penulis harus konsisten dalam menempatkan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh utama
dalam kedua naskah yang diperbandingkannya. Artinya, penulis tidak dibenarkan
mendekonstruksi kedua naskah yang dibandingkannya itu sehingga asing-masing
naskah menjadi sesuatu yang “lain”. Oleh karena itu, penggunaan teori
dekonstruksi untuk tujuan yang hendak dicapai dari rencana penelitian yang akan
dilakukan penulis harus dihindarkan.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
,daftar rujukan nya mana aja ??
ReplyDelete